Alkisah hiduplah seorang pengembara bernama Raden Budog. Ia dipercaya
berasal dari Laut Selatan. Suatu ketika Raden Budog bermimpi bertemu
dengan seorang gadis. Sangat cantik wajah gadis itu. Raden Budog sangat
terpesona dan langsung jatuh hati. Ia lalu memutuskan untuk kembali
mengembara untuk mencari keberadaan si gadis berwajah sangat jelita itu.
Dengan menunggangi kuda kesayangannya, Raden Budog menuju arah utara.
Anjing miliknya turut pula menemani kepergiannya. Mereka terus menuju
arah utara hingga tiba di Gunung Walang. Di tempat itu pelana Raden
Budog robek hingga ia tidak lagi menunggung kuda. Raden Budog menuntun
kudanya dan anjingnya tetap setia menemani pengembaraan Raden Budog.
Mereka akhirnya tiba di pantai Cawar. Setelah menempuh perjalanan yang
melelahkan, Raden Budog berniat mandi di pantai yang indah itu.
Setelah puas mandi dan membersihkan dirinya, Raden Budog berniat
melanjutkan perjalanannya kembali. Diajaknya kuda dan anjingnya itu
untuk kembali berjalan. Namun, dua hewan yang biasanya sangat setia
kepadanya itu seperti enggan meninggalkan pantai Cawar. Keduanya hanya
terdiam dan tidak menuruti perintah Raden Budog. Setelah berulang-ulang
ajakannya tidak dipatuhi kuda dan anjingnya, Raden Budog pun menjadi
marah. Dikutuknya dua hewan itu menjadi batu karang.
Kutukan Raden Budog mewujud dalam kenyataan. Kuda dan anjing itu menjadi batu karang yang diam membisu di pantai Cawar.
Raden Budog meneruskan perjalanannya dengan berjalan kaki.
Dilewatinya berbagai hambatan dan rintangan yang ditemuinya di tengah
perjalanan. Tibalah ia kemudian di sebuah desa setelah melewati sungai
yang meluap airnya karena banjir.
Syahdan, di desa yang didatangi Raden Budog itu berdiam seorang janda
bernama Nyi Siti. Ia mempunyai seorang anak perempuan yang sangat
cantik jelita wajahnya. Sri Poh Haci namanya.
Sri Poh Haci setiap hari menumbuk padi dengan menggunakan antan dan
lesung. Antan itu dipukulkannya ke lesung hingga menghasilkan irama
tertentu yang terdengar merdu di telinga. Tindakan Sri Poh Haci itu
mengundang anak-anak perempuan lain untuk meniru tindakannya. Mereka
beramai-ramai menumbuk padi dengan cara seperti yang dilakukan Sri Poh
Haci. Anak-anak perempuan itu biasanya meminta Sri Poh Haci memimpin
hingga akhirnya tercipta sebuah permainan menyenangkan yang mereka beri
nama ngagondang. Warga desa sangat menggemari permainan itu. Sebelum
mereka menanam padi, mereka mendahuluinya dengan permainan ngagondang
terlebih dahulu. Namun demikian mereka mempunyai pantangan, yaitu tidak
bermain ngagondang pada hari Jum’at.
Ketika Raden Budog tiba di desa itu kebetulan permainan ngagondang
tengah dilakukan. Raden Budog sangat tertarik ketika mendengarnya. Ia
pun datang mendekat. Terbelalaklah ia ketika melihat salah seorang
pemukul lesung itu. Wajahnya sangat mirip dengan wajah perempuan yang
dilihatnya dalam impiannya. Perempuan itu tidak lain Sri Poh Haci
adanya.
Raden Budog lantas mendatangi rumah Sri Poh Haci dan berkenalan
dengan perempuan berwajah cantik jelita itu. Diungkapkannya cintanya
pada Sri Poh Haci. Ketika Sri Poh Had juga menyatakan cinta pada Raden
Budog, Raden Budog lalu mendatangi Nyi Siti untuk melamar Sri Poh Haci.
Raden Budog dan Sri Poh Haci menikah. Pernikahan mereka dilangsungkan
secara sederhana. Segenap warga desa datang menghadiri dan turut
bergembira atas berlangsungnya pernikahan itu. Raden Budog kemudian
tinggal di desa itu.
Setelah menikah, Sri Poh Haci tetap memimpin ngagondang. Suaminya
tidak hanya memperbolehkannya, melainkan turut pula dalam permainan
memukul antan pada lesung secara berirama itu. Bahkan, Raden Budog
sangat menggemari permainan tersebut hingga ia serasa tidak mengenal
waktu untuk memainkannya. Serasa setiap saat ia asyik ngagondang. Ia
tetap nekat bermain meski istri, mertua, maupun orang-orang lain telah
mengingatkannya. Telinganya seperti telah tersumbat hingga tidak
mendengarkan peringatan orang lain.
Raden Budog benar-benar keras kepala, sulit untuk dinasihati. Ketika
hari Jum’at tiba, Sri Poh Haci mengingatkan suaminya, “Suamiku, hari
Jum’at adalah hari yang dikeramatkan warga desa. Sebaiknya engkau tidak
ngagondang dahulu.”
Raden Budog hanya terdiam, meski demikian keinginannya untuk
memainkan alu pada lesung untuk menimbulkan irama tidak bisa dicegahnya.
Nyi Siti khawatir juga pada menantunya itu. Nyi Siti juga
mengingatkan Raden Budog untuk tidak ngagondang pada hari Jum’at itu.
Bahkan, sesepuh desa turut pula mengingatkan Raden Budog. “Hendaklah
engkau menghormati adat dan juga pantangan yang berlaku di desa kita
ini. Engkau boleh ngagondang pada hari-hari lain, namun jangan engkau
lakukan pada hari Jum’at. Hari Jum’at adalah hari pantangan bagi warga
desa untuk ngagondang. Semoga menjadi pantangan pula bagimu untuk
bermain ngagondang pada hari Jum’at ini:’
Meski telah banyak orang yang mengingatkannya, Raden Budog ternyata
tetap bersikeras untuk ngagondang. Peringatan istri, mertua, dan bahkan
sesepuh desa sama sekali tidak dianggapnya. Baginya, tidak ada pantangan
baginya untuk memuaskan kesenangannya memainkan antan pada lesung. Hari
apapun adalah hari bebas baginya untuk ngagondang.
Hari Jum’at itu Raden Budog tetap ngagondang. Ia tidak peduli meski
hanya bermain sendirian. Ia bahkan kian bersemangat dengan
melompat-lompat ketika memukulkan antan pada lesung. Ia berharap
orang-orang akan datang dan turut bermain bersamanya. Orang-orang hanya
memandangnya dengan keheranan dan Raden Budog terus bertambah
semangatnya untuk bermain. Ia meloncat ke sana dan ke sini ketika
bermain. Wajahnya begitu gembira seolah sangat puas dapat bermain
ngagondang pada hari Jum’at yang dikeramatkan itu.
Keanehan pun terjadi …
Anak-anak desa berdatangan ke tempat Raden Budog bermain ngagondang.
Mereka sangat terheran-heran melihat pemandangan aneh yang terjadi di
hadapan mereka. Dalam pandangan mereka, bukan Raden Budog yang tengah
bermain ngagondang, melainkan seekor lutung!
“Ada lutung bermain lesung! Ada lutung bermain lesung!” teriak anak-anak itu seraya menunjuk-nunjuk.
Raden Budog yang tidak menyadari jika dirinya telah berubah menjadi
lutung terus memainkan antan pada lesung. Kian bersemangat ia bermain
karena menyangka anak-anak itu terpesona pada permainannya.
Kejadian mengherankan itu cepat menyebar. Warga desa berdatangan ke
tempat Raden Budog tengah bermain ngagondang itu. Benar-benar mereka
terheran-heran mendapati seekor lutung tengah bermain lesung seraya
melompat-lompat penuh suka cita.
“Ada lutung bermain lesung! Ada lutung bermain lesung!”
Teriakan beramai-ramai itu tak urung membuat Raden Budog terkejut.
Sejenak dihentikannya permainannya dan ditatapnya orang-orang. Masih
didengarnya ada warga desa yang menyatakan ada lutung bermain lesung.
Diperhatikannya tempat di sekitarnya. Tidak ada yang bermain ngagondang
di tempat itu selain hanya dirinya sendiri. Lantas, mengapa orang-orang
itu menyebutkan adanya lutung yang bermain lesung?
Terperanjatlah Raden Budog ketika mengamati dirinya. Kedua tangannya
berbulu amat lebat berwarna hitam laksana bulu lutung! Begitu pula
dengan bulu-bulu lebat berwarna hitam di kedua kakinya. Dirabanya
wajahnya, penuh dengan bulu lebat berwarna hitam pula. Begitu pula
dengan tubuhnya. Kian lengkaplah keterkejutannya ketika mendapati sebuah
ekor panjang berbulu hitam keluar dari bagian belakang tubuhnya.
Raden Budog telah utuh berubah menjadi lutung!
Setelah mendapati dirinya berubah menjadi lutung, Raden Budog segera
berlari dari tempat itu. Ia sangat malu. Dengan gerakan gesit, lutung
jelmaan Raden Budog lantas memanjat pohon. Gerakan memanjatnya sangat
cepat. Tangkas pula ia bergelantungan dari dahan ke dahan serta
berlompatan dari satu pohon ke pohon lainnya.
“Lutung Kasarung! Lutung Kasarung!” teriak warga ketika melihat
lutung jelmaan Raden Budog itu berlompatan dari satu pohon ke pohon
lainnya.
Teriakan-teriakan itu kian membuat malu Raden Budog hingga ia terus
berusaha menjauh dari desa itu sejauh jauhnya.Ia memasuki hutan dan
terus bergerak menuju tengah hutan. Ia pun memutuskan untuk tinggal di
tengah hutan itu untuk seterusnya.
Sri Poh Haci sangat sedih mendapati kenyataan itu. Suaminya telah
berubah menjadi seekor lutung. Ia serasa tidak mempunyai keberanian lagi
untuk tinggal di desanya. Secara diam-diam ia pun meninggalkan desa
kediamannya itu. Entah kemana istri Raden Budog itu pergi, tidak ada
yang mengetahuinya. Bahkan, Nyi Siti sendiri pun tidak mengetahuinya.
Konon, Sri Poh Haci kemudian juga menjelma menjadi Dewi Padi.
Desa di mana terjadinya peristiwa yang sangat mengherankan lagi
mengejutkan itu kemudian disebut Desa Lesung. Mengingat letaknya berada
di sebuah tanjung, desa itu pun akhirnya disebut Tanjung Lesung.
No comments:
Post a Comment