Alkisah, pada zaman dahulu kala, di Tanah Melayu
hiduplah seorang nelayan tua yang bernama Awang Gading. Ia tinggal
seorang diri di tepi sungai. Pekerjaannya sehari – hari adalah menangkap
ikan dan terkadang ia pergi ke hutan untuk mencari kayu.
“Air pasang telan ke insang
Air surut telan ke perut
Renggutlah…!
Biar putus jangan rabut,”
Air surut telan ke perut
Renggutlah…!
Biar putus jangan rabut,”
Itu adalah kata – kata yang ia sering ucapkan sewaktu sedang memancing ikan.
Suatu hari di waktu Ia sedang memancing dan tidak menemukan seekor
ikan sama sekali. Di waktu perjalanan pulang Ia mendengarkan seorang
bayi yang sedang menangis. Karena rasa penasaran ia mencari dari mana
suara itu berasal?..Tak lama mencari, ia pun menemukan bayi perempuan
yang mungil tergolek di atas batu. Tampaknya bayi itu baru saja
dilahirkan oleh ibunya. karena rasa iba, dibawanya bayi itu pulang ke
rumahnya.
Sesampainya di rumahnya Awang Gading memberi nama bayi itu Dayang
Kumunah. Dengan bahagia Awang Gading menimang-nimang sang bayi sambil
mendendang. Ia berjanji akan bekerja lebih giat lagi dan mendidik anak
ini dengan baik. Awang Gading juga membekali Dayang Kumunah berbagai
ilmu pengetuhan dan pelajaran budi pekerti. Setiap hari ia juga mengajak
Dayang pergi mengail atau mencari kayu di hutan untuk mengenal
kehidupan alam lebih dekat.
Waktu terus berjalan. Dayang Kumunah tumbuh menjadi gadis yang
sangat cantik dan berbudi pekerti luhur. Ia juga sangat rajin membantu
ayahnya. Namun sayang, Dayang Kumunah tidak pernah tertawa.
Suatu hari, seorang pemuda kaya dan tampan yang kebetulan lewat di
depan rumah Dayang. Pemuda itu bernama Awangku Usop. Saat melihat Dayang
Kumunah, Awangku Usop langsung jatuh hati kepadanya dan berniat untuk
segera meminangnya. Beberapa hari kemudian, Awangku Usop meminang Dayang
Kumunah pada Awang Gading. Setelah Dayang Kumunah berfikir beberapa
lama, Ia menerima pinangan Awangku Usop dengan syarat, jangan pernah
meminta saya untuk tertawa. Awangku Usop menyanggupi syarat yang di
ajukan Dayang Kumunah tersebut.
Pernikahan pun dilangsungkan, tetapi terjadi sebuah kejadian yang
tidak bahagia setelah pernikahan tersebut. Awang Gading meninggal dunia
karena sakit. Peristiwa itu membuat hati Dayang Kumunah diselimuti
perasaan sedih, hingga berbulan – bulan. Untungnya, kesedihan itu segera
terobati dengan kelahiran anak-anaknya yang berjumlah lima orang.
Namun, Awang Usop merasa tidak bahagia karena belum melihat Dayang
Kumunah tertawa. Sejak pertemuan pertama kali hingga kini, istri Awang
Usop belum pernah tertawa sama sekali. Tetapi di suatu sore, Dayang
Kumunah bersama – sama keluarganya sedang berada di teras rumah. Mereka
bercanda ria dan Semua anggota keluarga tertawa bahagia, kecuali Dayang
Kumunah. Pada saat itu Awang Usop mendesak Dayang Kumunah ikut tertawa.
Akhirnya ia pu tertawa setelah sekian lama tertawa. Pada Saat itulah,
muncul insang ikan di mulutnya. Dayang Kumunah segera berlari ke arah
sungai. Dan berubah menjadi ikan.
Awang Usop menyesal karena telah mendesak istrinya untuk tertawa.
Tetapi, semua sudah terlambat. Ikan dengan bentuk badan cantik dan kulit
mengilat tanpa sisik inilah yang orang-orang sebut sebagai ikan
patin. Sebelum masuk ke sungai, Dayang Kumunah berpesan kepada suaminya,
“Kanda, peliharalah anak-anak kita dengan baik.”
Awangku Usop dan anak-anaknya sangat bersedih melihat Dayang Kumunah
yang sangat mereka cintai itu telah menjadi ikan. Mereka pun berjanji
tidak akan makan ikan patin, karena dianggap sebagai keluarga mereka.
Itulah sebabnya sebagian orang Melayu tidak makan ikan patin
No comments:
Post a Comment