Di sebuah daerah di Bengkulu, Indonesia, berdiri sebuah kerajaan bernama
Kutei Rukam yang dipimpin oleh Raja Bikau Bermano. Raja Bikau Bermano
mempunyai delapan orang putra. Pada suatu waktu, Raja Bikau Bermano
melangsungkan upacara perkawinan putranya yang bernama Gajah Meram
dengan seorang putri dari Kerajaan Suka Negeri yang bernama Putri
Jinggai. Mulanya, pelaksanaan upacara tersebut berjalan lancar. Namun,
ketika Gajah Meram bersama calon istrinya sedang melakukan upacara
prosesi mandi bersama di tempat pemandian Aket yang berada di tepi Danau
Tes, tiba-tiba keduanya menghilang. Tidak seorang pun yang tahu ke mana
hilangnya pasangan itu. Sementara itu di istana, Raja Bikau Bermano dan
permaisurinya mulai cemas, karena Gajah Meram dan calon istrinya belum
juga kembali ke istana. Oleh karena khawatir terjadi sesuatu terhadap
putra dan calon menantunya, sang Raja segera mengutus beberapa orang
hulubalang untuk menyusul mereka. Alangkah terkejutnya para hulubalang
ketika sampai di tepi danau itu tidak mendapati Gajah Meram dan calon
istrinya. Setelah mencari di sekitar danau dan tidak juga menemukan
mereka berdua, para hulubalang pun kembali ke istana. “Ampun, Baginda!
Kami tidak menemukan putra mahkota dan Putri Jinggai,” lapor seorang
hulubalang. “Apa katamu?” tanya sang Raja panik. “Benar, Baginda! Kami
sudah berusaha mencari di sekitar danau, tapi kami tidak menemukan
mereka,” tambah seorang hulubalang lainnya sambil memberi hormat. “Ke
mana perginya mereka?” tanya sang Raja tambah panik. “Ampun, Baginda!
Kami juga tidak tahu,” jawab para utusan hulubalang serentak. Mendengar
jawaban itu, Raja Bikau Bermano terdiam. Ia tampak gelisah dan cemas
terhadap keadaan putra dan calon menantunya. Ia pun berdiri, lalu
berjalan mondar-mandir sambil mengelus-elus jenggotnya yang sudah
memutih. “Bendahara! Kumpulkan seluruh hulubalang dan keluarga istana
sekarang juga!” titah sang Raja kepada bendahara. “Baik, Baginda!” jawab
bendahara sambil memberi hormat. Beberapa saat kemudian, seluruh
hulubalang dan keluarga istana berkumpul di ruang sidang istana. “Wahai,
rakyatku! Apakah ada di antara kalian yang mengetahui keberadaan putra
dan calon menantuku?” tanya Raja Bikau Bermano. Tidak seorang pun
peserta sidang yang menjawab pertanyaan itu. Suasana sidang menjadi
hening. Dalam keheningan itu, tiba-tiba seorang tun tuai (orang tua)
kerabat Putri Jinggai dari Kerajaan Suka Negeri yang juga hadir angkat
bicara. “Hormat hamba, Baginda! Jika diizinkan, hamba ingin mengatakan
sesuatu.” “Apakah itu, Tun Tuai! Apakah kamu mengetahui keberadaan
putraku dan Putri Jinggai?” tanya sang Raja penasaran. “Ampun, Baginda!
Setahu hamba, putra mahkota dan Putri Jinggai diculik oleh Raja Ular
yang bertahta di bawah Danau Tes,” jawab tun tuai itu sambil memberi
hormat. “Raja Ular itu sangat sakti, tapi licik, kejam dan suka
mengganggu manusia yang sedang mandi di Danau Tes,” tambahnya. “Benarkah
yang kamu katakan itu, Tun Tuai?” tanya sang Raja. “Benar, Baginda!”
jawab tun tuai itu. “Kalau begitu, kita harus segera menyelamatkan putra
dan calon menantuku. Kita tidak boleh terus larut dalam kesedihan ini,”
ujar sang Raja. “Tapi bagaimana caranya, Baginda?” tanya seorang
hulubalang. Sang Raja kembali terdiam. Ia mulai bingung memikirkan cara
untuk membebaskan putra dan calon menantunya yang ditawan oleh Raja Ular
di dasar Danau Tes. “Ampun, Ayahanda!” sahut Gajah Merik, putra bungsu
raja. “Ada apa, Putraku!” jawab sang Raja sambil melayangkan
pandangannya ke arah putranya. “Izinkanlah Ananda pergi membebaskan
abang dan istrinya!” pinta Gaja Merik kepada ayahandanya. Semua peserta
sidang terkejut, terutama sang Raja. Ia tidak pernah mengira sebelumnya
jika putranya yang baru berumur 13 tahun itu memiliki keberanian yang
cukup besar. “Apakah Ananda sanggup melawan Raja Ular itu?” tanya sang
Raja. “Sanggup, Ayahanda!” jawab Gajah Merik. “Apa yang akan kamu
lakukan, Putraku? Abangmu saja yang sudah dewasa tidak mampu melawan
Raja Ular itu,” ujar sang Raja meragukan kemampuan putra bungsunya.
“Ampun, Ayahanda! Ananda ingin bercerita kepada Ayahanda, Ibunda, dan
seluruh yang hadir di sini. Sebenarnya, sejak berumur 10 tahun hampir
setiap malam Ananda bermimpi didatangi oleh seorang kakek yang mengajari
Ananda ilmu kesaktian,” cerita Gajah Merik. Mendengar cerita Gajah
Merik, sang Raja tersenyum. Ia kagum terhadap putra bungsunya yang
sungguh rendah hati itu. Walaupun memiliki ilmu yang tinggi, ia tidak
pernah memamerkannya kepada orang lain, termasuk kepada keluarganya.
“Tapi, benarkah yang kamu katakan itu, Putraku?” tanya sang Raja.
“Benar, Ayahanda!” jawab Gajah Merik. “Baiklah! Besok kamu boleh pergi
membebaskan abangmu dan istrinya. Tapi, dengan syarat, kamu harus pergi
bertapa di Tepat Topes untuk memperoleh senjata pusaka,” ujar sang Raja.
“Baik, Ayahanda!” jawab Gajah Merik. Keesokan harinya, berangkatlah
Gajah Merik ke Tepat Topes yang terletak di antara ibu kota Kerajaan
Suka Negeri dan sebuah kampung baru untuk bertapa. Selama tujuh hari
tujuh malam, Gajah Merik bertapa dengan penuh konsentrasi, tidak makan
dan tidak minum. Usai melaksanakan tapanya, Gajah Merik pun memperoleh
pusaka berupa sebilah keris dan sehelai selendang. Keris pusaka itu
mampu membuat jalan di dalam air sehingga dapat dilewati tanpa harus
menyelam. Sementara selendang itu dapat berubah wujud menjadi pedang.
Setelah itu, Gajah Merik kembali ke istana dengan membawa kedua pusaka
itu. Namun, ketika sampai di kampung Telang Macang, ia melihat beberapa
prajurit istana sedang menjaga perbatasan Kerajaan Kutei Rukam dan Suka
Negeri. Oleh karena tidak mau terlihat oleh prajurit, Gajah Merik
langsung terjun ke dalam Sungai Air Ketahun menuju Danau Tes sambil
memegang keris pusakanya. Ia heran karena seakan-seakan berjalan di
daratan dan sedikit pun tidak tersentuh air. Semula Gajah Merik berniat
kembali ke istana, namun ketika sampai di Danau Tes, ia berubah pikiran
untuk segera mencari si Raja Ular. Gajah Merik pun menyelam hingga ke
dasar danau. Tidak berapa lama, ia pun menemukan tempat persembunyian
Raja Ular itu. Ia melihat sebuah gapura di depan mulut gua yang paling
besar. Tanpa berpikir panjang, ia menuju ke mulut gua itu. Namun, baru
akan memasuki mulut gua, tiba-tiba ia dihadang oleh dua ekor ular besar.
“Hai, manusia! Kamu siapa? Berani sekali kamu masuk ke sini!” ancam
salah satu dari ular itu. “Saya adalah Gajah Merik hendak membebaskan
abangku,” jawab Gaja Merik dengan nada menantang. “Kamu tidak boleh
masuk!” cegat ular itu. Oleh karena Gajah Merik tidak mau kalah, maka
terjadilah perdebatan sengit, dan perkelahian pun tidak dapat dihindari.
Pada awalnya, kedua ular itu mampu melakukan perlawanan, namun beberapa
saat kemudian mereka dapat dikalahkan oleh Gajah Merik. Setelah itu,
Gajah Merik terus menyusuri lorong gua hingga masuk ke dalam. Setiap
melewati pintu, ia selalu dihadang oleh dua ekor ular besar. Namun,
Gajah Merik selalu menang dalam perkelahian. Ketika akan melewati pintu
ketujuh, tiba-tiba Gajah Merik mendengar suara tawa terbahak-bahak. “Ha…
ha… ha…, anak manusia, anak manusia!” “Hei, Raja Ular! Keluarlah jika
kau berani!” seru Gajah Merik sambil mundur beberapa langkah. Merasa
ditantang, sang Raja Ular pun mendesis. Desisannya mengeluarkan kepulan
asap. Beberapa saat kemudian, kepulan asap itu menjelma menjadi seekor
ular raksasa. “Hebat sekali kau anak kecil! Tidak seorang manusia pun
yang mampu memasuki istanaku. Kamu siapa dan apa maksud kedatanganmu?”
tanya Raja Ular itu. “Aku Gajah Merik, putra Raja Bikau Bermano dari
Kerajaan Kutei Rukam,” jawab Gajah Merik. “Lepaskan abangku dan
istrinya, atau aku musnahkan istana ini!” tambah Gajah Merik mengancam.
“Ha… ha…. ha…., anak kecil, anak kecil! Aku akan melepaskan abangmu,
tapi kamu harus penuhi syaratku,” ujar Raja Ular. “Apa syarat itu?”
tanya Gajah Merik. “Pertama, hidupkan kembali para pengawalku yang telah
kamu bunuh. Kedua, kamu harus mengalahkan aku,” jawab Raja Ular sambil
tertawa berbahak-bahak. “Baiklah, kalau itu maumu, hei Iblis!” seru
Gajah Merik menantang. Dengan kesaktian yang diperoleh dari kakek di
dalam mimpinya, Gajah Merik segera mengusap satu per satu mata ular-ular
yang telah dibunuhnya sambil membaca mantra. Dalam waktu sekejap,
ular-ular tersebut hidup kembali. Raja Ular terkejut melihat kesaktian
anak kecil itu. “Aku kagum kepadamu, anak kecil! Kau telah berhasil
memenuhi syaratku yang pertama,” kata Raja Ular. “Tapi, kamu tidak akan
mampu memenuhi syarat kedua, yaitu mengalahkan aku. Ha… ha… ha….!!!”
tambah Raja Ular kembali tertawa terbahak-bahak. “Tunjukkanlah
kesaktianmu, kalau kamu berani!” tantang Gajah Merik. Tanpa berpikir
panjang, Raja Ular itu langsung mengibaskan ekornya ke arah Gajah Merik.
Gajah Merik yang sudah siap segera berkelit dengan lincahnya, sehingga
terhindar dari kibasan ekor Raja Ular itu. Perkelahian sengit pun
terjadi. Keduanya silih berganti menyerang dengan mengeluarkan
jurus-jurus sakti masing-masing. Perkelahian antara manusia dan binatang
itu berjalan seimbang. Sudah lima hari lima malam mereka berkelahi,
namun belum ada salah satu yang terkalahkan. Ketika memasuki hari
keenam, Raja Ular mulai kelelahan dan hampir kehabisan tenaga.
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Gajah Merik. Ia terus menyerang
hingga akhirnya Raja Ular itu terdesak. Pada saat yang tepat, Gajah
Merik segera menusukkan selendangnya yang telah menjelma menjadi pedang
ke arah perut Raja Ular. “Aduuuhh… sakiiit!” jerit Raja Ular menahan
rasa sakit. Melihat Raja Ular sudah tidak berdaya, Gajah Merik mundur
beberapa langkah untuk berjaga-jaga siapa tahu raja ular itu tiba-tiba
kembali menyerangnya. “Kamu memang hebat, anak kecil! Saya mengaku
kalah,” kata Raja Ular. Mendengar pengakuan itu, Gajah Merik pun segera
membebaskan abangnya dan Putri Jinggai yang dikurung dalam sebuah
ruangan. Sementara itu di istana, Raja Bikau Bermano beserta seluruh
keluarga istana dilanda kecemasan. Sudah dua minggu Gajah Merik belum
juga kembali dari pertapaannya. Oleh karena itu, sang Raja memerintahkan
beberapa hulubalang untuk menyusul Gajah Merik di Tepat Topes. Namun,
sebelum para hulubalang itu berangkat, tiba-tiba salah seorang
hulubalang yang ditugaskan menjaga tempat pemandian di tepi Danau Tes
datang dengan tergesa-gesa. “Ampun, Baginda! Gajah Merik telah kembali
bersama Gajah Meram dan Putri Jinggai,” lapor hulubalang. “Ah, bagaimana
mungkin? Bukankah Gajah Merik sedang bertapa di Tepat Topes?” tanya
baginda heran. “Ampun, Baginda! Kami yang sedang berjaga-jaga di danau
itu juga terkejut, tiba-tiba Gajah Merik muncul dari dalam danau bersama
Gajah Meram dan Putri Jinggai. Rupanya, seusai bertapa selama tujuh
hari tujuh malam, Gajah Merik langsung menuju ke istana Raja Ular dan
berhasil membebaskan Gajah Meram dan Putri Jinggai,” jelas hulubalang
itu. “Ooo, begitu!” jawab sang Raja sambil tersenyum. Tidak berapa lama
kemudian, Gajah Merik, Gajah Meram, dan Putri Jinggai datang dengan
dikawal oleh beberapa hulubalang yang bertugas menjaga tempat pemandian
itu. Kedatangan mereka disambut gembira oleh sang Raja beserta seluruh
keluarga istana. Kabar kembalinya Gajah Meram dan keperkasaan Gajah
Merik menyebar ke seluruh pelosok negeri dengan cepat. Untuk menyambut
keberhasilan itu, sang Raja mengadakan pesta selama tujuh hari tujuh
malam. Setelah itu, sang Raja menyerahkan tahta kerajaan kepada Gajah
Meram. Namun, Gajah Meram menolak penyerahan kekuasaan itu. “Ampun,
Ayahanda! Yang paling berhak atas tahta kerajaan ini adalah Gajah Merik.
Dialah yang paling berjasa atas negeri ini, dan dia juga yang telah
menyelamatkan Ananda dan Putri Jinggai,” kata Gajah Meram. “Baiklah,
jika kamu tidak keberatan. Bersediakah kamu menjadi raja, Putraku?” sang
Raja kemudian bertanya kepada Gajah Merik. “Ampun, Ayahanda! Ananda
bersedia menjadi raja, tapi Ananda mempunyai satu permintaan,” jawab
Gajah Merik memberi syarat. “Apakah permintaanmu itu, Putraku?” tanya
sang Raja penasaran. “Jika Ananda menjadi raja, bolehkah Ananda
mengangkat Raja Ular dan pengikutnya menjadi hulubalang kerajaan ini?”
pinta Gajah Merik. Permintaan Gajah Merik dikabulkan oleh sang Raja.
Akhirnya, Raja Ular yang telah ditaklukkannya diangkat menjadi
hulubalang Kerajaan Kutei Rukam. Kisah petualangan Gajah Merik ini
kemudian melahirkan cerita tentang Ular Kepala Tujuh. Ular tersebut
dipercayai oleh masyarakat Lebong sebagai penunggu Danau Tes. Sarangnya
berada di Teluk Lem sampai di bawah Pondok Lucuk. Oleh karena itu, jika
melintas di atas danau itu dengan menggunakan perahu, rakyat Lebong
tidak berani berkata sembrono.
No comments:
Post a Comment