Thursday 26 May 2016

Asal Mula Selat Bali

Dahulu kala hiduplah seorang Brahmana benama Sidi Mantra yang sangat terkenal kesaktiannya. Sanghyang Widya atau Batara Guru memberi hadiah harta dan seorang istri yang cantik. Sesudah beberapa tahun menikah, mereka mendapat seorang anak laki – laki yang diberi nama Manik Angkeran.
Manik Angkeran bertumbuh menjadi seorang pemuda yang gagah dan pandai, namun Ia suka berjudi. Dia sering kalah dan terpaksa mempertaruhkan harta kekayaan orang tuanya, terkadang Ia pun berhutang. Karena tidak dapat membayar hutang, Manik Angkeran meminta bantuan ayahnya untuk berbuat sesuatu. Sidi Mantra berpuasa dan berdoa untuk memohon pertolongan dewa-dewa. Tiba-tiba dia mendengar suara, “Hai, Sidi Mantra, di kawah Gunung Agung ada harta karun yang dijaga seekor naga yang bernarna Naga Besukih. Pergilah ke sana dan mintalah supaya dia mau memberi sedikit hartanya.”
Sidi Mantra pergi ke Gunung Agung dengan mengatasi segala rintangan. Sesampainya di tepi kawah Gunung Agung, dia duduk bersila. Sambil membunyikan genta dia membaca mantra dan memanggil nama Naga Besukih. Tidak lama kernudian sang Naga keluar. Setelah mendengar maksud kedatangan Sidi Mantra, Naga Besukih menggeliat dan dari sisiknya keluar emas dan intan. Setelah mengucapkan terima kasih, Sidi Mantra mohon diri. Semua harta benda yang didapatnya diberikan kepada Manik Angkeran dengan harapan dia tidak akan berjudi lagi. Tetapi tidak pada kenyataannya harta itu habis dengan sangat cepat. Sekali lagi Manik Angkeran meminta bantuan ayahnya. Tetapi, Sidi Mantra kecewa dan menolaknya.
Setelah itu, Manik Angkeran tidak tinggal diam, Ia mencari tahu dari mana Ayahanya mendapatkan harta tersebut. Tidak lama kemudian, Manik Angkeran tahu bahwa harta tersebut didapat dari Gunung Agung. Manik Angkeran tahu untuk sampai ke sana dia harus membaca mantra tetapi dia tidak pernah belajar mengenai doa dan mantra. Jadi, dia hanya membawa genta yang dicuri dari ayahnya waktu ayahnya tidur.
Setelah sampai di kawah Gunung Agung, Manik Angkeran membunyikan gentanya. Bukan main takutnya ia waktu ia melihat Naga Besukih. Setelah Naga mendengar maksud kedatangan Manik Angkeran, dia berkata, “Akan kuberikan harta yang kau minta, tetapi kamu harus berjanji untuk mengubah kelakuanmu. Jangan berjudi lagi. Ingatlah akan hukum karma.”
Manik Angkeran terpesona melihat emas, intan, dan permata di hadapannya. Maka terlintaslah niat jahat dalam hatinya. Karena ingin harta lebih banyak,maka dipotongnya ekor Naga Besukih ketika Naga beputar akan kembali ke sarangnya. Manik Angkeran segera melarikan diri ketakutan. Tetapi karena kesaktian Naga, sewaktu jejak Manik Angkeran dijilat sang Naga, maka ia terbakar menjadi abu.
Melihat kematian anaknya, Sidi Mantra pun menjadi sangat sedih. Ia pun segera mencari Naga Besukih dan memohon supaya anaknya dapat hidup kembali. Naga Besukih mengabulkan permohonan tersebut dengan syarat Sidi Mantra mau mengembalikan ekor Naga Besukih seperti sediakala. Lalu dengan kesaktian, Sidi Mantra ekor Naga kembali seperti semula. Setelah Manik Angkeran dihidupkan, dia minta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi nya lagi. Sidi Mantra tahu bahwa anaknya sudah bertobat tetapi dia memutuskan untuk tidak hidup bersama lagi.
“Kamu harus memulai hidup baru ,” kata Sidi Mantra. Dalam sekejap mata dia lenyap. Di tempat dia berdiri timbul sebuah sumber air yang makin lama makin besar sehingga menjadi laut. Dengan kesaktian, Sidi Mantra membuat garis yang mernisahkan dia dengan anaknya. cerita ini yang menggaris besari asal mula selat bali, sekarang tempat itu menjadi selat Bali yang memisahkan pulau Jawa dengan pulau Bali,  .
 

Dongeng Putri Duyung

Nun jauh di dasar lautan, hiduplah raja Laut beserta enam putrinya yang cantik-cantik. Istri raja laut telah lama meninggal. Kini, keenam putri raja laut dirawat oleh nenek mereka.
Sebagaimana anak-anak laut lainnya, hanya bagian atas tubuh mereka yang mirip tubuh manusia. Sedangkan, separuh bagian bawah tubuh mereka seperti ikan.
Di antara keenam putri raja laut, putri yang paling bungsu adalah yang paling cantik.Tidak seperti kakak-kakaknya, putri bungsu sangat tertarik mendengarkan cerita tentang dunia manusia. la sangat ingin memiliki kaki yang bisa berjalan di darat seperti manusia.
°Saat usia kalian lima belas tahun, kalian boleh pergi ke permukaan air dan melihat manusia,” kata nenek mereka.
Tahun demi tahun berlalu, tibalah saat putri sulung pergi ke permukaan laut. Dia senang sekali. Putri sulung pun menceritakan pengalamannya pada adik-adiknya. “Aku suka dengan kota yang besar. Manusia menari dan bernyanyi dengan riang gembira di kota itu.”
Putri bungsu terkagum-kagum mendengair cerita kakaknya. la sudah tidak sabar menunggu gilirannya tiba.
Satu per satu putri raja laut mendapat bagiannya pergi ke permukaan air. Semua cerita mereka membuat putri bungsu semakin terpikat pada dunia manusia.
Akhirnya, tibalah kesempatan putri bungsu. la muncul di permukaan air pada malam hari. la meiihat sebuah kapal laut yang indah. la mengintip ke dalam kapal. la melihat banyak manusia menari, berdansa, dan tertawa.
Namun, dari sekian banyak manusia di kapal itu, pandangan mata putri bungsu tertuju pada seorang pangeran muda yang tampan. Lama sekali putri bungsu memandang pangeran itu. la merasakan getaran aneh dalam hatinya. Sejak saat itu, ia tidak pernah bisa melupakan wajah pangeran muda itu.
Setelah melewati usia lima belas tahun, putri-putri raja laut bebas pergi ke permukaan laut. Lima kakak putri bungsu sering pergi bersama-sama. Namun, putri bungsu Iebih suka pergi sendiri.
la lebih suka pergi ke pantai yang terdapat sebuah kastil putih. Kastil putih yang megah itu adalah kediaman pangeran pujaan hatinya. Putri bungsu sering bersusah payah pergi ke daratan hanya untuk mengintip sang pangeran.
Putri bungsu akhirnya tahu bahwa pangeran itu bernama Henry saat mendengar orang-orang memanggiinya. Suatu ketika, Pangeran Henry beserta beberapa pembantunya pergi melaut. Putri bungsu mengikuti perahu Pangeran Henry dari jauh.
Tidak disangka, langit tiba-tiba berubah gelap. Badai pun datang. Hujan lebat, kilat, dan guntur mendera laut.
Perahu yang ditumpangi Pangeran Henry terombang-ambing diterpa gelombang. Putri bungsu mengkhawatirkan keselamatan Pangeran Henry. Benar saja, tidak lama berselang, perahu Pangeran Henry terbalik dan segera digulung gelombang besa r.
Putri bungsu cepat-cepat berenang mencari Pangeran Henry. la menemukan sang pangeran sudah pingsan.
Putri bungsu berenang susah payah menembus gelombang laut agar dapat membawa Pangeran Henry ke pantai tempat kastil Pangeran Henry berada.
Putri Bungsu menekan-nekan perut Pangeran Henry agar air laut yang telanjur tertelan olehnya dapat keluar. Akhirnya, Pangeran Henry terbatuk-batuk. Sejenak kemudian, ia siuman. Samar-samar, Pangeran Henry dapat melihat sosok gadis yang menolongnya. Tapi, ia kembali pingsan.
Putri laut meninggalkan Pangeran Henry di pantai dan kembali ke laut. la tahu Pangeran Henry akan diselamatkan oleh manusia lainnya.
Sejak menolong Pangeran Henry, tekad putri bungsu untuk menjadi manusia semakin kuat. Ia pergi menemui neneknya.
Kata neneknya, hanya nenek penyihir yang bisa mengubahnya jadi manusia. Putri bungsu pun segera menemui nenek penyihir.
“Baiklah, aku akan membuatkanmu minuman. Kau harus membawanya ke daratan. Setelah kau meminumnya, kau akan menjadi manusia dan mempunyai kaki. Tapi, kau akan merasakan sakit yang teramat sangat di kakimu. Kau juga tetap akan jadi gadis yang cantik, tapi tidak bisa berbicara. Kau harus membuat pangeran itu mencintaimu walau kau tidak bisa bicara. Apakah engkau sanggup?” kata nenek penyihir.
“Ya, akan aku jalani,” kata putri bungsu.
Putri bungsu segera membawa minuman dalam botol yang diberikan nenek penyihir. Sebelum pergi ke daratan, ia mendatangi rumahnya terlebih dulu. la memandang ayahnya, neneknya, dan kakak-kakaknya dari jauh.
la tidak sanggup mengucapkan kata perpisahan pada mereka. Sambil meneteskan air mata, putri bungsu pergi ke permukaan menuju pantai dekat rumah Pangeran Henry.
Dengan tekad yang bulat, putri bungsu meminum air dari nenek penyihir. Perlahan-lahan, ekor ikannya berubah menjadi kaki. Rasanya sakit sekali. Tapi, akhirnya putri bungsu bertemu Pangeran Henry. Mereka pun menikah dan hidup bahagia.



Putri Ular dari Simalungun

Berita tentang kecantikan putri raja itu tersebar ke berbagai pelosok negeri. Berita tersebut juga didengar oleh seorang raja muda yang memerintah di sebuah kerajaan yang letaknya tidak jauh dari kerajaan ayah sang Putri.
Mendengar kabar tersebut, Raja Muda yang tampan itu berniat melamar sang putri. Sang raja kemudian mengumpulkan para penasehat kerajaan untuk memusyawarahkan keinginannya tersebut.
“Wahai, para penasehatku! Apakah kalian sudah mendengar berita kecantikan putri itu?” tanya sang raja kepada penasehatnya.
“Sudah, Tuan!” jawab para penasehat serantak.
“Bagaimana menurut kalian, jika sang putri itu aku jadikan sebagai permaisuri?” sang Raja kembali bertanya.
“Hamba setuju, Tuan!” jawab salah seorang penasehat.
“Iya, Tuan! Hamba kira, Tuan dan Putri adalah pasangan yang sangat serasi. Tuan seorang raja muda yang tampan, sedangkan sang putri seorang gadis yang cantik jelita,” tambah seorang penasehat.
“Baiklah kalau begitu. Segera persiapkan segala keperluan untuk meminang sang putri,” perintah sang raja.
“Baik, Baginda!” jawab seluruh penasehat serentak.
Keesokan harinya, tampak rombongan utusan raja muda meninggalkan istana menuju negeri tempat tinggal sang putri. Sesampainya di sana, mereka disambut dan dijamu dengan baik oleh ayah sang putri. Usai perjamuan, utusan sang raja muda pun menyampaikan maksud kedatangan mereka.
“Ampun, Baginda! Maksud kedatangan kami ke sini adalah hendak menyampaikan pinangan Raja kami,” jawab salah seorang utusan yang bertindak sebagai juru bicara.
“Kami menerima pinangan Raja kalian dengan senang hati, karena kedua kerajaan akan bersatu untuk mewujudkan masyarakat yang makmur, damai dan sejahtera,” jawab sang raja.
“Terima kasih, Baginda! Berita gembira ini segera kami sampaikan kepada Raja kami. Akan tetapi…, Raja kami berpesan bahwa jika lamaran ini diterima pernikahan akan dilangsungkan dua bulan lagi,” ujar utusan tersebut.
“Kenapa begitu lama?” tanya sang Raja tidak sabar.
“Raja kami ingin pernikahannya dilangsungkan secara besar-besaran,” jawab utusan itu.
“Baiklah kalau begitu, kami siap menunggu,” jawab sang Raja.
Usai berunding, utusan Raja Muda berpamitan kepada sang Raja untuk kembali ke negeri mereka. Setibanya di sana, mereka langsung melaporkan berita gembira itu kepada Raja mereka, bahwa pinangannya diterima. Sang Raja Muda sangat gembira mendengar berita itu.
“Kalau begitu, mulai saat ini kita harus menyiapkan segala keperluan untuk upacara pernikahan ini!” seru Raja Muda.
“Baiklah, Tuan! Segera kami kerjakan,” jawab seorang utusan.
Sementara itu, setelah para utusan Raja Muda kembali ke negeri mereka, ayah sang Putri menemui putrinya dan menyampaikan berita pinangan itu.
“Wahai, putriku! Tahukah engkau maksud kedatangan para utusan itu?” tanya sang Raja kepada putrinya.
“Tidak, ayah! Memangnya ada apa, yah?” sang putri balik bertanya.
“Ketahuilah, putriku! Kedatangan mereka kemari untuk menyampaikan pinangan raja mereka yang masih muda. Bagaimana menurutmu?” tanya sang Ayah.
“Jika ayah senang, putri bersedia,” jawab sang Putri malu-malu.
“Ayah sangat bangga memiliki putri yang cantik dan penurut sepertimu, wahai putriku!” sanjung sang Ayah.
“Putriku, jagalah dirimu baik-baik! Jangan sampai terjadi sesuatu yang dapat membatalkan pernikahanmu,” tambah sang ayah.
“Baik, ayah!” jawab sang putri.
Menjelang hari pernikahannya, sebagaimana biasa, setiap pagi sang putri pergi mandi dengan ditemani beberapa orang dayangnya di sebuah kolam yang berada di belakang istana. Di pinggir kolam disiapkan sebuah batu besar untuk tempat duduk sang putri. Usai berganti pakaian, sang putri segera masuk ke dalam kolam berendam sejenak untuk menyejukkan sekujur tubuhnya.
Setelah beberapa saat berendam, sang putri duduk di atas batu di tepi kolam. Sambil menjuntaikan kakinya ke dalam air, sang putri membayangkan betapa bahagianya saat pernikahan nanti, duduk bersanding di pelaminan bersama sang suami, seorang Raja Muda yang gagah dan tampan.
Di tengah-tengah sang putri asyik mengkhayal dan menikmati kesejukan air kolam itu, tiba-tiba angin bertiup kencang. Tanpa diduga, sebuah ranting pohon yang sudah kering mendadak jatuh tepat mengenahi ujung hidung sang putri.
“Aduuuh, hidungku!” jerit sang putri sambil memegang hidungnya.
Dalam sekejap, tangan putri yang malang itu penuh dengan darah. Sambil menahan rasa sakit, sang putri menyuruh dayang-dayangnya untuk diambilkan cermin. Betapa terkejut dan kecewanya sang putri saat melihat wajahnya di cermin. Hidungnya yang semula mancung itu tiba-tiba menjadi sompel (hilang sebagian) tertimpa ranting pohon yang ujungnya tajam. Kini wajah sang putri tidak cantik lagi seperti semula. Ia sangat sedih dan air matanya pun bercucuran keluar dari kelopak matanya.
“Celaka! Pernikahanku dengan raja muda akan gagal. Ia pasti akan mencari putri lain yang tidak memiliki cacat. Jika aku gagal menikah dengan raja muda, ayah dan ibu pasti kecewa dan malu di hadapan rakyatnya,” pikir sang putri.
Sang putri sangat tertekan. Pikiran-pikiran itu terus berkecamuk di kepalanya. Hatinya pun semakin bingung. Ia tidak ingin membuat malu dan kecewa kedua orang tuanya. Namun, ia tidak mampu mengatasi permasalahan yang sedang dihadapinya. Ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi, selain menyesali nasibnya yang malang itu.
Sang putri pun jadi putus asa. Sambil menangis, ia menengadahkan kedua tangannya ke atas, lalu berdoa:
“Ya, Tuhan! Hukumlah hambamu ini yang telah membuat malu dan kecewa orang tuanya!” doa sang putri dengan mata berkaca-kaca.
Baru saja doa itu terucap dari mulut sang putri, tiba-tiba petir menyambar-nyambar sebagai tanda doa sang putri didengar oleh Tuhan. Beberapa saat kemudian, tubuh sang putri mengalami perubahan yang sangat mengejutkan. Kakinya yang putih mulus tiba-tiba mengeluarkan sisik. Sisik tersebut semakin merambat ke atas. Dayang-dayangnya pun tersentak kaget saat melihat peristiwa itu. Ketika sisik itu mencapai dada, sang putri segera memerintahkan seorang dayang-dayangnya untuk memberi tahu ayah dan ibunya di dalam istana.
“Ampun, Tuan!” hormat sang dayang kepada raja.
“Ada apa, dayang-dayang?” tanya sang raja.
“Ampun, Tuan! Kulit tuan putri mengeluarkan sisik seperti ular,” lapor sang dayang.
“Apa…? Anakku mengeluarkan sisik!” tanya sang raja tersentak kaget.
“Benar, Tuan! Hamba sendiri tidak tahu kenapa hal itu bisa terjadi,” jawab sang dayang.
Setelah mendengar laporan itu, sang raja dan permaisuri segera menuju ke kolam permandian. Sesampainya di tempat itu, mereka sudah tidak melihat tubuh sang putri. Yang tampak hanya seekor ular besar yang bergelung di atas batu yang biasa dipakai sang putri untuk duduk.
“Putriku!” seru sang raja kepada ular itu.
Ular itu hanya bisa menggerakan kepala dan menjulurkan lidahnya dengan tatapan mata yang sayu. Ia seakan hendak berbicara, namun tak satu kata pun yang terucap dari mulutnya.
“Putriku! Apa yang terjadi denganmu?” tanya permaisuri cemas.
Meskipun permaisuri sudah berteriak memanggilnya, namun ular itu tetap saja tidak bisa berkata apa-apa. Tak lama kemudian, ular besar penjelmaan sang putri pergi meninggalkan mereka dan masuk ke dalam semak belukar. Sang raja dan permaisuri beserta dayang-dayang tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka sangat sedih dan menangis atas nasib malang yang menimpa sang putri.
Peristiwa penjelmaan sang putri menjadi seekor ular adalah hukuman dari Yang Kuasa atas permintaannya sendiri, karena keputusasaannya. Ia putus asa karena telah membuat malu dan kecewa kedua orang tuanya. Ia tidak berhasil menjaga amanah ayahnya untuk selalu jaga diri agar tidak terjadi sesuatu yang dapat membatalkan pernikahannya dengan Raja Muda yang tampan itu.

Legenda Putri Kandita

Alkisah, di daerah Pakuan (kini Kota Bogor), Jawa Barat, terdapat seorang raja bernama Sri Baduga Maharaja atau lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi yang bertahta di Kerajaan Pakuan Pajajaran.
Ia adalah Raja yang arif dan bijaksana. Sang Prabu juga mempunyai seorang permaisuri yang cantik jelita dan beberapa selir yang cantik-cantik. Dari hasil perkawinannya dengan sang permaisuri lahir seorang putri yang bernama Putri Kandita.

Putri Kandita memiliki paras yang cantik melebihi kecantikan ibunya. Ia merupakan putri kesayangan Prabu Siliwangi. Ketika ia mulai dewasa, sifat arif dan bijaksana seperti yang dimiliki oleh sang ayah mulai muncul pada dirinya.
Tidak mengherankan jika Prabu Siliwangi bermaksud mencalonkan Putri Kandita sebagai penggantinya kelak. Namun, rencana tersebut ternyata tidak disukai oleh para selir dan putra-putrinya yang lain. Oleh karena itu, mereka pun bersekongkol untuk mengusir Putri Kandita dan ibunya dari istana.

Suatu malam, para selir Prabu Siliwangi dan putra-putri mereka mengadakan pertemuan rahasia di dalam istana.

“Bagaimana cara menyingkirkan Putri Kandita dan permaisuri dari istana ini tanpa sepengetahuan Prabu?” tanya salah seorang selir.

“Kita harus berhati-hati karena jika Prabu mengetahui rencana ini, maka kita semua akan binasa,” ujar selir yang lain.

Sejenak, suasana pertemuan itu menjadi hening. Semuanya sedang berpikir keras untuk mencari cara yang paling tepat agar rencana mereka dapat terlaksana tanpa sepengetahuan Prabu Siliwangi.

“Sekarang aku tahu caranya,” sahut seorang selir yang lain memecah suasana keheningan.

“Apakah caramu itu?” tanya semua peserta rapat serentak.

“Aku mempunyai kenalan seorang dukun yang terkenal dengan kesaktian ilmu hitamnya. Dukun itu pasti mau membantu kita jika kita memberinya upah yang besar,” jawab selir itu.
Semua peserta rapat setuju dengan cara tersebut. Pada esok hari, para selir mengutus seorang dayang istana untuk menemui dukun itu di gubuknya di sebuah desa yang letaknya cukup jauh dari istana. 
Setelah menjelaskan maksud kedatangannya, utusan itu kemudian menyerahkan sejumlah keping uang logam emas kepada sang dukun. Tanpa berpikir panjang, sang dukun pun langsung menyanggupi permintaan para selir tersebut.

Setelah utusan selir itu kembali ke istana, sang dukun segera melaksanakan tugasnya. Dengan ilmu hitam yang dimiliki, dukun itu menyihir Putri Kandita dan ibunya dengan penyakit kusta sehingga sekujur tubuh mereka yang semula mulus dan bersih, timbul luka borok dan mengeluarkan bau tidak sedap.
Prabu Siliwingi heran melihat penyakit borok itu tiba-tiba menyerang putri dan permaisurinya secara bersamaan. Ia pun segera mengundang para tabib untuk mengobati penyakit tersebut.

Para tabib dari berbagai negeri sudah didatangkan, namun tak seorang pun yang mampu menyembuhkan penyakit Putri Kandita dan sang permaisuri. Bahkan, penyakit sang permaisuri semakin hari semakin parah dan menyebarkan bau busuk yang sangat menyengat. Tubuhnya pun semakin lemah karena tidak mau makan dan minum. Selang beberapa hari kemudian, sang permaisuri menghembuskan nafas terakhirnya.

Kepergian sang permaisuri benar-benar meninggalkan luka yang sangat dalam bagi seluruh isi istana, khususnya Prabu Siliwingi. Sejak itu, ia selalu duduk termenung seorang diri. Satu-satunya harapan yang dapat mengobati kesedihannya adalah Putri Kandita.
Namun harapan itu hanya tinggal harapan karena penyakit sang putri tak kunjung sembuh. Keadaan itu pun tidak disia-siakan oleh para selir dan putra-putrinya. Mereka bersepakat untuk menghasut Prabu Siliwangi agar segera mengusir Putri Kandita dari istana.

“Ampun, Baginda Prabu! Izinkanlah Hamba untuk menyampaikan sebuah saran kepada Baginda,” pinta seorang selir.

“Apakah saranmu itu, wahai selirku? Katakanlah,” jawab Prabu Siliwingi.

“Begini Baginda, kita semua sudah tahu bahwa keadaan penyakit Putri Kandita saat ini semakin parah dan sulit untuk disembuhkan. Jika sang putri dibiarkan terus tinggal di istana, Hamba khawatir penyakitnya akan membawa malapetaka bagi negeri ini,” hasut seorang selir.

Mulanya, Prabu Siliwangi merasa berat untuk menerima saran itu karena begitu sayangnya kepada Putri Kandita. Namun karena para selir terus mendesaknya, maka dengan berat hati ia terpaksa mengusir Putri Kandita dari istana.
Dengan hati hancur, Putri Kandita pun meninggalkan istana melalui pintu belakang istana. Ia berjalan menuruti ke mana kakinya melangkah tanpa arah dan tujuan yang pasti. Setelah berhari-hari berjalan, Putri Kandita tiba di pantai selatan. Putri Prabu Siliwingi yang malang itu bingung harus berjalan ke mana lagi. Di hadapannya terbentang samudera yang luas dan dalam. Tidak mungkin pula ia kembali ke istana.

“Ah, aku letih sekali. Lebih baik aku beristirahat dulu di sini,” keluh Putri Kandita seraya merebahkan tubuhnya di atas sebuah batu karang.

Sang Putri tampak begitu kelelahan sehingga dalam beberapa saat saja ia langsung tertidur. Dalam tidurnya, ia mendengar sebuah suara yang menegurnya.

“Wahai, Putri Kandita! Jika kamu ingin sembuh dari penyakitmu, berceburlah ke dalam lautan ini! Niscaya kulitmu akan pulih seperti sediakala,” ujar suara itu.

Putri Kandita pun cepat-cepat bangun setelah mendengar suara itu.

“Apakah aku bermimpi?” gumamnya sambil mengusap-usap matanya tiga kali.

Setelah itu, sang Putri mengamati sekelilingnya, namun tak seorang pun yang dilihatnya.

“Aku mendengar suara itu dengan sangat jelas. Tetapi kenapa tidak ada orang di sekitar sini? Wah, jangan-jangan ini wangsit,” pikirnya.

Meyakini suara itu sebagai sebuah wangsit, Putri Kandita pun menceburkan diri ke laut. Sungguh ajaib, saat menyentuh air, seluruh tubuhnya yang dihinggapi penyakit kusta berangsur-angsur hilang hingga akhirnya kembali menjadi halus dan bersih seperti sediakala. Tidak hanya itu, putri kesayangan Prabu Siliwingi itu juga menjadi putri yang sakti mandraguna.

Meskipun telah sembuh dari penyakitnya, Putri Kandita enggan untuk kembali ke istana. Ia lebih memilih untuk menetap di pantai sebelah selatan wilayah Pakuan Pajajaran itu. Sejak menetap di sana, ia dikenal luas ke berbagai kerajaan yang ada di Pulau Jawa sebagai putri yang cantik dan sakti.
Para pangeran dari berbagai kerajaan pun berdatangan untuk melamarnya. Menghadapi para pelamar tersebut, Putri Kandita mengajukan sebuah syarat yaitu dirinya bersedia dipersunting asalkan mereka sanggup mengalahkan kesaktiannya, termasuk bertempur di atas gelombang laut yang ada di selatan Pulau Jawa. Namun, jika kalah adu kesaktian itu, maka mereka harus menjadi pengikut Putri Kandita.

Dari sekian banyak pangeran yang beradu kesaktian dengan Putri Kandita, tak seorang pun dari mereka yang mampu mengalahkan kesaktian sang Putri. Dengan demikian, para pelamar tersebut akhirnya menjadi pengikut Putri Kandita. Sejak itulah, Putri Kandita dikenal sebagai Ratu Penguasa Laut Selatan Pulau Jawa.

Ada sebuah kisah tentang sebuah kerajaan yang mahsyur, kaya, nan megah. Kerajaan itu mempunyai raja, istri dan anak dari sang raja. Pada suatu hari di kerajaan itu ada 3 tukang orang pengukir atau pemahat batu yang mengabdi pada sang raja untuk membuatkan patung kerajaan, sebagai simbol kemegahan dari kerajaannya. Tak sengaja anak sang raja si putri kerajaan melihat salah satu si tukang pengukir tersebut, dan si tuan putri ini jatuh hati pada si tukang pengukir tersebut. Tak lama kemudian keesokan harinya si putri bermain ke taman di mana tempat ke 3 orang pengukir batu membuatkan patung yang diperintahkan oleh sang raja. Lalu si putri mendekat dan terkena percikan dari seorang pemahat yang dia cintai. Lalu si tukang pemahat itu meminta maaf kepada sang ratu karena merasa bersalah mengenai matanya, lalu meniup mata tuan putri dengan lembut. Dengan seraya mengatakan maafkan saya baginda ratu saya tidak sengaja, tuan putri dengan santai mengucap tidak apa-apa kok. Dalam hati tuan putri ia sengaja kelilipan dan minta di tiup dari si tukang pengukir itu.

Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ
Ada sebuah kisah tentang sebuah kerajaan yang mahsyur, kaya, nan megah. Kerajaan itu mempunyai raja, istri dan anak dari sang raja. Pada suatu hari di kerajaan itu ada 3 tukang orang pengukir atau pemahat batu yang mengabdi pada sang raja untuk membuatkan patung kerajaan, sebagai simbol kemegahan dari kerajaannya. Tak sengaja anak sang raja si putri kerajaan melihat salah satu si tukang pengukir tersebut, dan si tuan putri ini jatuh hati pada si tukang pengukir tersebut. Tak lama kemudian keesokan harinya si putri bermain ke taman di mana tempat ke 3 orang pengukir batu membuatkan patung yang diperintahkan oleh sang raja. Lalu si putri mendekat dan terkena percikan dari seorang pemahat yang dia cintai. Lalu si tukang pemahat itu meminta maaf kepada sang ratu karena merasa bersalah mengenai matanya, lalu meniup mata tuan putri dengan lembut. Dengan seraya mengatakan maafkan saya baginda ratu saya tidak sengaja, tuan putri dengan santai mengucap tidak apa-apa kok. Dalam hati tuan putri ia sengaja kelilipan dan minta di tiup dari si tukang pengukir itu.

Make Money Online : http://ow.ly/KNICZ

Legenda Batu Gantung

Pada jaman dahulu kala di sebuah desa kecil di tepi Danau Toba hiduplah sepasang suami-isteri dengan seorang anak perempuannya yang cantik jelita bernama Seruni. Selain cantik, Seruni juga tergolong sebagai anak yang rajin karena selalu membantu kedua orang tuanya ketika mereka sedang bekerja di ladang yang hasilnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Suatu hari, Seruni harus bekerja di ladang seorang diri karena kedua orang tuanya sedang ada keperluan di desa tetangga. Ia hanya ditemani oleh anjing peliharaannya yang diberi nama Si Toki. Sesampainya di ladang Seruni hanya duduk termenung sambil memandangi indahnya alam Danau Toba. Sementara anjingnya, Si Toki, ikut duduk disamping sambil menatap wajah majikannya yang tampak seperti sedang menghadapi suatu masalah. Sesekali sang anjing menggonggong untuk mengalihkan perhatian Seruni apabila ada sesuatu yang mencurigakan di sekitar ladang.

Sebenarnya, beberapa hari terakhir Seruni selalu tampak murung. Hal ini disebabkan karena Sang Ayah akan menjodohkannya dengan seorang pemuda yang masih tergolong sepupunya sendiri. Padahal, ia telah menjalin hubungan asmara dengan seorang pemuda di desanya dan telah berjanji pula akan membina rumah tangga. Keadaan ini membuatnya menjadi bingung, tidak tahu harus berbuat apa, dan mulai berputus asa. Di satu sisi ia tidak ingin mengecewakan kedua orang tuanya, namun di sisi lain ia juga tidak sanggup jika harus berpisah dengan pemuda pujaan hatinya.

Setelah merenung beberapa saat dan tanpa menghasilkan apa-apa, Seruni beranjak bangkit dari tempat ia duduk. Dengan berderai air mata ia berjalan perlahan ke arah Danau Toba. Rupanya ia sudah sangat berputus asa dan ingin mengakhiri hidupnya dengan cara menceburkan diri ke Danau Toba. Sementara Si Toki yang juga mengikuti majikannya menuju tepi danau hanya bisa menggonggong karena tidak tahu apa yang sedang berkecamuk di dalam benak Seruni.

Saat berjalan ke arah tebing di tepi Danau Toba, tiba-tiba ia terperosok ke dalam sebuah lubang batu besar hingga masuk ke dasarnya. Dan, karena berada di dasar lubang yang sangat gelap, membuat gadis cantik itu menjadi takut dan berteriak minta tolong kepada anjing kesayangannya. Namun karena Si Toki hanyalah seekor binatang, maka ia tidak dapat berbuat apa-apa kecuali terus-menerus menggonggong di sekitar mulut lubang.

Akhirnya gadis itu pun semakin putus asa dan berkata dalam hati, “Ah, lebih baik aku mati saja.”

Setelah berkata seperti itu, entah mengapa dinding-dinding lubang tersebut mulai merapat. “Parapat…! Parapat batu!” seru Seruni agar dinding batu semakin merapat dan menghimpit tubuhnya.

Melihat kejadian itu Si Toki langsung berlari ke rumah untuk meminta bantuan. Sesampainya di rumah Si Toki segera menghampiri orang tua Seruni yang kebetulan sudah berada di rumah. Sambil menggonggong, mencakar-cakar tanah dan mondar-mandir di sekitar majikannya, Si Toki berusaha memberitahukan bahwa Seruni dalam keadaan bahaya.

Sadar akan apa yang sedang diisyaratkan oleh si anjing, orang tua Seruni segera beranjak menuju ladang. Keduanya berlari mengikuti Si Toki hingga sampai ke tepi lubang tempat anak gadis mereka terperosok. Ketika mendengar jeritan anaknya dari dalam lubang, Sang Ibu segera membuat obor sebagai penerang karena hari telah senja. Sementara Sang Ayah berlari kembali menuju desa untuk meminta bantuan para tetangga.

Tak berapa lama kemudian, sebagian besar tetangga telah berkumpul di rumah ayah Seruni untuk bersama-sama menuju ke lubang tempat Seruni terperosok. Mereka ada yang membawa tangga bambu, tambang, dan obor sebagai penerangan.

Sesampainya rombongan di ladang, sambil bercucuran air mata Ibu Seruni berkata pada suaminya, “Pak, lubangnya terlalu dalam dan tidak tembus cahaya. Saya hanya mendengar sayup-sayup suara anak kita yang berkata: parapat, parapat batu…”

Tanpa menjawab pertanyaan isterinya, Ayah Seruni segera melonggok ke dalam lubang dan berteriak, “Seruniii…! Serunii…!”

“Seruni…anakku! Kami akan menolongmu!” sang ibu ikut berteriak.

Beberapa kali mereka berteriak, namun tidak mendapat jawaban dari Seruni. Hanya suara Seruni terdengar sayup-sayup yang menyuruh batu di sekelilingnya untuk merapat dan menghimpitnya.

Warga yang hadir di tempat itu juga berusaha untuk membantu dengan mengulurkan seutas tambang hingga ke dasar lubang, namun sama sekali tidak disentuh atau dipegang oleh Seruni.

Merasa khawatir, Sang Ayah memutuskan untuk menyusul puterinya masuk ke dalam lubang, “Bu, pegang obor ini! Saya akan turun menjemput anak kita!”

“Jangan gegabah, Pak. Lubang ini sangat berbahaya!” cegah sang isteri.

“Benar Pak, lubang ini sangat dalam dan gelap,” sahut salah seorang tetangganya.

Setelah ayah Seruni mengurungkan niatnya, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dan bumi pun bergoncang dahsyat yang membuat lubang secara perlahan merapat dan tertutup dengan sendirinya. Seruni yang berada di dalam lubang akhirnya terhimpit dan tidak dapat diselamatkan.

Beberapa saat setelah gempa berhenti, di atas lubang yang telah tertutup itu muncullah sebuah batu besar yang menyerupai tubuh seorang gadis yang seolah-olah menggantung pada dinding tebing di tepi Danau Toba. Orang-orang yang melihat kejadian itu mempercayai bahwa batu itu adalah penjelmaan dari Seruni dan kemudian menamainya sebagai “Batu Gantung”.

Dan, karena ucapan Seruni yang terakhir didengar oleh warga hanyalah “parapat, parapat, dan parapat”, maka daerah di sekitar Batu Gantung kemudian diberi nama Parapat. Kini Parapat telah menjelma menjadi salah satu kota tujuan wisata di Provinsi Sumatera Utara.

Legenda Ikan Patin

Alkisah, pada zaman dahulu kala, di Tanah Melayu hiduplah seorang nelayan tua yang bernama Awang Gading. Ia tinggal seorang diri di tepi sungai. Pekerjaannya sehari – hari adalah menangkap ikan dan terkadang ia pergi ke hutan untuk mencari kayu.
 “Air pasang telan ke insang
Air surut telan ke perut
Renggutlah…!
Biar putus jangan rabut,”
Itu adalah kata – kata yang ia sering ucapkan sewaktu sedang memancing ikan.
Suatu hari di waktu Ia sedang memancing dan tidak menemukan seekor ikan sama sekali. Di waktu perjalanan pulang Ia mendengarkan seorang bayi yang sedang menangis. Karena rasa penasaran ia mencari dari mana suara itu berasal?..Tak lama mencari, ia pun menemukan bayi perempuan yang mungil tergolek di atas batu. Tampaknya bayi itu baru saja dilahirkan oleh ibunya. karena rasa iba, dibawanya bayi itu pulang ke rumahnya.
Sesampainya di rumahnya Awang Gading memberi nama bayi itu Dayang Kumunah. Dengan bahagia Awang Gading menimang-nimang sang bayi sambil mendendang. Ia berjanji akan bekerja lebih giat lagi dan mendidik anak ini dengan baik. Awang Gading juga membekali Dayang Kumunah berbagai ilmu pengetuhan dan pelajaran budi pekerti. Setiap hari ia juga mengajak Dayang pergi mengail atau mencari kayu di hutan untuk mengenal kehidupan alam lebih dekat.
Waktu terus berjalan. Dayang Kumunah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik dan berbudi pekerti luhur. Ia juga sangat rajin membantu ayahnya. Namun sayang, Dayang Kumunah tidak pernah tertawa.
Suatu hari, seorang pemuda kaya dan tampan yang kebetulan lewat di depan rumah Dayang. Pemuda itu bernama Awangku Usop. Saat melihat Dayang Kumunah, Awangku Usop langsung jatuh hati kepadanya dan berniat untuk segera meminangnya. Beberapa hari kemudian, Awangku Usop meminang Dayang Kumunah pada Awang Gading. Setelah Dayang Kumunah berfikir beberapa lama, Ia menerima pinangan Awangku Usop dengan syarat, jangan pernah meminta saya untuk tertawa. Awangku Usop menyanggupi syarat yang di ajukan Dayang Kumunah tersebut.
Pernikahan pun dilangsungkan, tetapi terjadi sebuah kejadian yang tidak bahagia setelah pernikahan tersebut. Awang Gading meninggal dunia karena sakit. Peristiwa itu membuat hati Dayang Kumunah diselimuti perasaan sedih, hingga berbulan – bulan. Untungnya, kesedihan itu segera terobati dengan kelahiran anak-anaknya yang berjumlah lima orang.
Namun, Awang Usop merasa tidak bahagia karena belum melihat Dayang Kumunah tertawa. Sejak pertemuan pertama kali hingga kini, istri Awang Usop belum pernah tertawa sama sekali. Tetapi di suatu sore, Dayang Kumunah bersama – sama keluarganya sedang berada di teras rumah. Mereka bercanda ria dan Semua anggota keluarga tertawa bahagia, kecuali Dayang Kumunah. Pada saat itu Awang Usop mendesak Dayang Kumunah ikut tertawa. Akhirnya ia pu tertawa setelah sekian lama tertawa. Pada Saat itulah, muncul insang ikan di mulutnya. Dayang Kumunah segera berlari ke arah sungai. Dan berubah menjadi ikan.
Awang Usop menyesal karena telah mendesak istrinya untuk tertawa. Tetapi, semua sudah terlambat. Ikan dengan bentuk badan cantik dan kulit mengilat tanpa sisik inilah yang orang-orang sebut sebagai ikan patin. Sebelum masuk ke sungai, Dayang Kumunah berpesan kepada suaminya, “Kanda, peliharalah anak-anak kita dengan baik.”
Awangku Usop dan anak-anaknya sangat bersedih melihat Dayang Kumunah yang sangat mereka cintai itu telah menjadi ikan. Mereka pun berjanji tidak akan makan ikan patin, karena dianggap sebagai keluarga mereka. Itulah sebabnya sebagian orang Melayu tidak makan ikan patin

Asal Mula Danau Limboto

Danau Limboto merupakan sebuah danau yang terletak di Kecamatan Limboto, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo Indonesia. Dahulu danau ini bernama Bulalo lo limu o tutu, yang berarti danau dari jeruk yang berasal dari Kahyangan. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, keberadaan danau seluas kurang lebih 3.000 hektar ini disebabkan oleh sebuah peristiwa ajaib yang terjadi di daerah itu. Peristiwa apakah yang menyebabkan terjadinya Danau Limboto? Ikuti kisahnya dalam cerita Asal Mula Danau Limboto berikut ini!
Pada zaman dahulu, daerah Limboto merupakan hamparan laut yang luas. Di tengahnya terdapat dua buah gunung yang tinggi, yaitu Gunung Boliohuto dan Gunung Tilongkabila. Kedua gunung tersebut merupakan petunjuk arah bagi masyarakat yang akan memasuki Gorontalo melalui jalur laut. Gunung Bilohuto menunjukkan arah barat, sedangkan Gunung Tilongkabila menunjukkan arah timur.
Pada suatu ketika, air laut surut, sehingga kawasan itu berubah menjadi daratan. Tak beberapa lama kemudian, kawasan itu berubah menjadi hamparan hutan yang sangat luas. Di beberapa tempat masih terlihat adanya air laut tergenang, dan di beberapa tempat yang lain muncul sejumlah mata air tawar, yang kemudian membentuk genangan air tawar. Salah satu di antara mata air tersebut mengeluarkan air yang sangat jernih dan sejuk. Mata air yang berada di tengah-tengah hutan dan jarang dijamah oleh manusia tersebut bernama Mata Air Tupalo. Tempat ini sering didatangi oleh tujuh bidadari bersaudara dari Kahyangan untuk mandi dan bermain sembur-semburan air.
Pada suatu hari, ketika ketujuh bidadari tersebut sedang asyik mandi dan bersendau gurau di sekitar mata air Tupalo tersebut, seorang pemuda tampan bernama Jilumoto melintas di tempat itu. Jilumoto dalam bahasa setempat berarti seorang penduduk kahyangan berkunjung ke bumi dengan menjelma menjadi manusia. Melihat ketujuh bidadari tersebut, Jilumoto segera bersembunyi di balik sebuah pohon besar. Dari balik pohon itu, ia memerhatikan ketujuh bidadari yang sedang asyik mandi sampai matanya tidak berkedip sedikitpun.
“Aduhai…. cantiknya bidadari-bidadari itu!” gumam Jilumoto dengan takjub.
Melihat kecantikan para bidadari tersebut, Jilumoto tiba-tiba timbul niatnya untuk mengambil salah satu sayap mereka yang diletakkan di atas batu besar, sehingga si pemilik sayap itu tidak dapat terbang kembali ke kahyangan. Dengan begitu, maka ia dapat memperistrinya. Ketika para bidadari tersebut sedang asyik bersendau gurau, perlahan-lahan ia berjalan menuju ke tempat sayap-sayap tersebut diletakkan. Setelah berhasil mengambil salah satu sayap bidadari tersebut, pemuda tampan itu kembali bersembunyi di balik pohon besar.
Ketika hari menjelang sore, ketujuh bidadari tersebut selesai mandi dan bersiap-siap untuk pulang ke Kahyangan. Setelah memakai kembali sayap masing-masing, mereka pun bersiap-siap terbang ke angkasa. Namun, salah seorang di antara mereka masih tampak kebingungan mencari sayapnya.
“Hai, Adik-adikku! Apakah kalian melihat sayap Kakak?”.
Rupanya, bidadari yang kehilangan sayap itu adalah bidadari tertua yang bernama Mbu`i Bungale. Keenam adiknya segera membantu sang Kakak untuk mencari sayap yang hilang tersebut. Mereka telah mencari ke sana kemari, namun sayap tersebut belum juga ditemukan. Karena hari mulai gelap, keenam bidadari itu pergi meninggalkan sang Kakak seorang diri di dekat Mata Air Tupalo.
“Kakak.. jaga diri Kakak baik-baik!” seru bidadari yang bungsu.
“Adikku…! Jangan tinggalkan Kakak!” teriak Mbu`i Bungale ketika melihat keenam adiknya sedang terbang menuju ke angkasa.
Keenam adiknya tersebut tidak menghiraukan teriakannya. Tinggallah Mbu`i Bungale seorang diri di tengah hutan. Hatinya sangat sedih, karena ia tidak bisa bertemu lagi dengan keluarganya di Kahyangan. Beberapa saat kemudian, Jilumoto keluar dari tempat persembunyiannya dan segera menghampiri Mbu`i Bungale.
“Hai, Bidadari cantik! Kenapa kamu bersedih begitu?” tanya Jilumoto dengan berpura-pura tidak mengetahui keadaan sebenarnya.
“Sayapku hilang, Bang! Adik tidak bisa lagi kembali ke Kahyangan,” jawab Mbu`i Bungale.
Mendengar jawaban itu, tanpa berpikir panjang Jilumoto segera mengajak Mbu`i Bungale untuk menikah. Bidadari yang malang itu pun bersedia menikah dengan Jilumoto. Setelah menikah, mereka memutuskan untuk tinggal bersama di bumi. Mereka pun mencari tanah untuk bercocok tanam. Setelah berapa lama mencari, akhirnya sepasang suami-istri itu menemukan sebuah bukit yang terletak tidak jauh dari Mata Air Tupalo. Di atas bukit itulah mereka mendirikan sebuah rumah sederhana dan berladang dengan menanam berbagai macam jenis tanaman yang dapat dimakan. Mereka menamai bukit itu Huntu lo Ti`opo atau Bukit Kapas..
Pada suatu hari, Mbu`i Bungali mendapat kiriman Bimelula, yaitu sebuah mustika sebesar telur itik dari Kahyangan. Bimelula itu ia simpan di dekat mata air Tupalo dan menutupinya dengan sehelai tolu atau tudung. Beberapa hari kemudian, ada empat pelancong dari daerah timur yang melintas dan melihat mati air Tupalo tersebut. Begitu melihat air yang jernih dan dingin itu, mereka segera meminumnya karena kehausan setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh. Usai minum, salah seorang di antara mereka melihat ada tudung tergeletak di dekat mata air Tupalo.
“Hai, kawan-kawan! Lihatlah benda itu! Bukankah itu tudung?” seru salah seorang dari pelancong itu.
“Benar, kawan! Itu adalah tudung,” kata seorang pelancong lainnya.
“Aneh, kenapa ada tudung di tengah hutan yang sepi ini?” sahut pelancong yang lainnya dengan heran.
Oleh Karena penasaran, mereka segera mendekati tudung itu dan bermaksud untuk menangkatnya. Namun, begitu mereka ingin menyentuh tudung itu, tiba-tiba badai dan angin topan sangat dahsyat datang menerjang, kemudian disusul dengan hujan yang sangat deras. Keempat pelancong itu pun berlarian mencari perlindungan agar terhindar dari marabahaya. Untungnya, badai dan angin topan tersebut tidak berlangsung lama, sehingga mereka dapat selamat.
Setelah badai dan hujan berhenti, keempat pelancong itu kembali ke mata air Tupalo. Mereka melihat tudung itu masih terletak pada tempatnya semula. Oleh karena masih penasaran ingin mengetahui benda yang ditutupi tudung itu, mereka pun bermaksud ingin mengangkat tudung itu. Sebelum mengangkatnya, mereka meludahi bagian atas tudung itu dengan sepah pinang yang sudah dimantrai agar badai dan topan tidak kembali terjadi. Betapa terkejutnya mereka ketika mengangkat tudung itu. Mereka melihat sebuah benda bulat, yang tak lain adalah mustika Bimelula. Mereka pun tertarik dan berkeinginan untuk memiliki mustika itu. Namun begitu mereka akang mengambil mustika Bimelula itu, tiba-tiba Mbu`i Bungale datang bersama suaminya, Jilumoto.
“Maaf, Tuan-Tuan! Tolong jangan sentuh mustika itu! Izinkanlah kami untuk mengambilnya, karena benda itu milik kami!” pinta Mbu`i Bungale.
“Hei, siapa kalian berdua ini? Berani sekali mengaku sebagai pemilik mustika ini!” seru seorang pemimpin pelancong.
“Saya Mbu`i Bungale datang bersama suamiku, Jilumoto, ingin mengambil mustika itu,” jawab Mbu`i Bungale dengan tenang.
“Hai, Mbu`i Bungale! Tempat ini adalah milik kami. Jadi, tak seorang pun yang boleh mengambil barang-barang yang ada di sini, termasuk mustika ini!” bentak pemimpin pelancong itu.
“Apa buktinya bahwa tempat ini dan mustika itu milik kalian?” tanya Mbui`i Bungale.
Pemimpin pelancong itu pun menjawab:
“Kalian mau lihat buktinya? Lihatlah sepah pinang di atas tudung itu! Kamilah yang telah memberinya,” ujar pemimpin pelancong.
Mendengar pengakuan para pelancong tersebut, Mbu`i Bungale hanya tersenyum.
“Hai, aku ingatkan kalian semua! Kawasan mata air ini diturunkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa kepada orang-orang yang suka berbudi baik antarsesama makhluk di dunia ini. Bukan diberikan kepada orang-orang tamak dan rakus seperti kalian. Tapi, jika memang benar kalian pemilik dan penguasa di tempat ini, perluaslah mata air ini! Keluarkanlah seluruh kemampuan kalian, aku siap untuk menantang kalian!” seru Mbu`i Bungale.
Keempat pelancong itu pun bersedia menerima tantangan Mbu`i Bungale. Si pemimpin pelancong segera membaca mantradan mengeluarkan seluruh kemampuannya.
“Wei mata air Kami! Meluas dan membesarlah,” demikian bunyi mantranya.
Berkali-kali pemimpin pelancong itu membaca mantranya, namun tak sedikit pun menunjukkan adanya tanda-tanda mata air itu akan meluas dan membesar. Melihat pemimpin mereka sudah mulai kehabisan tenaga, tiga anak buah pelancong tersebut segera membantu. Meski mereka telah menyatukan kekuatan dan kesaktian, namun mata air Tupalo tidak berubah sedikit pun. Lama-kelamaan keempat pelancong pun tersebut kehabisan tenaga. Melihat mereka kelelahan dan bercucuran keringat, Mbu`i Bungale kembali tersenyum.
“Hai, kenapa kalian berhenti! Tunjukkanlah kepada kami bahwa mata air itu milik kalian! Atau jangan-jangan kalian sudah menyerah!” seru Mbu`i Bungale.
“Diam kau, hai perempuan cerewet! Jangan hanya pandai bicara!” sergah pemimpin pelancong itu balik menantang Mbu`i Bungale. “Jika kamu pemilik mata air ini, buktikan pula kepada kami!”
“Baiklah, Tuan-Tuan! Ketahuilah bahwa Tuhan Maha Tahu mana hambanya yang benar, permintaannya akan dikabulkan!” ujar jawab Mbu`i Bungale dengan penuh keyakinan.
Usai berkata begitu, Mbu`i Bungale segera duduk bersila di samping suaminya seraya bersedekap. Mulutnya pun komat-kamit membaca doa.
“Woyi, air kehidupan, mata air sakti, mata air yang memiliki berkah. Melebar dan meluaslah wahai mata air para bidadari…. membesarlah….!!!” demikian doa Mbu`i Bungale.
Usai berdoa, Mbu`i Bungale segera mengajak suaminya dan memerintahkan keempat pelancong tersebut untuk naik ke atas pohon yang paling tinggi, karena sebentar lagi kawasan itu akan tenggelam. Doa Mbu`i Bungale pun dikabulkan. Beberapa saat kemudian, perut bumi tiba-tiba bergemuruh, tanah bergetar dan menggelegar. Perlahan-lahan mata air Tupalo melebar dan meluas, kemudian menyemburkan air yang sangat deras. Dalam waktu sekejap, tempat itu tergenang air. Keempat pelancong tersebut takjub melihat keajaiban itu dari atas pohon kapuk.
Semakin lama, genangan air itu semakin tinggi hingga hampir mencapai tempat keempat pelancong yang berada di atas pohon kapuk itu. Mereka pun berteriak-teriak ketakutan.
“Ampun Mbu`i Bungale! Kami mengaku salah. Engkaulah pemilik tempat ini dan seisinya!” teriak pemimpin pelancong itu.
Mbu`i Bungale adalah bidadari yang pemaaf. Dengan segera ia memohon kepada Tuhan agar semburan mata air Tupalo dikembalikan seperti semula, sehingga genangan air itu tidak semakin tinggi dan menenggelamkan keempat pelancong tersebut. Tak berapa lama kemudian, semburan air pada mata air Tupalo kembali seperti semula. Mereka pun turun dari pohon. Mbu`i Bungale segera mengambil tudung dan mustika Bimelula. Ajaibnya, ketika ia meletakkan di atas tangannya, mustika yang menyerupai telur itik itu tiba-tiba menetas dan keluarlah seorang bayi perempuan yang sangat cantik. Wajahnya bercahaya bagaikan cahaya bulan. Mbu`i Bungale pun memberinya nama Tolango Hula, diambil dari kata Tilango lo Hulalo yang berarti cahaya bulan. Menurut cerita, Tolango Hula itulah yang kelak menjadi Raja Limboto.
Setelah itu, Mbu`i Bungale dan suaminya segera membawa gadis kecil itu dan mengajak keempat pelancong tersebut ke rumah mereka. Ketika hendak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba Mbu`i Bungale melihat lima buah benda terapung-apung di tengah danau.
“Hai, benda apa itu?” seru Mbu`i Bungale dengan heran sambil menunjuk ke arah benda tersebut.
Karena penasaran, Mbu`i Bungale segera mengambil kelima benda tersebut.
“Bukankah ini buah jeruk?” pikirnya saat  mengamati buah tersebut.
Setelah mencubit dan mencium buah tersebut, lalu mengamatinya, maka yakinlah Mbu`i Bungale bahwa buah jeruk itu sama seperti yang ada di Kahyangan. Untuk lebih meyakinkan dirinya, ia bermaksud untuk memeriksa pepohonan yang tumbuh di sekitar danau.
“Kanda, tolong gendong Tolango Hula! Dinda ingin memeriksa pepohonan di sekitar danau ini. Jangan-jangan di antara pepohonan itu ada pohon jeruk yang tumbuh,” ujar Mbu`i Bungale seraya menyerahkan bayinya kepada sang Suami, Jilumoto.
Setelah beberapa saat mencari dan memeriksa, akhirnya Mbu`i Bungale menemukan beberapa pohon jeruk yang sedang berbuah lebat. Untuk memastikan bahwa pohon yang ditemukan itu benar-benar pohon jeruk dari Kahyangan, ia segera memanggil suaminya untuk mengamatinya.
“Kanda, kemarilah sebentar!” seru Mbu`i Bungale.
“Coba perhatikan pohon dan buah jeruk ini! Bukankah buah ini seperti jeruk Kahyangan, Kanda?” ujarnya.
Suaminya pun segera mendekati pohon jeruk itu sambil menggendong bayi mereka. Setelah memegang dan mengamatinya, ia pun yakin bahwa pohon dan buah jeruk itu berasal dari Kahyangan.
“Kamu benar, Dinda! Pohon jeruk ini seperti yang ada di Kahyangan,” kata Jilumoto.
“Dinda heran! Kenapa ada pohon jeruk Kahyangan tumbuh di sekitar danau ini?” ucap Mbu`i Bungale dengan heran.
Beberapa saat kemudian, Mbu`i Bungale baru menyadari bahwa keberadaan pohon jeruk di sekitar danau itu merupakan anugerah dari Tuhan Yang Mahakuasa. Untuk mengenang peristiwa yang baru saja terjadi di daerah itu, Mbu`i Bungale dan suaminya menamakan danau itu Bulalo lo limu o tutu, yang artinya danau dari jeruk yang berasal dari Kahyangan. Lama-kelamaan, masyarakat setempat menyebutnya dengan Bulalo lo Limutu atau lebih dikenal dengan sebutan Danau Limboto.

Asal Mula Telaga Biru

Dahulu kala Di provinsi Maluku, di daerah Halmahera terdapat sebuah air di antara pembekuan lahar panas. Karena menggenang dalam waktu yang cukup lama. Sehingga membuat airnya menjadi berubah warna menjadi biru. Karena peristiwa ini aneh, penduduk desa di daearah sana membuat acara ritual untuk menemukan jawaban atas kejadian ini.
“Timbul dari Sininga irogi de itepi Sidago kongo dalulu de i uhi imadadi ake majobubu” Timbul dari akibat patah hati yang remuk-redam, meneteskan air mata, mengalir dan mengalir menjadi sumber mata air. Itulah arti kejadian tersebut, yang ditemukan berkat ritual.
Setelah Ritual itu selesai di lakukan maka, Kepala Desa menyuruh warganya untuk berkumpul di pusat desa. Tetua adat dengan penuh wibawa bertanya “Di antara kalian siapa yang tidak hadir namun juga tidak berada di rumah”. Para penduduk mulai saling memandang. Masing-masing sibuk menghitung jumlah anggota keluarganya. Akhirnya diketahui bawa ada dua keluarga yang anggotanya belum lengkap. Mereka adalah Majojaru (nona) dan Magohiduuru (nyong). Setelah itu salah seorang dari warga bercerita tentang mereka berdua.
Dulu ada Sepasang Kekasih yang berjanji untuk sehidup semati. Mereka bernama Majojaru dan Magohiduuru. Suatu hari Magohiduuru pergi berkelana ke negeri seberang, selama hampir satu tahun Magohiduuru belum juga kembali. Majojaru yang terus menunggu dengan setia lama kelamaan menjadi cemas. Suatu hari Majojaru melihat kapal yang dinaiki Magohiduuru datang. Namun Setelah bertanya dengan awak kapal di mendengar bahwa Magohiduuru sudah meninggal dunia ketika di negeri seberang.
Mendengar Kabar tentang Magohiduuru, Majojaru terhempas ke tanah. Mereka berjanji sehidup semati, tetapi sekarang Magohiduuru telah tiada. Kabar yang di dengarnya membuat dia seakan – akan kehilangan dirinya sendiri dan tujuan hidupnya.
Hati yang sedih menyelimuti raut muka Majojaru, muka yang tidak punya harapan hidup tampak dari raut wajahnya. Dengan perlahan – lahan di berjalan menuju ke rumahnya, di tengah perjalanan dia berteduh di sebuah pohon, dan bebatuan. Merenung dan meratapi nasibnya, pikirannya melayang layang, lalu teringat akan kekasihnya Magohiduuru. Air mata keluar dari matanya setetes demi setetes, hingga tiga hari tiga malam telah terlewati. Air matanya yang terus mengalir, lama-kelamaan, semakin banyak hingga menggenangi dirinya sendiri. Majojaru larut dalam kesedihan, dan tanpa di sadari air matanya menggenang tinggi, hingga menenggelamkan bebatuan tempat ia duduk, lama kelamaan ia pun ikut tenggelam dan meninggal dunia di sana.
Telaga kecil pun terbentuk dari Air mata Majojaru. Airnya sebening air mata dan warnanya sebiru pupil mata nona endo Lisawa. Penduduk dusun Lisawa pun berkabung. Mereka berjanji akan menjaga dan memelihara telaga itu. Telaga yang berasal dari tetesan air mata itu lama – lama airnya berubah menjadi kebiru – biruan, sehingga penduduk di dearah sana, memberi nama Telaga Biru.

Asal Usul Tanjung Lesung

Alkisah hiduplah seorang pengembara bernama Raden Budog. Ia dipercaya berasal dari Laut Selatan. Suatu ketika Raden Budog bermimpi bertemu dengan seorang gadis. Sangat cantik wajah gadis itu. Raden Budog sangat terpesona dan langsung jatuh hati. Ia lalu memutuskan untuk kembali mengembara untuk mencari keberadaan si gadis berwajah sangat jelita itu.
Dengan menunggangi kuda kesayangannya, Raden Budog menuju arah utara. Anjing miliknya turut pula menemani kepergiannya. Mereka terus menuju arah utara hingga tiba di Gunung Walang. Di tempat itu pelana Raden Budog robek hingga ia tidak lagi menunggung kuda. Raden Budog menuntun kudanya dan anjingnya tetap setia menemani pengembaraan Raden Budog. Mereka akhirnya tiba di pantai Cawar. Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan, Raden Budog berniat mandi di pantai yang indah itu.
Setelah puas mandi dan membersihkan dirinya, Raden Budog berniat melanjutkan perjalanannya kembali. Diajaknya kuda dan anjingnya itu untuk kembali berjalan. Namun, dua hewan yang biasanya sangat setia kepadanya itu seperti enggan meninggalkan pantai Cawar. Keduanya hanya terdiam dan tidak menuruti perintah Raden Budog. Setelah berulang-ulang ajakannya tidak dipatuhi kuda dan anjingnya, Raden Budog pun menjadi marah. Dikutuknya dua hewan itu menjadi batu karang.
Kutukan Raden Budog mewujud dalam kenyataan. Kuda dan anjing itu menjadi batu karang yang diam membisu di pantai Cawar.
Raden Budog meneruskan perjalanannya dengan berjalan kaki. Dilewatinya berbagai hambatan dan rintangan yang ditemuinya di tengah perjalanan. Tibalah ia kemudian di sebuah desa setelah melewati sungai yang meluap airnya karena banjir.
Syahdan, di desa yang didatangi Raden Budog itu berdiam seorang janda bernama Nyi Siti. Ia mempunyai seorang anak perempuan yang sangat cantik jelita wajahnya. Sri Poh Haci namanya.
Sri Poh Haci setiap hari menumbuk padi dengan menggunakan antan dan lesung. Antan itu dipukulkannya ke lesung hingga menghasilkan irama tertentu yang terdengar merdu di telinga. Tindakan Sri Poh Haci itu mengundang anak-anak perempuan lain untuk meniru tindakannya. Mereka beramai-ramai menumbuk padi dengan cara seperti yang dilakukan Sri Poh Haci. Anak-anak perempuan itu biasanya meminta Sri Poh Haci memimpin hingga akhirnya tercipta sebuah permainan menyenangkan yang mereka beri nama ngagondang. Warga desa sangat menggemari permainan itu. Sebelum mereka menanam padi, mereka mendahuluinya dengan permainan ngagondang terlebih dahulu. Namun demikian mereka mempunyai pantangan, yaitu tidak bermain ngagondang pada hari Jum’at.
Ketika Raden Budog tiba di desa itu kebetulan permainan ngagondang tengah dilakukan. Raden Budog sangat tertarik ketika mendengarnya. Ia pun datang mendekat. Terbelalaklah ia ketika melihat salah seorang pemukul lesung itu. Wajahnya sangat mirip dengan wajah perempuan yang dilihatnya dalam impiannya. Perempuan itu tidak lain Sri Poh Haci adanya.
Raden Budog lantas mendatangi rumah Sri Poh Haci dan berkenalan dengan perempuan berwajah cantik jelita itu. Diungkapkannya cintanya pada Sri Poh Haci. Ketika Sri Poh Had juga menyatakan cinta pada Raden Budog, Raden Budog lalu mendatangi Nyi Siti untuk melamar Sri Poh Haci.
Raden Budog dan Sri Poh Haci menikah. Pernikahan mereka dilangsungkan secara sederhana. Segenap warga desa datang menghadiri dan turut bergembira atas berlangsungnya pernikahan itu. Raden Budog kemudian tinggal di desa itu.
Setelah menikah, Sri Poh Haci tetap memimpin ngagondang. Suaminya tidak hanya memperbolehkannya, melainkan turut pula dalam permainan memukul antan pada lesung secara berirama itu. Bahkan, Raden Budog sangat menggemari permainan tersebut hingga ia serasa tidak mengenal waktu untuk memainkannya. Serasa setiap saat ia asyik ngagondang. Ia tetap nekat bermain meski istri, mertua, maupun orang-orang lain telah mengingatkannya. Telinganya seperti telah tersumbat hingga tidak mendengarkan peringatan orang lain.
Raden Budog benar-benar keras kepala, sulit untuk dinasihati. Ketika hari Jum’at tiba, Sri Poh Haci mengingatkan suaminya, “Suamiku, hari Jum’at adalah hari yang dikeramatkan warga desa. Sebaiknya engkau tidak ngagondang dahulu.”
Raden Budog hanya terdiam, meski demikian keinginannya untuk memainkan alu pada lesung untuk menimbulkan irama tidak bisa dicegahnya.
Nyi Siti khawatir juga pada menantunya itu. Nyi Siti juga mengingatkan Raden Budog untuk tidak ngagondang pada hari Jum’at itu. Bahkan, sesepuh desa turut pula mengingatkan Raden Budog. “Hendaklah engkau menghormati adat dan juga pantangan yang berlaku di desa kita ini. Engkau boleh ngagondang pada hari-hari lain, namun jangan engkau lakukan pada hari Jum’at. Hari Jum’at adalah hari pantangan bagi warga desa untuk ngagondang. Semoga menjadi pantangan pula bagimu untuk bermain ngagondang pada hari Jum’at ini:’
Meski telah banyak orang yang mengingatkannya, Raden Budog ternyata tetap bersikeras untuk ngagondang. Peringatan istri, mertua, dan bahkan sesepuh desa sama sekali tidak dianggapnya. Baginya, tidak ada pantangan baginya untuk memuaskan kesenangannya memainkan antan pada lesung. Hari apapun adalah hari bebas baginya untuk ngagondang.
Hari Jum’at itu Raden Budog tetap ngagondang. Ia tidak peduli meski hanya bermain sendirian. Ia bahkan kian bersemangat dengan melompat-lompat ketika memukulkan antan pada lesung. Ia berharap orang-orang akan datang dan turut bermain bersamanya. Orang-orang hanya memandangnya dengan keheranan dan Raden Budog terus bertambah semangatnya untuk bermain. Ia meloncat ke sana dan ke sini ketika bermain. Wajahnya begitu gembira seolah sangat puas dapat bermain ngagondang pada hari Jum’at yang dikeramatkan itu.
Keanehan pun terjadi …
Anak-anak desa berdatangan ke tempat Raden Budog bermain ngagondang. Mereka sangat terheran-heran melihat pemandangan aneh yang terjadi di hadapan mereka. Dalam pandangan mereka, bukan Raden Budog yang tengah bermain ngagondang, melainkan seekor lutung!
“Ada lutung bermain lesung! Ada lutung bermain lesung!” teriak anak-anak itu seraya menunjuk-nunjuk.
Raden Budog yang tidak menyadari jika dirinya telah berubah menjadi lutung terus memainkan antan pada lesung. Kian bersemangat ia bermain karena menyangka anak-anak itu terpesona pada permainannya.
Kejadian mengherankan itu cepat menyebar. Warga desa berdatangan ke tempat Raden Budog tengah bermain ngagondang itu. Benar-benar mereka terheran-heran mendapati seekor lutung tengah bermain lesung seraya melompat-lompat penuh suka cita.
“Ada lutung bermain lesung! Ada lutung bermain lesung!”
Teriakan beramai-ramai itu tak urung membuat Raden Budog terkejut. Sejenak dihentikannya permainannya dan ditatapnya orang-orang. Masih didengarnya ada warga desa yang menyatakan ada lutung bermain lesung. Diperhatikannya tempat di sekitarnya. Tidak ada yang bermain ngagondang di tempat itu selain hanya dirinya sendiri. Lantas, mengapa orang-orang itu menyebutkan adanya lutung yang bermain lesung?
Terperanjatlah Raden Budog ketika mengamati dirinya. Kedua tangannya berbulu amat lebat berwarna hitam laksana bulu lutung! Begitu pula dengan bulu-bulu lebat berwarna hitam di kedua kakinya. Dirabanya wajahnya, penuh dengan bulu lebat berwarna hitam pula. Begitu pula dengan tubuhnya. Kian lengkaplah keterkejutannya ketika mendapati sebuah ekor panjang berbulu hitam keluar dari bagian belakang tubuhnya.
Raden Budog telah utuh berubah menjadi lutung!
Setelah mendapati dirinya berubah menjadi lutung, Raden Budog segera berlari dari tempat itu. Ia sangat malu. Dengan gerakan gesit, lutung jelmaan Raden Budog lantas memanjat pohon. Gerakan memanjatnya sangat cepat. Tangkas pula ia bergelantungan dari dahan ke dahan serta berlompatan dari satu pohon ke pohon lainnya.
“Lutung Kasarung! Lutung Kasarung!” teriak warga ketika melihat lutung jelmaan Raden Budog itu berlompatan dari satu pohon ke pohon lainnya.
Teriakan-teriakan itu kian membuat malu Raden Budog hingga ia terus berusaha menjauh dari desa itu sejauh jauhnya.Ia memasuki hutan dan terus bergerak menuju tengah hutan. Ia pun memutuskan untuk tinggal di tengah hutan itu untuk seterusnya.
Sri Poh Haci sangat sedih mendapati kenyataan itu. Suaminya telah berubah menjadi seekor lutung. Ia serasa tidak mempunyai keberanian lagi untuk tinggal di desanya. Secara diam-diam ia pun meninggalkan desa kediamannya itu. Entah kemana istri Raden Budog itu pergi, tidak ada yang mengetahuinya. Bahkan, Nyi Siti sendiri pun tidak mengetahuinya. Konon, Sri Poh Haci kemudian juga menjelma menjadi Dewi Padi.
Desa di mana terjadinya peristiwa yang sangat mengherankan lagi mengejutkan itu kemudian disebut Desa Lesung. Mengingat letaknya berada di sebuah tanjung, desa itu pun akhirnya disebut Tanjung Lesung.


Kisah Si Paga

Paga adalah seorang pemuda yang hidup pada zaman dahulu. Tubuhnya terbilang kecil namun keberaniannya sangat mengagumkan. Pada suatu hari ia datang ke desa Penyak di Pulau Bangka. Ia merasa betah tinggal di desa itu hingga akhirnya memutuskan untuk menetap, walau sesungguhnya keamanan desa Penyak tidaklah terlalu baik. Kerap kali terjadi perampokan dan penjarahan di desa Penyak. Yang mengherankan, para perampok dan penjarah itu langsung menghilang setelah melakukan aksi jahat mereka. Warga desa tidak mengetahui dari mana para perampok itu berasal dan kemana pula mereka pergi. Para perampok itu seperti hilang ditelan bumi setelah melakukan aksi jahatnya.
Di desa Penyak itu juga terdapat hutan yang terkenal angker. Tidak pernah ada penduduk desa Penyak yang berani memasuki hutan. Menurut mereka, hutan itu dihuni oleh hantu, jin, setan, dan dedemit yang sangat menyeramkan. Mereka percaya, siapa pun juga yang nekat memasuki hutan itu akan berakhir dengan kematiannya karena dimangsa makhluk-makhluk gaib yang menyeramkan itu.
Warga desa Penyak secara turun-temurun memang tidak berani memasuki hutan angker itu. Namun, tidak bagi Paga!
Paga tidak hanya berniat memasuki hutan angker itu melainkan juga hendak membuka hutan untuk dijadikannya lahan garapan bercocok tanam. Beberapa warga desa yang mengetahui rencana Paga itu mencoba menasihati agar Paga mengurungkan niatnya. Saran mereka, “Paga, daripada engkau mati konyol di dalam hutan angker itu, sebaiknya engkau urungkan saja niatmu. Masih banyak lahan di desa Penyak ini yang dapat engkau garap.”
Namun, Paga bersikeras untuk tetap memasuki hutan angker itu. Warga desa Penyak akhirnya membiarkan Paga untuk mewujudkan rencananya.
Sesungguhnya Paga tidak asal nekat. Beberapa minggu sebelumnya, Paga memergoki beberapa orang asing memasuki hutan angker itu secara sembunyi-sembunyi. Paga mengetahui, mereka bukan warga desa Penyak. Mungkinkah mereka berhubungan dengan para perampok dan penjarah yang sangat meresahkan warga desa Penyak selama itu?
Paga sangat penasaran. Ia yakin, orang-orang asing yang memasuki hutan angker secara diam- diam itu berhubungan dengan para perampok yang sangat meresahkan warga desa Penyak.
Dengan membawa peralatan kerja, Paga mulai memasuki hutan angker. Dari pinggir hutan hingga memasuki hutan, Paga tidak menemukan halhal yang mencurigakan. Tidak pula ia dihadang aneka makhluk gaib menyeramkan seperti yang dituturkan warga desa Penyak. Yang ditemuinya adalah kelebatan hutan dan aneka hewan hutan yang berlarian dan beterbangan ketika berjumpa dengannya.
Di tempat yang dirasanya cocok, Paga mulai menebang pohon-pohon. Ia hendak berladang di tempat itu. Sejak pagi hingga sore hari Paga bekerja keras menebang pohon dan membersihkan tempat itu. Jika malam tiba, Paga tidur di atas dahan pohon besar. Berminggu-minggu Paga bekerja seorang diri hingga lahan untuknya bercocok tanam akhirnya jadi dan siap untuk ditanami.
Ketika Paga tengah sibuk menyiapkan lahan garapannya di hutan angker, warga desa dikejutkan dengan adanya berita menghebohkan. Para perompak ganas akan beraksi di desa Penyak. Mereka tidak hanya akan mengambil dan merampas harta benda yang dimiliki warga desa, melainkan juga akan menculik dan memaksa warga untuk dijadikan budak belian.
Warga desa Penyak segera mengungsi ke tempat yang aman. Mereka pergi berbondong-bondong meninggalkan desa seraya membawa harta benda yang dapat mereka bawa. Hewan-hewan ternak milik warga turut pula diungsikan.
Berita itu ternyata benar adanya. Beberapa waktu setelah semua warga desa Penyak mengungsi, para perompak ganas tiba di desa Penyak. Mereka dipimpin Si Biru, kepala perompak yang terkenal kejam dan sangat ditakuti. Amat terperanjat mereka mendapati keadaan desa Penyak yang sepi tiada penghuni laksana desa Penyak itu desa mati. Si Biru sangat marah. Ia pun memerintahkan kepada segenap anak buahnya untuk membakar dan menghancurkan rumah-rumah warga desa Penyak. Mereka lantas kembali ke kapal mereka dengan tangan kosong. Kapal pun segera berlayar setelah Si Biru memerintahkan untuk berangkat.
Kapal para perompok itu ternyata kemudian berlabuh tidak jauh dari desa Penyak, di bagian tersembunyi di hutan angker. Setelah menyembunyikan kapal, Si Biru dan segenap anak buahnya memasuki hutan angker yang telah mereka jadikan markas sejak lama.
Kedatangan mereka sesungguhnya diketahui Paga secara tidak sengaja. Dari tempat persembunyiannya, Paga terus mengamati dan mengikuti kemana para perompak itu menuju. Akhirnya Paga mengetahui di mana para perompak itu bermarkas yang ternyata tidak terlalu jauh dari bagian hutan yang telah dipersiapkannya untuk lahan garapan!
Setelah mengamati kekuatan para perompak, Paga segera beraksi. Ia menggertak dengan suara lantang yang sangat mengagetkan para perompak. Selaku pemimpin perompak, Si Biru lantas menghadapinya dengan pedang besar di tangan ketika melihat Paga muncul dari tempat persembunyiannya. Si Biru bahkan meminta puluhan anak buahnya itu untuk tidak membantunya setelah ia melihat tubuh Paga yang kecil itu.
Sama sekali Paga tidak gentar berhadapan dengan Si Biru dengan bersenjatakan pedang besarnya itu. Dengan tangan kosong dilayaninya serangan Si Biru. Beberapa saat pertarungan itu terjadi dan pada kesempatan yang tepat, Paga melancarkan serangan telaknya. Si Biru jatuh terjerembap terkena pukulan keras Paga yang mendarat telak di ulu hatinya. Begitu kerasnya pukulan Paga hingga pemimpin perompak ganas itu jatuh pingsan karenanya.
Beberapa orang anak buah Si Biru bergegas mengurung Paga dan beramai-ramai mereka mengeroyok pemuda bertubuh kecil namun amat pemberani itu. Paga kembali menunjukkan kemampuan bertarungnya yang luar biasa. Pukulan dan tendangan kerasnya membuat pengeroyoknya terjatuh. Paga sengaja mengarahkan jatuhnya para perompak itu ke rerimbunan rumput jelatang yang banyak tumbuh di hutan itu. Akibatnya, para perompak yang jatuh ke rerimbunan rumput jelatang merasakan kulit mereka gatal dan panas yang sangat menyiksa. Mereka berteriak-teriak kesakitan.
Para perompak yang lain merasa takut. Mereka menganggap Paga mempunyai kesaktian yang luar biasa. Mereka pun beramai-ramai meletakkan senjata mereka dan menyembah nyembah meminta ampun kepada Paga.
Setelah mereka menyatakan bertaubat, Paga lantas menyadarkan dan menyembuhkan Si Biru serta beberapa perompak yang terluka akibat pukulan dan tendangan kerasnya. Mendapati perlakuan Paga yang baik, Si Biru akhirnya menyatakan taubat dan penyesalannya. Ia perintahkan seluruh anak buahnya untuk menghentikan perbuatan jahat mereka dan kembali meniti jalan kebaikan seperti yang disarankan Paga. Si Biru menyebut Paga sebagai pemimpin mereka dan ia siap menjalankan perintah Paga. Bahkan Si Biru dan seluruh anak buah membantu Paga dalam membabat hutan. Mereka bergotong royong membuat lahan pertanian. Dengan kerja keras mereka, lahan pertanian pun segera tercipta. Para bekas perompak itu mulai berladang, menanam aneka tanaman pangan. Mereka juga mendirikan rumah-rumah di dekat ladang garapan mereka.
Desa Penyak berubah menjadi desa yang aman setelah para perompak itu meninggalkan pekerjaan jahat mereka. Warga desa sangat berterima kasih kepada Paga. Mereka juga sadar, aneka makhluk gaib menyeramkan yang selama itu menghuni hutan angker itu ternyata bohong. Kabar bohong itu ternyata diberitakan dan disebarluaskan oleh para perompak untuk menakut-nakuti warga desa Penyak agar markas persembunyian mereka tidak diketahui warga desa Penyak.
Paga hidup berbahagia bersama Si Biru dan puluhan bekas perompak yang kesemuanya telah dianggapnya sebagai sahabat.

Bujang Katak

Bujang Katak, begitulah ia biasa dipanggil, karena ia memang menyerupai katak. Kulitnya licin dan berwarna kehijauan, Iehernya pun pendek seperti katak. Bujang Katak adalah anak tunggal wanita tua yang miskin. Dulu, wanita itu rajin berdoa agar Tuhan mengaruniakan seorang anak padanya. Tanpa sengaja, ia berkata bahwa meskipun anak yang diberikan menyerupai katak, ia akan tetap mencintainya. Rupanya Tuhan mengabulkan doanya, dan lahirlah si Bujang Katak.
Bujang Katak rajin membantu ibunya di ladang. Para penduduk desa pun menyukai Bujang Katak karena sikapnya yang ramah dan suka membantu. Akhir-akhir ini, Bujang Katak tampak murung. Ia sering duduk melamun. Ibunya yang heran melihat perubahan sikapnya pun bertanya, “Apa yang kau pikirkan, Nak? Seharian kau hanya duduk melamun.”
Bujang Katak menghela napas, “Aku sekarang sudah dewasa Bu, sudah saatnya aku menikah.”
Ibunya tersenyum, “Ah, rupanya kau sedang jatuh cinta. Katakan pada Ibu siapa wanita itu dan Ibu akan segera melamarnya.”
“Putri Raja, Bu. Aku dengar Raja memiliki tujuh putri yang cantik-cantik. Maukah Ibu melamar salah satu dari mereka untukku?”
Ibunya sangat terkejut, “Mana mungkin seorang putri raja sudi menikah dengan anakku,” pikirnya dalam hati. Namun karena sangat menyayangi anaknya, ibu itu pun mengiyakan.
Esok harinya, si Ibu berangkat ke istana. Tak lupa ia membawa sedikit buah tangan untuk Raja. Sesampainya di istana, Raja segera menanyakan maksud kedatangannya.
“Ampun Baginda. Maafkan hamba jika lancang. Maksud kedatangan hamba adalah untuk melamar salah satu putri Baginda untuk putra hamba,” kata Ibu dengan sedikit cemas.
Raja mengernyit. Dipandangnya ibu itu dari atas sampai ke bawah.
“Wanita miskin ini rupanya salah tujuan. Mana mau putri-putriku bersuamikan orang miskin?” pikirnya dalam hati. Meski berpikir demikian, karena sang Raja merupakan Raja yang bijaksana, Raja tak mau mengecilkan hati ibu Bujang Katak. Beliau lalu memanggil ketujuh putrinya untuk menemui ibu tersebut.
“Putri-putriku, apakah ada dari kalian yang bersedia menikah dengan putra wanita tua ini?” tanya Raja. Serempak putri-putri itu tertawa mengejek. “Hai wanita tua, anakmu mimpi di siang bolong, ya?”
Mereka lalu masuk kembali ke istana dan tak menghiraukan ibu Bujang Katak. Hanya putri bungsu raja yang tetap tinggal. Ia menghampiri ibu Bujang Katak dan berkata, “Pulanglah. Katakan pada putramu untuk datang sendiri melamarku.”
“Bungsu, apakah kau benar-benar ingin menikah dengan Bujang Katak? Ia hanya pemuda miskin dan rupanya seperti katak,” kata Raja panik. Lebih dari itu Putri bungsu merupakan putri yang paling cantik dan putri yang paling baik hati diantara ketujuh putrinya. Sang Rajapun sebenarnya paling sayang dengan Putri Bungsu karena selain cerdas, putri bungsu juga anak yang bijaksana.
“Jika Ayahanda mengizinkan, aku bersedia menikah dengan Bujang Katak. Aku mendengar bahwa Bujang Katak adalah pria yang baik. Bukankah aku harus mencari suami yang baik?” jawab Putri Bungsu. Raja tak bisa menjawab. Ibu Bujang Katak pun segera pulang untuk memberitahu kabar gembira ini pada Bujang Katak.
Keesokan harinya, Bujang Katak pergi ke istana. “Hai Bujang Katak, kau boleh memperistri putri bungsuku, tapi ada syaratnya,” kata Raja saat Bujang Katak menghadap. Sang Raja sengaja akan memberi suatu syarat yang sangat sulit sehingga tidak mungkin dapat terwujud. Hal ini sebenarnya untuk menolak lamaran Bujang Katak secara halus.
“Apa pun syaratnya, hamba akan berusaha memenuhinya,” jawab Bujang Katak mantap.
“Aku ingin kau membangun jembatan emas di atas sungai yang menghubungkan istana ini dengan desamu. Suatu saat jika aku ingin mengunjungi putriku di desamu, aku tak perlu menyeberang sungai dengan perahu. Cukup dengan melewati jembatan emas itu. Apakah kau mampu memenuhinya?” tanya Raja.
“Siap Baginda. Hamba akan segera membangun jembatan itu,” kata Bujang Katak dengan nada yakin dan mantap.
“Ingat Bujang Katak! Jembatan itu harus siap dalam waktu satu minggu, Kalau tidak, jangan harap kau bisa menikahi putriku!” kata Raja menambahkan syarat yand diajukan pada Bujang Katak.
Bujang Katak kembali ke rumahnya. Ia menceritakan permintaan Raja kepada ibunga. “Tapi anakku… kita ini hanya orang miskin. Mana mampu kita membeli emas untuk membangun jembatan itu?” Ucap Ibu Bujang Katak memelas.
“Bu, dengan pertolongan Tuhan, apa pun bisa kita lakukan. Aku akan memohon pada Tuhan untuk memberi jalan kepadaku,” sahut Bujang Katak mantap. Malam itu, Bujang Katak terus berdoa dan berdoa. Ia yakin Tuhan akan menolongnya.
Pagi-pagi, seperti biasa Bujang Katak bangun dan bersiap pergi ke ladang. Ketika ia mandi, keajaiban pun terjadi. Kulitnya yang tebal dan licin terkelupas. Tiap kali ia mengguyurkan air ke tubuhnya, kulitnya rontok. Perlahan-lahan, seluruh kulit tubuhnya terkelupas. Bujang Katak heran. Ia menatap onggokan kulitnya yang terkelupas. Ia segera masuk rumah untuk bercermin. Alangkah kagetnya ia, di hadapannya tampak sosok pemuda tampan dengan kulit kecokelatan! Bukan lagi pemuda yang menyerupai katak. Tak percaya, Bujang Katak terus meraba wajahnya. “Ibu… Ibu… cepat kemari… lihatlah diriku, Bu!” teriak Bujang Katak. Ibunya tergopoh-gopoh menghampiringa. “Ya Tuhan, sungguh besar cintaMu pada anakku ini,” seru Ibu sambil memeluk Bujang Katak.
Bujang Katak kembali ke sumur untuk meneruskan mandinya. Sekali lagi, keajaiban terjadi. Onggokan kulit yang tebal itu telah berubah menjadi emas! Bujang Katak berteriak-teriak kegirangan, “Terima kasih Tuhan, terima kasih… Kau sudah memberikan jalan keluar untukku.”
Bujang Katak menunjukkan emas itu pada ibunya. “Bu, sekarang aku sudah bisa membangun jembatan emas. Doakan aku, agar bisa menyeIesaikannya tepat waktu. Bujang Katak mulai bekerja, siang dan malam tiada henti.
Hari yang ditentukan telah tiba. Bujang Katak dan ibunya menghadap Raja. Saat itu, Raja dan para putrinya sedang berkumpul. Mereka semua heran melihat sosok pemuda yang datang menghadap Raja.
“Hai wanita tua, mana putramu yang seperti katak itu? Siapa pemuda ini?” tanya Sang Raja kebingungan.
“Ampun Baginda, pemuda ini adalah Bujang Katak. Tuhan telah mengubah wujudnya menjadi pemuda yang tampan,” jawab ibu Bujang Katak. Mareka saling berpandangan. Putri Bungsu pun tersenyum bahagia.
“Hei anak muda, meskipun kau sudah menjadi pemuda yang tampan, kau tetap harus memenuhi syaratku. Apakah jembatan emas itu sudah jadi?” tanya Sang Raja.
“Tentu saja Baginda. Mari hamba antar Baginda untuk melihatnya,” jawab Bujang Katak.
Pada pagi hari, jembatan emas itu sungguh indah. Warna keemasan memantul dari setiap bagian jembatan. Raja senang melihat tekad dan usaha Bujang Katak untuk menikahi putri bungsunga. “Rupanya pilihan Putri Bungsu memang tepat. Pemuda ini mau bekerja keras demi mencapai cita-citanya,” pikir Raja. “Baiklah Bujang Katak. Mari kita kembali ke istana dan membicarakan pesta pernikahanmu dengan Putri Bungsu,” ajak Raja. Bujang Katak pun mengangguk setuju. Ia mengulurkan tangannya pada Putri Bungsu. Dengan malu-malu, Putri Bungsu mengambut uluran tangan calon suaminya.

Kisah Si Alamsyah

Tersebutlah sebuah kerajaan di tanah Alas , pada zaman dahulu. Sang Raja memerintah dengan sifat adil dan bijaksana. Rakyat pun hidup dalam kedamaian , keamanan,serta kesejahteraan. Dang raja mempunyai seorang penasihat. Tande Wakil. Namanya . Apapun juga yang disebutkan Tande Wakil Sang Raja akan menurutinya.
Dalam kehidupannya, Sang Raja belum juga dikaruniai seorang anak pun meski telah lama berumah tangga. Kenyataan itu membuatnya kerap bersedih hati. Begitu pula dengan Sang Permaisuri. Keduanya tak putus putus nya berdoa dan memohon agar dikaruniai anak. Hingga suatu hari Sang raja bermimpi. Dalam impiannya itu seorang kakek datang kepadanya dan memberitahunya, hendaklah Sang Permaisuri meminum ramuan yang dibuat oleh seorang tabib yang tinggal di sebuah hutan di ujung wilayah kerajaan.
Keesokan paginya Sang Raja lantas memerintahkan para prajurit untuk mencari keberadaan si tabib dan mengajak nya untuk datang ke istana kerajaan. Tak berapa lama kemudian tabib yang dimaksud telah datang ke istana kerajaan. Si tabib segera membuatkan ramuan setelah Sang Raja memintanya. Benar pesan si kakek dalam impian Sang Raja , tak berapa lama setelag meminum ramuan buatan si tabib, Permaisuri pun mengandung. Sembilan bulan kemudian Permaisuri melahirkan seorang bayi laki- laki . Sang Raja member nama Alamsyah untuk anak lelakinya itu.
Begitu gembiranya hati Sang Raja dan Permaisuri setelah dikaruniai seorang anak. Namun kegembiraan itu tidak berlangsung lama . Belum juga genap sebulan usia Alamsyah , Tande Wakil menghadap Sang Raja dan menjelaskan perihal impiannya. Kata Tande Wakil,’’Hamba bermimpi, bahwa kelahiran putra Paduka itu adalah petaka sekaligus bencana besar bagi segenap rakyat! Putra Paduka itu hendaklah dibuang ke hutan agar bencana itu tidak mewujud dalam kenyataan.’’
‘’Apakah tidak ada cara lain selain membuang putraku itu ke hutan agar bencana itu tidak mewujud? ‘’tanya Sang Raja.
‘’Ampun yang mulia,’’ kata tande wakil .
‘’Menurut impian hamba , satu- satunya cara untuk mencegah datangnya bencana dan petaka yang akan melanda negeri kita ini hanyalah dengan membuang putra paduka ke hutan.’’
Sang raja pun menurut. Betapa pun ia sangat mencintai anak lelakinya itu, namun jika kehadirannya akan membawa petaka dan bencana bagi segenap rakyat yang dipimpinnya, ia pun berketetapan hati untuk membuang Alamsyah ke hutanh.
Alamsyah yang masih bayi itu lantas dibuang ke hutan . Seekor kera sakti merawat Alamsyah. Dalam asuhan si kera sakti , Alamsyah pun tumbuh besar. Beberapa tahun kemudian Alamsyah telah berubah menjadi seorang pemuda. Wajahnya sangat tampan.Tubuhnya kuat dan kekar. Si kera sakti mengajarinya sopan santun dan tata krama hingga Alamsyah tumbuh menjadi pemuda yang baik hati dan mengenal sopan santun.
Pada suatu hari Alamsyah keluar hutan. Di pinggir hutan ia berjumpa dengan seorang kakek. Setelah saling bertegur sapa, sang kakek akhirnya mengetahui siapa sesungguhnya Alamsyah. Si kakek lantas mengajak Alamsyah untuk kembali ke istana kerajaan.
‘’Ayahanda Paduka telah wafat,’’kata si kakek dalam perjalanannya menuju kerajaan.’’ Kini yang memerintah kerajaan adalah Paman Paduka. Sangat jauh pemerintahannya dibandingkan Ayahanda Paduka. Paman Paduka itu memerintah dengannn sangat kejam dan sewenang –wenang. Sangat mudah dia menjatuhi hukuman, bahkan terhadap orang yang sesungguhnya tidak bersalah. Beberapa dijatuhi hukuman mati karena berani menentang kehendak Raja. Rakyat hidup dalam kecemasan dan ketakutan. Raja sama sekali tidak memperhatikan kesejahteraan rakyat dan kejahatanpun tumbuh subur layaknya jamur di musim penghujan.
Alamsyah sangat sedih mendengar cerita si kakek.” Lantas bagaimana nasib ibu?” Tanyanya.
“Ibu paduka masih hidup dan tinggal di sebuah gubug di luar istana. Setiap hari ibu paduka dipaksa untuk bekerja keras layaknya seorang pembantu. Seringkali ibu paduka tidak diberi makan karena dianggap pekerjaannya tidak bagus. Bahkan, makanan untuknya pun kadang makanan yang sudah basi.”
Alamsyah kian merasa sedih. Dia berniat kuat menemui pamannya dan meminta pamannya tidak sewenang-wenang dalam memerintah dan tidak berlaku aniaya terhadapo ibunya.
Alamsyahpun tiba di istana kerajaan. Pamannya sangat tidak suka mendapati kedatangannya. Dia khawatir, Alamsyah akan meminta tahta yang menjadi haknya. Raja lantas memperlakukan Alamsyah dengan buruk. Alamsyah dipaksa untuk bekerja keras, melebihi kerja yang dilakukan pembantu. Jika Alamsyah tidak bekerja, dia tidak akan diberi makan. Alamsyah juga dilarang bertemu ibunya. Para perajurit diberi kewenangan oleh raja untuk memukul Alamsyah, jika Alamsyah dianggap tidak baik dalam bekerja. Alamsyah terpaksa menerima perlakuan buruk terhadapnya itu, karena tidak memiliki kemampuan untuk melawan.
Sang Raja telah berulangkali berusaha untuk mencelakai Alamsyah. Secara diam-diam dia memerintahkan orang-orang kepercayaanya untuk membunuh Alamsyah. Namun, usahanya selalu mengalami kegagalan.
Suatu hari sang Raja memerintahkan seorang kepercayaanya yang bernama Penghulu Mude untuk membunuh Alamsyah. Penghulu Mude lantas mengajak Alamsyah untuk membeli kerbau. Ditengah perjalanan, Alamsyah didorongnya hingga jatuh ke jurang. Penghulu mude kemudian kembali ke istana untuk menghadap sang raja. Dia melaporkan bahwa Alamsyah telah mati jatuh ke Jurang.
Alamsyah terjatuh ke jurang yang dalam. Namun, dia selamat karena ditolong oleh jin baik yang bernama Siah Ketambe. Alamsyah sama sekali tidak terluka dan bahkan sedikitpun kulitnya tidak lecet.
Siah Ketambe menjelaskan, bahwa jatuhnya Alamsyah ke jurang itu karena siasat pamannya.” Pamanmu menghendaki engkau mati, sehingga dia menyuruh Penghulu Made mendorongmu ke jurang ini.”
Alamsyah sependapat dengan penjelasan Siah Ketambe. Berulang-ulang dia telah merasakan berbagai usaha pamannya untuk mencelakakan dirinya.
Siah Ketambe mengharapkan agar Alamsyah memiliki ilmu beladiri yang cukup untuk bisa menjaga diri serta menolong orang-orang yang membutuhkan. Akhirnya Alamsyah belajar ilmu beladiri dan kesaktiaan dari Siah Ketambe. Karena Alamsyah orang yang cerdas dan tekun, dalam waktu singkat dia telah menguasai ilmu beladiri dan berbagai kesaktian yang diajarkan oleh Siah Ketembe.
Siah Ketambe memberikan pesan kepada Alamsyah.” Gunakan ilmu dan kesaktianmu itu baik-baik. Sebisa mungkin hindarkanlah perkelahian. Namun, jika engkau dalam keadaan terdesak atau mendapati dirimu dalam keadaan bahaya, barulah engkau boleh menggunakan ilmumu itu untuk membela diri.”
Setelah merasa ilmu beladiri dan kesaktian Alamsyah sudah cukup, Siah Ketambe mengijinkan Alamsyah untuk kembali ke kerajaan. Kedatangan Alamsyah sangat mengejutkan Raja dan Penghulu Mude. Setibanya di istana Alamsyah langsung diserang oleh Penghulu Mude dibantu oleh para perajurit. Namun karena kesaktian Alamsyah sangat tinggi, dengan mudah Alamsyah dapat mengalahkan mereka semua.
Sang Raja begitu terperanjat mendapati kemampuan keponakannya itu begitu luar biasa. Dia pun merasa tidak akan mampu menghadapi Alamsyah, terlebih lagi para perajurit dan pejabat kerajaan yang sebelumnya menjadi kaki tanggany, sekarang berbalik menduku Alamsyah, karena mengetahui bahwa Alamsyahlah yang berhak menjadi Raja.
Sang Raja akhirnya menemui Alamsyah.” Alamsyah keponakanku. Maafkan pamanmu yang telah khilaf ini. Ampuni aku. Dengan ini kuserahkan kembali tahta yang memang seharusnya engkau duduki. Sekali lagi, maafkan pamanmu dan jangan engkau sakiti pamanmu yang tleh renta ini.”
Alamsyah memaafkan kesalahan pamannya. Dia juga memaafkan kesalahan Penghulu Mude dan seluruh perajurit yang pernah menyakitinya selama mereka berjanji tidak akan mengulangi kesalahan mereka.
Setelah penyerahan kekuasaan itu, Alamsyah dinobatkan menjadi raja baru. Alamsyah segera menjemput ibunya dan mendudukannya disampinya dengan penuh penghormatan. Seluruh rakyat sangat bergembira dengan penobatan Alamsyah sebagai Raja, apalagi Alamsyah memerintah dengan adil dan bijaksana. Alamsyah menegakan hukum dengan adil sehingga tingkat kejahatan menurun drastis. Rakyat hidup makmur dan sejahtera