Prabu Siliwangi
memiliki dua orang istri yaitu Nyimas Tejamantri dan Nyimas Padmawati
yang menjadi permaisuri. Dari Nyimas Tejamantri, Prabu Silihwangi
mendapat seorang anak yaitu pangeran Guru Gantangan. Sedangkan dari
permaisuri Nyimas Padmawati, raja memperoleh anak yang diberi nama
Mundinglaya. Beda umur antara pangeran Guru Gantangan dan pangeran
Mundinglaya sangat jauh. Saat pangeran Guru Gantangan ditunjuk jadi
bupati di Kutabarang dan sudah menikah, Mundinglaya masih anak-anak.
Karena tidak mempunyai anak, pangeran Guru Gantangan memungut anak
dan diberi nama Sunten Jaya. Guru Gantangan juga tertarik untuk merawat
Mundinglaya sebagai anaknya. Saat pangeran Guru Gantangan meminta
Mundinglaya dari permaisuri Nyimas Padmawati, permaisuri memberikannya
karena mengetahui bahwa pangeran Guru Gantangan sangat menyayangi
pangeran Mundinglaya.
Saat pangeran Mundinglaya dewasa, pangeran Guru Gantangan lebih
menyayangi pangeran Mundinglaya daripada pangeran Sunten Jaya. Hal ini
disebabkan perbedaan karakter yang sangat jauh antara pangeran
Mundinglaya dan pangeran Sunten Jaya. Pangeran Mundinglaya selain
rupawan juga baik budi pekertinya sedangkan keponakannya sifatnya angkuh
dan manja. Hal ini sangat membuat iri pangeran Sunten Jaya. Terlebih
lagi ibunya juga sangat menyayangi pangeran Mundinglaya.
Hanya saja perhatian istri pangeran Guru Gantangan kepada pangeran
Mundinglaya sangat berlebihan sehingga membuat pangeran Guru Gantangan
cemburu. Akhirnya pangeran Mundinglaya dijebloskan kedalam penjara oleh
saudara tirinya itu dengan alasan bahwa pangeran Mundinglaya mengganggu
kehormatan wanita. Keputusan ini menjadikan masyarakat dan bangsawan
Pajajaran terpecah dua, ada yang menyetujui dan ada yang menentang
keputusan tersebut sehingga mengancam ketentraman kerajaan ke arah
permusuhan antar saudara.
Pada saat yang gawat ini, terjadi sesuatu yang aneh. Pada suatu
malam, permaisuri Nyimas Padmawati bermimpi aneh. Dalam tidurnya,
permaisuri melihat tujuh guriang, yaitu mahluk yang tinggal di puncak
gunung. Di antara mereka ada yang membawa jimat yang disebut Layang
Salaka Domas. Permaisuri mendengar perkataan guriang yang membawa jimat
tersebut: “Pajajaran akan tenteram hanya jika seorang kesatria dapat
mengambilnya dari Jabaning Langit.”
Segera setelah bangun pada pagi harinya, permaisuri menceritakan
mimpi itu kepada raja. Prabu Silihwangi sangat tertarik oleh mimpi
permaisuri dan segera meminta seluruh rakyat juga bangsawan, termasuk
pangeran Guru Gantangan dan pangeran Sunten Jaya, untuk berkumpul di
depan halaman istana untuk membahas mimpinya permaisuri. Setelah
seluruhnya berkumpul, raja berkata: “Adakah seorang kesatria yang berani
pergi ke Jabaning Langit untuk mengambil jimat Layang Salaka Domas?”
Senyap... Tidak ada suara yang terdengar. Pangeran Sunten Jaya pun
tidak mengeluarkan suaranya. Dia takut akan barhadapan dengan Jonggrang
Kalapitung, seorang raksasa berbahaya yang selalu menghalangi jalan ke
puncak gunung. Setelah beberapa saat, patih Lengser angkat bicara:
“Paduka,” dia berkata, “setiap orang telah mendengarkan apa yang
disampaikan paduka, kecuali masih ada satu orang yang belum
mendengarkannya. Dia berada dalam penjara. Paduka belum menanyainya. Dia
adalah pangeran Mundinglaya.” Mendengar ini, raja memerintahkan agar
pangeran Mundinglaya dibawa menghadap. Patih Lengser kemudian meminta
izin pangeran guru Gantangan untuk melepaskan pangeran Mundinglaya.
Saat pangeran Mundinglaya sudah berada di hadapannya, raja berkata:
“Mundinglaya, maukah ananda mengambil jimat Layang Salaka Domas, yang
diperlukan untuk mencegah negara dari kehancuran akibat malapetaka?”
Karena layang salaka domas penting bagi keselamatan negara, ananda akan
pergi mencarinya, ayah,” kata pangeran Mundinglaya.
Prabu Silihwangi sangat senang mendengar jawaban ini. Demikian juga
masyarakat dan para bangsawan. Bagi pangeran Mundinglaya, tugas ini juga
berarti kebebasan jika dia berhasil mendapatkan layang salaka domas.
Sementara bagi pangeran Sunten Jaya ini berarti menyingkirkan musuhnya,
karena dia yakin bahwa pamannya akan dibunuh oleh Jonggrang Kalapitung.
“Kakek,” kata pangeran Sunten Jaya, “dia adalah seorang tahanan, jika
kakek membiarkannya pergi sekarang, tidak akan ada jaminan bahwa dia
akan kembali.”
“Apa yang cucunda usulkan, Sunten Jaya?”
“Jika dia tidak kembali setelah sebulan, penjarakan kanjeng ibu
Padmawati dalam istana.” Masyarakat dan bangsawan kaget mendengar
permintaan ini. Prabu Silihwangi berbalik kepada pangeran Mundinglaya:
“Bagaimana menurutmu?”
”Ananda akan kembali dalam sebulan dan setuju dengan usulan Sunten Jaya.”
Dalam beberap minggu, pangeran Mundinglaya diajari oleh patih Lengser
ilmu perang dan cara menggunakan berbagai senjata sebagai bersiapan
untuk menghadapi rintangan yang akan ditemui selama perjalanan ke
Jabaning Langit. Kemudian pangeran Mundinglaya meninggalkan Pajajaran.
Karena dia tidak pernah keluar dari ibukota tersebut, pangeran
Mundinglaya tidak mengetahui jalan ke Jabaning Langit. Dengan berserah
diri kepada Tuhan yang Maha Kuasa, sang pangeran pergi melewati berbagai
hutan lebat untuk menemukan Jabaning Langit dan bertemu dengan para
guriang.
Dalam perjalanan, pangeran Mundinglaya melewati kerajaan kecil Muara
Beres (atau Tanjung Barat) yang merupakan bawahan dari Pajajaran. Disana
pangeran Mundinglaya bertemu dan jatuh hati dengan putri kerajaan yang
bernama Dewi Kania atau Dewi Kinawati. Mereka saling berjanji akan
bertemu lagi setelah pangeran Mundinglaya berhasil menjalankan tugas
dari Prabu silihwangi untuk memperoleh jimat layang salaka domas.
Pangeran Mundinglaya meneruskan perjalanannya. Tiba-tiba di tengah
perjalanan dia dicegat oleh raksasa Janggrang Kalapitung yang berdiri di
depannya. “Mengapa kamu memasuki wilayahku? Apakah kamu menyerahkan
diri sebagai santapanku?”
“Coba saja kalau bisa!” jawab pangeran Mundinglaya dengan tenang.
Jonggrang Kalapitung menubruknya tapi pangeran Mundinglaya berkelit.
Berkali-kali si raksasa menyerang pangeran Mundinlaya, tapi lagi dan
lagi jatuh ke tanah sampai akhirnya kehabisan napas. Dengan kerisnya,
pangeran Mundinglaya mengancam musuhnya:
“Katakan dimana Jabaning Langit?”
“Di dalam dirimu.” Berpikiran bahwa si raksasa berbohong, pangeran
Mundinglaya menekankan keris lebih dalam ke leher si raksasa. “Jangan
berbohong! Di manakah Jabaning Langit?”
“Di dalam hatimu.” Setelah itu, pangeran Mundinglaya melepaskan
raksasa tersebut, sambil berkata: “Aku membebaskanmu, tapi jangan ganggu
rakyat Pajajaran lagi.” Jonggrang Kalapitung menuruti dan berterima
kasih kepada pangeran Mundinglaya dan meninggalkan Pajajaran selamanya.
Ketika dia pergi, pangeran Mundinglaya menemukan suatu tempat untuk
beristirahat dan berdoa meminta tolong kepada tuhan yang Maha Esa untuk
diberikan jalan. Suatu hari dia merasakan seolah-olah terangkat dari
tempatnya dan terbang ke suatu tempat yang sangat terang. Di sana dia
diterima oleh tujuh guriang, mahluk-mahluk supranatural yang menjaga
Layang Salaka Domas.
Mereka bertanya kepada pangeran Mundinglaya mengapa berani datang ke
Jabaning Langit. “Tujuanku datang ke sini adalah untuk mengambil Layang
Salaka Domas yang diperlukan oleh negaraku sebagai obat untuk mencegah
permusuhan antar saudara. Akan banyak orang menderita dan mati
memperebutkan yang tidak jelas.” “Kami menghargaimu, pangeran
Mundinglaya, tapi kami tidak dapat memberimu Layang Salaka Domas karena
ini bukan untuk manusia. Bagaimana kalau pemberian lain sebagai hadiah
untukmu? Misalnya seorang putri cantik atau kesejahteraan, atau kami
dapat menjadikanmu manusia tersuci di dunia?”
“Aku tidak memerlukan semua itu, jika rakyat Pajajaran terlibat dalam perang.”
“Kalau begitu, kamu harus merebutnya setelah mengalahkan kami.” Maka
terjadilah perkelahian. Karena para guriang sangat kuat, pangeran
Mundinglaya terjatuh dan meninggal. Segera setelah itu, muncul mahluk
supranatural lainnya, yaitu Nyi Pohaci yang menampakkan diri dan
menghidupkan kembali pangeran Mundinglaya. Pangeran Munding Laya bersiap
kembali untuk bertempur dengan para guriang.
“Tidak perlu ada lagi pertempuran, karena engkau telah menunjukkan
sifatmu yang sebenarnya,” kata salah satu dari tujuh guriang, “jujur,
tidak tamak. Engkau mempunyai hak untuk membawa Layang Salaka Domas.”
Dan dia kemudian memberikannya kepada pangeran Mundinglaya. Pangeran
Mundinglaya sangat bergembira dan mengucapkan terima kasih. Dia juga
berterima kasih kepada Nyi Pohaci atas bantuannya. Dengan dipandu oleh
tujuh guriang yang kemudian menyebut diri mereka sebagai Gumarang
Tunggal, pangeran Mundinglaya pergi pulang ke Pajajaran.
Di Pajajaran, pangeran Sunten Jaya mengganggu ketentraman permaisuri.
Kepada Prabu Silihwangi, pangeran Sunten Jaya mengatakan bahwa
permaisuri sebenarnya tidak bermimpi, bahwa dia berdusta untuk
membebaskan putranya dari penjara. Dengan demikian, dia membujuk Prabu
Silihwangi untuk menghukum mati permaisuri.
Pangeran Sunten Jaya bahkan lebih jauh berniat untuk mengganggu
ketentraman Dewi Kinawati di Muara Beres dengan menceritakan bahwa
pangeran Mundinglaya telah dibunuh oleh Jonggrang Kalapitung. Tentara
digelar untuk mendatangi kerajaan itu. Pada saat yang gawat tersebut,
pangeran Mundinglaya beserta ajudannya telah sampai ke Pajajaran. Mereka
senang dan berteriak kegirangan. Pangeran Sunten Jaya dan pengikutnya
diusir.
Setelah itu. Prabu Silihwangi menobatkan pangeran Mundinglaya sebagai
raja Pajajaran menggantikannya dengan gelar Mundinglaya Dikusumah.
Tidak lama setelah itu, Mundinglaya Dikusumah menikahi Dewi Kinawati
dan menjadikannya sebagai permaisuri dan Pajajaran menjadi negara yang
adil makmur dan aman.
No comments:
Post a Comment