Dahulu kala Di provinsi Maluku, di daerah Halmahera terdapat sebuah
air di antara pembekuan lahar panas. Karena menggenang dalam waktu yang
cukup lama. Sehingga membuat airnya menjadi berubah warna menjadi biru.
Karena peristiwa ini aneh, penduduk desa di daearah sana membuat acara
ritual untuk menemukan jawaban atas kejadian ini.
“Timbul dari Sininga irogi de itepi Sidago kongo dalulu de i uhi
imadadi ake majobubu” Timbul dari akibat patah hati yang remuk-redam,
meneteskan air mata, mengalir dan mengalir menjadi sumber mata air.
Itulah arti kejadian tersebut, yang ditemukan berkat ritual.
Setelah Ritual itu selesai di lakukan maka, Kepala Desa menyuruh
warganya untuk berkumpul di pusat desa. Tetua adat dengan penuh wibawa
bertanya “Di antara kalian siapa yang tidak hadir namun juga tidak
berada di rumah”. Para penduduk mulai saling memandang. Masing-masing
sibuk menghitung jumlah anggota keluarganya. Akhirnya diketahui bawa ada
dua keluarga yang anggotanya belum lengkap. Mereka adalah Majojaru
(nona) dan Magohiduuru (nyong). Setelah itu salah seorang dari warga
bercerita tentang mereka berdua.
Dulu ada Sepasang Kekasih yang berjanji untuk sehidup semati. Mereka
bernama Majojaru dan Magohiduuru. Suatu hari Magohiduuru pergi berkelana
ke negeri seberang, selama hampir satu tahun Magohiduuru belum juga
kembali. Majojaru yang terus menunggu dengan setia lama kelamaan menjadi
cemas. Suatu hari Majojaru melihat kapal yang dinaiki Magohiduuru
datang. Namun Setelah bertanya dengan awak kapal di mendengar bahwa
Magohiduuru sudah meninggal dunia ketika di negeri seberang.
Mendengar Kabar tentang Magohiduuru, Majojaru terhempas ke tanah.
Mereka berjanji sehidup semati, tetapi sekarang Magohiduuru telah tiada.
Kabar yang di dengarnya membuat dia seakan – akan kehilangan dirinya
sendiri dan tujuan hidupnya.
Hati yang sedih menyelimuti raut muka Majojaru, muka yang tidak punya
harapan hidup tampak dari raut wajahnya. Dengan perlahan – lahan di
berjalan menuju ke rumahnya, di tengah perjalanan dia berteduh di sebuah
pohon, dan bebatuan. Merenung dan meratapi nasibnya, pikirannya
melayang layang, lalu teringat akan kekasihnya Magohiduuru. Air mata
keluar dari matanya setetes demi setetes, hingga tiga hari tiga malam
telah terlewati. Air matanya yang terus mengalir, lama-kelamaan, semakin
banyak hingga menggenangi dirinya sendiri. Majojaru larut dalam
kesedihan, dan tanpa di sadari air matanya menggenang tinggi, hingga
menenggelamkan bebatuan tempat ia duduk, lama kelamaan ia pun ikut
tenggelam dan meninggal dunia di sana.
Telaga kecil pun terbentuk dari Air mata Majojaru. Airnya sebening
air mata dan warnanya sebiru pupil mata nona endo Lisawa. Penduduk dusun
Lisawa pun berkabung. Mereka berjanji akan menjaga dan memelihara
telaga itu. Telaga yang berasal dari tetesan air mata itu lama – lama
airnya berubah menjadi kebiru – biruan, sehingga penduduk di dearah
sana, memberi nama Telaga Biru.
No comments:
Post a Comment