Bujang Katak, begitulah ia biasa dipanggil, karena ia memang
menyerupai katak. Kulitnya licin dan berwarna kehijauan, Iehernya pun
pendek seperti katak. Bujang Katak adalah anak tunggal wanita tua yang
miskin. Dulu, wanita itu rajin berdoa agar Tuhan mengaruniakan seorang
anak padanya. Tanpa sengaja, ia berkata bahwa meskipun anak yang
diberikan menyerupai katak, ia akan tetap mencintainya. Rupanya Tuhan
mengabulkan doanya, dan lahirlah si Bujang Katak.
Bujang Katak rajin membantu ibunya di ladang. Para penduduk desa pun
menyukai Bujang Katak karena sikapnya yang ramah dan suka membantu.
Akhir-akhir ini, Bujang Katak tampak murung. Ia sering duduk melamun.
Ibunya yang heran melihat perubahan sikapnya pun bertanya, “Apa yang kau
pikirkan, Nak? Seharian kau hanya duduk melamun.”
Bujang Katak menghela napas, “Aku sekarang sudah dewasa Bu, sudah saatnya aku menikah.”
Ibunya tersenyum, “Ah, rupanya kau sedang jatuh cinta. Katakan pada Ibu siapa wanita itu dan Ibu akan segera melamarnya.”
“Putri Raja, Bu. Aku dengar Raja memiliki tujuh putri yang cantik-cantik. Maukah Ibu melamar salah satu dari mereka untukku?”
Ibunya sangat terkejut, “Mana mungkin seorang putri raja sudi menikah
dengan anakku,” pikirnya dalam hati. Namun karena sangat menyayangi
anaknya, ibu itu pun mengiyakan.
Esok harinya, si Ibu berangkat ke istana. Tak lupa ia membawa sedikit
buah tangan untuk Raja. Sesampainya di istana, Raja segera menanyakan
maksud kedatangannya.
“Ampun Baginda. Maafkan hamba jika lancang. Maksud kedatangan hamba
adalah untuk melamar salah satu putri Baginda untuk putra hamba,” kata
Ibu dengan sedikit cemas.
Raja mengernyit. Dipandangnya ibu itu dari atas sampai ke bawah.
“Wanita miskin ini rupanya salah tujuan. Mana mau putri-putriku
bersuamikan orang miskin?” pikirnya dalam hati. Meski berpikir demikian,
karena sang Raja merupakan Raja yang bijaksana, Raja tak mau
mengecilkan hati ibu Bujang Katak. Beliau lalu memanggil ketujuh
putrinya untuk menemui ibu tersebut.
“Putri-putriku, apakah ada dari kalian yang bersedia menikah dengan
putra wanita tua ini?” tanya Raja. Serempak putri-putri itu tertawa
mengejek. “Hai wanita tua, anakmu mimpi di siang bolong, ya?”
Mereka lalu masuk kembali ke istana dan tak menghiraukan ibu Bujang
Katak. Hanya putri bungsu raja yang tetap tinggal. Ia menghampiri ibu
Bujang Katak dan berkata, “Pulanglah. Katakan pada putramu untuk datang
sendiri melamarku.”
“Bungsu, apakah kau benar-benar ingin menikah dengan Bujang Katak? Ia
hanya pemuda miskin dan rupanya seperti katak,” kata Raja panik. Lebih
dari itu Putri bungsu merupakan putri yang paling cantik dan putri yang
paling baik hati diantara ketujuh putrinya. Sang Rajapun sebenarnya
paling sayang dengan Putri Bungsu karena selain cerdas, putri bungsu
juga anak yang bijaksana.
“Jika Ayahanda mengizinkan, aku bersedia menikah dengan Bujang Katak.
Aku mendengar bahwa Bujang Katak adalah pria yang baik. Bukankah aku
harus mencari suami yang baik?” jawab Putri Bungsu. Raja tak bisa
menjawab. Ibu Bujang Katak pun segera pulang untuk memberitahu kabar
gembira ini pada Bujang Katak.
Keesokan harinya, Bujang Katak pergi ke istana. “Hai Bujang Katak,
kau boleh memperistri putri bungsuku, tapi ada syaratnya,” kata Raja
saat Bujang Katak menghadap. Sang Raja sengaja akan memberi suatu syarat
yang sangat sulit sehingga tidak mungkin dapat terwujud. Hal ini
sebenarnya untuk menolak lamaran Bujang Katak secara halus.
“Apa pun syaratnya, hamba akan berusaha memenuhinya,” jawab Bujang Katak mantap.
“Aku ingin kau membangun jembatan emas di atas sungai yang
menghubungkan istana ini dengan desamu. Suatu saat jika aku ingin
mengunjungi putriku di desamu, aku tak perlu menyeberang sungai dengan
perahu. Cukup dengan melewati jembatan emas itu. Apakah kau mampu
memenuhinya?” tanya Raja.
“Siap Baginda. Hamba akan segera membangun jembatan itu,” kata Bujang Katak dengan nada yakin dan mantap.
“Ingat Bujang Katak! Jembatan itu harus siap dalam waktu satu minggu,
Kalau tidak, jangan harap kau bisa menikahi putriku!” kata Raja
menambahkan syarat yand diajukan pada Bujang Katak.
Bujang Katak kembali ke rumahnya. Ia menceritakan permintaan Raja
kepada ibunga. “Tapi anakku… kita ini hanya orang miskin. Mana mampu
kita membeli emas untuk membangun jembatan itu?” Ucap Ibu Bujang Katak
memelas.
“Bu, dengan pertolongan Tuhan, apa pun bisa kita lakukan. Aku akan
memohon pada Tuhan untuk memberi jalan kepadaku,” sahut Bujang Katak
mantap. Malam itu, Bujang Katak terus berdoa dan berdoa. Ia yakin Tuhan
akan menolongnya.
Pagi-pagi, seperti biasa Bujang Katak bangun dan bersiap pergi ke
ladang. Ketika ia mandi, keajaiban pun terjadi. Kulitnya yang tebal dan
licin terkelupas. Tiap kali ia mengguyurkan air ke tubuhnya, kulitnya
rontok. Perlahan-lahan, seluruh kulit tubuhnya terkelupas. Bujang Katak
heran. Ia menatap onggokan kulitnya yang terkelupas. Ia segera masuk
rumah untuk bercermin. Alangkah kagetnya ia, di hadapannya tampak sosok
pemuda tampan dengan kulit kecokelatan! Bukan lagi pemuda yang
menyerupai katak. Tak percaya, Bujang Katak terus meraba wajahnya. “Ibu…
Ibu… cepat kemari… lihatlah diriku, Bu!” teriak Bujang Katak. Ibunya
tergopoh-gopoh menghampiringa. “Ya Tuhan, sungguh besar cintaMu pada
anakku ini,” seru Ibu sambil memeluk Bujang Katak.
Bujang Katak kembali ke sumur untuk meneruskan mandinya. Sekali lagi,
keajaiban terjadi. Onggokan kulit yang tebal itu telah berubah menjadi
emas! Bujang Katak berteriak-teriak kegirangan, “Terima kasih Tuhan,
terima kasih… Kau sudah memberikan jalan keluar untukku.”
Bujang Katak menunjukkan emas itu pada ibunya. “Bu, sekarang aku
sudah bisa membangun jembatan emas. Doakan aku, agar bisa
menyeIesaikannya tepat waktu. Bujang Katak mulai bekerja, siang dan
malam tiada henti.
Hari yang ditentukan telah tiba. Bujang Katak dan ibunya menghadap
Raja. Saat itu, Raja dan para putrinya sedang berkumpul. Mereka semua
heran melihat sosok pemuda yang datang menghadap Raja.
“Hai wanita tua, mana putramu yang seperti katak itu? Siapa pemuda ini?” tanya Sang Raja kebingungan.
“Ampun Baginda, pemuda ini adalah Bujang Katak. Tuhan telah mengubah
wujudnya menjadi pemuda yang tampan,” jawab ibu Bujang Katak. Mareka
saling berpandangan. Putri Bungsu pun tersenyum bahagia.
“Hei anak muda, meskipun kau sudah menjadi pemuda yang tampan, kau
tetap harus memenuhi syaratku. Apakah jembatan emas itu sudah jadi?”
tanya Sang Raja.
“Tentu saja Baginda. Mari hamba antar Baginda untuk melihatnya,” jawab Bujang Katak.
Pada pagi hari, jembatan emas itu sungguh indah. Warna keemasan
memantul dari setiap bagian jembatan. Raja senang melihat tekad dan
usaha Bujang Katak untuk menikahi putri bungsunga. “Rupanya pilihan
Putri Bungsu memang tepat. Pemuda ini mau bekerja keras demi mencapai
cita-citanya,” pikir Raja. “Baiklah Bujang Katak. Mari kita kembali ke
istana dan membicarakan pesta pernikahanmu dengan Putri Bungsu,” ajak
Raja. Bujang Katak pun mengangguk setuju. Ia mengulurkan tangannya pada
Putri Bungsu. Dengan malu-malu, Putri Bungsu mengambut uluran tangan
calon suaminya.
No comments:
Post a Comment