Wednesday, 20 July 2016

Legenda Batu Rantai

Tersebutlah seorang raja yang memerintah Kerajaan Tumasik. Paduka Seri Maharaja begitu biasa sang Raja Tumasik itu disebut.
Paduka Seri Maharaja dikenal buruk sifat dan perangainya. Ia kejam dan sewenang-wenang. Selain itu ia juga sangat tamak dan iri hati.
Syandan, negeri Tumasik mendapatkan musibah. Secara tak terduga, ratusan ribu ikan todak datang menyerang warga. Tidak hanya mereka yang tinggal di pantai saja, warga yang tinggal di daerah pedalaman pun tak luput dari serangan ikan berparuh panjang yang runcing lagi tajam itu. Banyak rakyat yang menjadi korban keganasan ikan todak.
Mendapati keganasan ikan todak, Paduka Seri Maharaja lantas memerintahkan agar rakyat berpagar betis untuk menghadapi serangan ikan todak. Namun, usaha itu pun tidak membuahkan basil. Ikan-ikan todak terus mengamuk dan meningkatkan serangan hingga kian banyak rakyat yang menjadi korban.
Dalam keadaan bingung dan resah, seorang anak lelaki kecil datang menghadap Paduka Seri Maharaja dan dengan lantang berujar, "Ampun Baginda Raja, sia-sia saja rakyat Paduka minta berpagar betis. Semua itu tidak akan dapat menghentikan serangan ikan-ikan todak. Sebaliknya, rakyat akan semakin banyak menjadi korban."
Paduka Seri Maharaja amat murka mendengar ucapan si anak lelaki. "Engkau pikir siapa engkau ini, hei budak, hingga berani-beraninya engkau memberikan nasihat kepadaku?"
"Nama hamba Kabil, Baginda Raja. Hamba berasal dari Bintan Penaungan. Hamba sangat mengenal perilaku ikan todak itu. Serangan ikan todak tidak akan dapat dihentikan dengan betis manusia. Hanya dengan batang-batang pisang saja ikan-ikan todak itu dapat dilumpuhkan."
Meski sebenarnya sangat jengkel dengan keberadaan Kabil, Paduka Seri Maharaja menuruti pula saran Kabil itu. Ia tidak mempunyai pilihan Iain. Ia lantas memerintahkan pemagaran daerah Tumasik dengan batang-batang pisang.
Segenap rakyat bersatu padu menebang pohon-pohon pisang dan menjajarkannya hingga menyerupai pagar. Rakyat bekerja keras serasa tidak membiarkan waktu berlalu selain membentengi daerah mereka dengan batang-batang pisang. Negeri Tumasik kemudian laksana berubah menjadi negeri berpagar batang pisang.
Benarlah saran Kabil. Dengan pagar batang pisang yang rapat, serangan ikan-ikan todak itu berhasil ditanggulangi. Amat banyak ikan todak yang tersangkut pada batang pisang. Paruh mereka yang runcing lagi tajam menghujam ke batang-batang pisang. Mereka menjadi tak berdaya. Rakyat lantas menangkap dan memotong ikan-ikan todak. Ketika mereka mengetahui daging ikan todak ternyata lezat rasanya, rakyat pun berebut menangkap ikan-ikan todak dan memasaknya.
Rakyat bersuka cita setelah berhasil menanggulangi serangan ikan-ikan todak. Bahkan, mereka bersyukur pula pada akhirnya karena tidak perlu bersusah payah mencari lauk untuk makan karena serasa tinggal mengambil ikan-ikan todak yang tersangkut di batang-batang pisang.
Jika rakyat merasa suka cita dan berbahagia, tidaklah demikian dengan para pejabat dan pembesar istana Kerajaan Tumasik. Mereka sangat khawatir jika rakyat akhirnya mendukung Kabil dan mendepak Paduka Seri Maharaja dari takhta. Jika itu yang terjadi, kedudukan mereka selaku pejabat dan pembesar istana Kerajaan Tumasik pun menjadi terancam. Mereka lantas menghadap Paduka Seri Maharaja dan mengungkapkan kekhawatiran itu.
"Kekhawatiran kalian seperti itu terbersit pula di hatiku. Kita memang seharusnya menyingkirkan Kabil dari Tumasik agar pengaruhnya tidak meluas;" ujar Paduka Seri Maharaja. "Namun, kita perlu berhati-hati melaksanakannya. Kabil itu anak yang cerdas. Jika kita mengusirnya, niscaya ia akan kembali. Bisa jadi ia kemudian akan menggalang kekuatan untuk meruntuhkan kekuasaanku."
"Ampun Baginda Raja, lantas tindakan apa yang sebaiknya kita lakukan?" tanya salah seorang pembesar istana Kerajaan Tumasik.
Paduka Seri Maharaja sejenak merenung sebelum akhirnya memberikan perintah kejamnya, "Tangkap Kabil. Lilitkan rantai besi pada seluruh tubuhnya dan kemudian masukkan ia ke dalam kurungan baja. Tenggelamkan ia dalam laut. Dengan cara itu, maka Kabil akan menemui kematiannya dan kekhawatiran kita tidak menjadi kenyataan:"
Perintah kejam Paduka Seri Maharaja pun dilaksanakan. Para prajurit Kerajaan Tumasik menangkap Kabil. Tubuh Kabil diikat dengan rantai besi dan kemudian dimasukkan ke dalam kurungan yang terbuat dari baja. Kurungan itu lantas dibawa menuju perairan Pulau Segantang Lada untuk ditenggelamkan.
Sebelum ditenggelamkan, Kabil masih sempat berujar kepada Paduka Seri Maharaja, "Beginikah cara Baginda Raja membalas saran kebaikan yang hamba berikan? Bukankah Serangan ganas ikan-ikan todak itu bisa ditanggulangi karena Baginda Raja menuruti saran hamba? Bukankah rakyat Tumasik terbebas dari bencana mengerikan yang diakibatkan ikan-ikan todak itu? Lantas, mengapa hamba diperlakukan begitu buruk seperti ini? Apa kesalahan hamba? Sungguh, hamba belum merasa rela hati mati muda dengan cara seperti ini!"
Paduka Seri Maharaja tidak mempedulikan ucapan Kabil. Ia tetap memerintahkan agar kurungan baja tempat mengurung Kabil itu ditenggelamkan ke dalam laut.
Kurungan baja itu tenggelam di karang Kepala Sambu. Kabil pun menemui kematiannya secara mengenaskan. Sarannya yang menghindarkan beribu-ribu rakyat Tumasik dari kematian akibat ganasnya serangan ikan-ikan todak tidak dihargai.
Bukan penghargaan atau ucapan terima kasih yang diterima anak lelaki cerdas itu, melainkan kematian!
Setelah kurungan baja berisi tubuh Kabil itu ditenggelamkan, air di sekitar tempat itu mendadak berpusar-pusar dengan keras laksana tengah meronta-ronta. Begitu kerasnya pusaran air laut itu hingga para nakhoda senantiasa menghindari kapal yang mereka nakhodai itu melintas di sekitar perairan kepulauan Sambu itu. Penduduk pun menamakan tempat ditenggelamkannya Kabil itu dengan nama Batu Rantai.

legenda batang tuaka

Pada zaman dahulu di daerah Indragiri Riau, hiduplah seorang wanita bersama anak laki-lakinya yang bernama Tuaka. Mereka hidup di sebuah gubuk yang terletak di muara sebuah sungai. Ayah Tuaka telah lama meninggal. Mereka saling menyayangi. Tuaka selalu membantu emaknya yang bekerja keras untuk penghidupan mereka.

Mereka sering ke hutan untuk mencari kayu bakar agar bisa dijual. Pada suatu ketika, dalam perjalanan pulang dari hutan, mereka melihat 2 ekor ular besar sedang berkelahi. Mereka segera berlindung dan mengamati perkelahian tersebut. Sepertinya 2 ekor ular tersebut sedang memperebutkan berupa sebutir permata. Akhirnya salah satu ular itu mati dan satunya lagi sangat kesakitan oleh luka-lukanya. Tuaka dan emaknya berusaha menolong ular itu dan membawanya pulang untuk dirawat.

Beberapa hari kemudian, ular tersebut mulai sembuh dan menghilang dari rumah Tuaka. Permata hasil kemenangan perkelahiaanya dahulu ditinggalkan dalam keranjang di rumah Tuaka. Tuaka dan emaknya terheran-heran dan mengamati permata itu dengan kagum.

“Mengapa ular itu meninggalkan permatanya, Mak?” tanya Tuaka.
“Mungkin ular itu ingin berterima kasih kepada kita. Sebaiknya permata itu kita jual dan hasilnya bisa digunakan untuk berdagang,” jawab Emak Tuaka penuh rasa syukur.

Permata itu laku dijual Tuaka dengan harga tinggi kepada seorang saudagar, cuma sayangnya uang saudagar tersebut kekurangan uang dan mengajak Tuaka ikut ke Temasik untuk menjemput semua uang tersebut. Setelah berpamitan dengan emaknya, Tuaka pun pergi ikut saudagar itu ke Temasik (Singapura).

Sesampai di Temasik, saudagar membayar semua uang kepada Tuaka. Karena uang berlimpah, Tuaka lupa akan pulang ke kampung halamannya. Dia berdagang dan menetap di Temasik dan menjadi saudagar kaya raya. Rumahnya megah, kapalnya banyak, istrinya pun cantik. Dia tak ingat lagi dengan emaknya yang miskin dan hidup sendirian di kampung.

Suatu hari, Tuaka mengajak istrinya berlayar dengan kapal ke suatu tempat. Kapal megah Tuaka akhirnya berlabuh di kampung halamannya. Tetapi, rupanya Tuaka enggan menceritakan kepada istrinya. Tuaka tidak mau istrinya mengetahui bahwa dirinya adalah anak seorang wanita tua yang miskin.

Sementara itu, kedatangan Tuaka terdengar sampai ke telinga emaknya. Emaknya bergegas menyongsong kedatangan anak lelakinya yang lama telah pergi. Emak pun bersampan mendekati kapal megah Tuaka.

“Tuaka anakku. Emak merindukanmu, nak,” teriak emak dari sampan.
“Siapa gerangan wanita tua itu,” tanya istri Tuaka.
Tuaka yang malu mengetahui emaknya yang tua dan miskin datang ke kapal megahnya, pura-pura tidak mengenalinya.
“Hei penjaga, jauhkan wanita tua miskin itu dari kapalku. Dasar orang gila tak tahu diri! Beraninya dia mengaku sebagai emakku,” teriak Tuaka.

Emak Tuaka pergi menjauh dengan sedih. “Oh Tuhan... ampunilah dosa Tuaka karena telah durhaka kepadaku. Berilah dia peringatan agar menyadari kesalahannya,” ratap Emak Tuaka. Rupanya Tuhan mendengar ratapan emak Tuaka. Tiba-tiba Tuaka berubah menjadi seekor elang dan istrinya menjadi seekor burung punai. Emak Tuaka terkejut dan juga sedih melihat anaknya berubah menjadi burung elang, karena emak pun masih menyayangi anaknya tersebut.

Burung elang dan burung punai itu pun terus berputar-putar sambil menangis di atas emak Tuaka. Air mata kedua burung itu terus menetes dan membentuk sungai kecil yang semakin lama semakin besar. Sungai itu kemudian diberi nama Sungai Tuaka (Batang Tuaka). Jika di suatu siang tampak seekor elang terbang di sekitar muara Batang Tuaka sambil berkulik atau menangis, burung tersebut diyakini masyarakat sekitar sebagai penjelmaan Tuaka yang menjerit memohon ampun kepada emaknya.

Tuesday, 19 July 2016

Putri Tujuh

Di daerah Dumai ada sebuah kerajaan yaitu  Kerajaan sari bunga tanjung yang dipimpin oleh seorang ratu perempuan bernama ratu Cik Sima. Sang Ratu mempunyai tujuh orang putri yang cantik jelita.walaupun seorang wanita, Ratu Cik sima dapat memimpin kerajaan dengan arif dan bijaksana.rakyat hidup makmur berkecukupan. Sehingga Negeri Seri Bunga Tanjung terkenal sebagai negeri yang damai.
Suatu hari, ketujuh putri itu mandi di lubuk Sarang Umai, karena mereka sedang asyik mandi mereka tak sadar kalau ada yang sedang memperhatikan yaitu Pangeran Empang Kuala dan pengawalnya yang kebetulan mereka lewat. Sang Pangeran bersembunyi di balik semak-semak dan dia terpesona oleh salah satu putri yaitu Putri Mayang Sari.
Sang Pangeran ternyata jatuh cinta kepada sang putri dan ia berniat untuk meminangnya. Dan tak lama setelah itu, mengirim utusan ke keluarga Kerajaan Seri Bunga Tanjung untuk meminang putri itu yang ternyata bernama Mayang Mengurai. Lalu sang Pangeranpun mengantarkan tepak sirih sebagai pinangan adat kebesaran raja. Pinangannya itupun disambut dengan adat yang ada di kerajaan itu, yaitu mengisi pinang dn gambir pada combol plaing besar yang ada diantara ketujuh combol itu yang terdapat di tepuk. Sedangkan enam buah combol llainnya dibiarkan kosong. Lambang dari adat ini yaitu, putri tertualah yang berhak menerima pinangan terlebih dahulu. Dengan begitu pinangan sang Pangeran di tolak. Utusannya pun kembali kepada sang Pangeran.
“Ampun Pangeran, tidak bermaksud hamba mengecewakan Tuan. Keluarga Kerajaan Seri Bunga tanjung belum bersedia untuk menerima pinangan Tuan”. Ucap utusannya.
Sang Pangeranpun begitu murka dan dia tidak peduli lagi dengan adat karena hatinya dipenuhi dengan rasa malu hingga akhirnya ia memerintahkan para prajuritnya untuk menyerang Kerajaan Seri Bunga Tanjung.
Peperanganpun tak dapat lagi dielakan, sehingga ratu Cik Sima melarikan ketujuh Putrinya ke hutan dan disembunyikan di lubang yang terlindung dari pepohonan juga beratapkan tanah. Sang Ratu memberikan makanan untuk selama 3 bulan kepada putri-putrinya itu dan ia kembali untuk melawan pasukan Pangeran Empang Kuala.
Tiga bulanpun berlalu, namun peperangan itu belum usai, nmaun ketika memasuki bulan keempat pasukan Ratu Cik Sima semakin tak berdaya hingga akhirnya Negeri Seri Bunga Tanjungpun dihancurkan rakyatnyapun tak sedikit yang tewas. Melihat negerinya hancur Ratu Cik Simapun pergi meminta bantuan kepada jin yang ada di bukit Hulu Sungai Umai.
Ketika senja, pasukan Pangeran Empang Kuala beristirahat di bawah pohon bakau di hilir Umai. Namun ketika malam tiba, secara tiba-tiba buah bakau menimpa mereka dan menusuk pada badan mereka hingga pasukanpun dapat dilumpuhkan. Ketika itu juga utusan Ratu Cik Sima datang menghampiri Pangeran Empang Kuala yang sedang lemas. Sang pangeranpun bertanya.
“Apa maksud kedatanganmu wahai orang Seri Bunga Tanjung?”. Ucap Pangeran
Para utusan Ratu Cik Sima langsung menjawab.
“hamba hanya ingin menyampaikan pesan dari Ratu Cik Sima supaya pangeran tidak lagi meneruskan peperangan ini. Karena perbuatan ini merusak bumi sakti rantau bertuah dan juga menodai pesisir Seri Bunga Tanjung. Jika ada yang datang dengan niat yang buruk, maka dia akan ditimpa malapetaka, namun jika ia datang dengan niat baik maka kesejahteraanlah yang akan dia dapatkan.” Ujar Utusan itu.
Mendengar pesannya itu, Pangeranpun enyadari bahwa peperangan ini ia yang memulai dan memerintahkan semua prajuritnya untuk kembali ke negeri Empang kuala.
Lalu keesokan harinya, sang Ratu pergi ke hutan dimana putri-putrinya itu disembunyikan, namun sang Ratu terkejut ketika melihat semua putrinya itu sudah tidak tak bernyawa lagi. Mereka mati karena kelaparan juga kehausan. Karena sang Ratu sedih melihat ketujuh putrinya itu iapun sakit-sakitan hingga akhirnya ia meninggal dunia. Sampai saat ini pengorbanan ketujuh putri itu selalu di kenang dengan sebuah lirik lagu yang berjudul “Putri Tujuh“.
Sejak saat itu, masyarakat meyakini bahwa kota Dumai diambil dari kata “d’umai” yang selalu di ucapkan oleh Pangeran Empang Kuala ketika sang Pangeran melihat kecantikan Putri Mayang Sari.
dongeng cerita putri tujuh legenda putri tujuh cerita rakyat melayu putri tujuh cerita rakyat putri tujuh cerita 7 putri cerita rakyat melayu riau putri tujuh cerita rakyat riau putri tujuh legenda 7 putri kisah putri tujuh Cerita tujuh putri putri 7 dongeng putri tujuh putri tujuh legenda putri 7 cerita lengkap putri tujuh cerita putri7 cerita pu arti lagu melayu putri tujuh cerita rakyat putri tujuh dalam bahasa melayu putritujuhdumai

Sampuraga

Alkisah, pada zaman dahulu kala di daerah Padang Bolak, hiduplah di sebuah gubuk reot seorang janda tua dengan seorang anak laki-lakinya yang bernama Sampuraga. Meskipun hidup miskin, mereka tetap saling menyayangi. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka setiap hari bekerja sebagai tenaga upahan di ladang milik orang lain. Keduanya sangat rajin bekerja dan jujur, sehingga banyak orang kaya yang suka kepada mereka.
Pada suatu siang, Sampuraga bersama majikannya beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang setelah bekerja sejak pagi. Sambil menikmati makan siang, mereka berbincang-bincang dalam suasana akrab. Seakan tidak ada jarak antara majikan dan buruh.
“Wahai, Sampuraga! Usiamu masih sangat muda. Kalau boleh saya menyarankan, sebaiknya kamu pergi ke sebuah negeri yang sangat subur dan peduduknya hidup makmur,” kata sang Majikan.
“Negeri manakah yang Tuan maksud?” tanya Sampuraga penasaran, “Negeri Mandailing namanya. Di sana, rata-rata penduduknya memiliki sawah dan ladang. Mereka juga sangat mudah mendapatkan uang dengan cara mendulang emas di sungai, karena tanah di sana memiliki kandungan emas,” jelas sang Majikan. Keterangan sang Majikan itu melambungkan impian Sampuraga.
“Sebenarnya, saya sudah lama bercita-cita ingin pergi merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Saya ingin membahagiakan ibu saya,” kata Sampuraga dengan sungguh-sungguh.
“Cita-citamu sangat mulia, Sampuraga! Kamu memang anak yang berbakti” puji sang Majikan. Sepulang dari bekerja di ladang majikannya, Sampuraga kemudian mengutarakan keinginannya tersebut kepada ibunya.
“Bu, Raga ingin pergi merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Raga ingin mengubah nasib kita yang sudah lama menderita ini,” kata Sampuraga kepada ibunya. “Ke manakah engkau akan pergi merantau, anakku?”, tanya ibunya.
“Ke negeri Mandailing, bu. Pemilik ladang itu yang memberitahu Raga bahwa penduduk di sana hidup makmur dan sejahterta, karena tanahnya sangat subur,” jelas Sampuraga kepada ibunya.
“Pergilah, anakku! Meskipun ibu sangat khawatir kita tidak bisa bertemu lagi, karena usia ibu sudah semakin tua, tapi ibu tidak memiliki alasan untuk melarangmu pergi. Ibu minta maaf, karena selama ini ibu tidak pernah membahagiakanmu, anakku” kata ibu Sampuraga dengan rasa haru
“Terima kasih, bu! Raga berjanji akan segera kembali jika Raga sudah berhasil. Doakan Raga, ya bu!“ Sampuraga meminta doa restu kepada ibunya.
“Ya, anakku! Siapkanlah bekal yang akan kamu bawa!” seru sang ibu. Setelah mendapat doa restu dari ibunya, Sampuraga pun segera mempersiapkan segala sesuatunya.
Keesokan harinya, Sampuraga berpamitan kepada ibunya. “Bu, Raga berangkat! jaga diri ibu baik-baik, jangan terlalu banyak bekerja keras!” saran Sampuraga kepada ibunya.
Berhati-hatilah di jalan! Jangan lupa cepat kembali jika sudah berhasil!” harap sang ibu.
Sebelum meninggalkan gubuk reotnya, Sampuraga mencium tangan sang Ibu yang sangat disayanginya itu. Suasana haru pun menyelimuti hati ibu dan anak yang akan berpisah itu. Tak terasa, air mata keluar dari kelopak mata sang Ibu. Sampuraga pun tidak bisa membendung air matanya. Ia kemudian merangkul ibunya, sang Ibu pun membalasnya dengan pelukan yang erat, lalu berkata: “Sudahlah, Anakku! Jika Tuhan menghendaki, kita akan bertemu lagi,” kata sang Ibu.
Setelah itu berangkatlah Sampuraga meninggalkan ibunya seorang diri. Berhari-hari sudah Sampuraga berjalan kaki menyusuri hutan belantara dan melawati beberapa perkampungan. Suatu hari, sampailah ia di kota Kerajaan Pidoli, Mandailing. Ia sangat terpesona melihat negeri itu. Penduduknya ramah-tamah, masing-masing mempunyai rumah dengan bangunan yang indah beratapkan ijuk. Sebuah istana berdiri megah di tengah-tengah keramaian kota. Candi yang terbuat dari batu bata terdapat di setiap sudut kota. Semua itu menandakan bahwa penduduk di negeri itu hidup makmur dan sejahtera.
Di kota itu, Sampuraga mencoba melamar pekerjaan. Lamaran pertamanya pun langsung diterima. Ia bekerja pada seorang pedagang yang kaya-raya. Sang Majikan sangat percaya kepadanya, karena ia sangat rajin bekerja dan jujur. Sudah beberapa kali sang Majikan menguji kejujuran Sampuraga, ternyata ia memang pemuda yang sangat jujur. Oleh karena itu, sang Majikan ingin memberinya modal untuk membuka usaha sendiri. Dalam waktu singkat, usaha dagang Sampuraga berkembang dengan pesat. Keuntungan yang diperolehnya ia tabung untuk menambah modalnya, sehingga usahanya semakin lama semakin maju. Tak lama kemudian, ia pun terkenal sebagai pengusaha muda yang kaya-raya.
Sang Majikan sangat senang melihat keberhasilan Sampuraga. Ia berkeinginan menikahkan Sampuraga dengan putrinya yang terkenal paling cantik di wilayah kerajaan Pidoli.
“Raga, engkau adalah anak yang baik dan rajin. Maukah engkau aku jadikan menantuku?” tanya sang Majikan.
“Dengan senang hati, Tuan! Hamba bersedia menikah dengan putri Tuan yang cantik jelita itu,” jawab Sampuraga.
Pernikahan mereka diselenggarakan secara besar-besaran sesuai adat Mandailing. Persiapan mulai dilakukan satu bulan sebelum acara tersebut diselenggarakan. Puluhan ekor kerbau dan kambing yang akan disembelih disediakan. Gordang Sambilan dan Gordang Boru yang terbaik juga telah dipersiapkan untuk menghibur para undangan.
Berita tentang pesta pernikahan yang meriah itu telah tersiar sampai ke pelosok-pelosok daerah. Seluruh warga telah mengetahui berita itu, termasuk ibu Sampuraga. Perempuan tua itu hampir tidak percaya jika anaknya akan menikah dengan seorang gadis bangsawan, putri seorang pedagang yang kaya-raya.
“Ah, tidak mungkin anakku akan menikah dengan putri bangsawan yang kaya, sedangkan ia adalah anak seorang janda yang miskin. Barangkali namanya saja yang sama,” demikian yang terlintas dalam pikiran janda tua itu.
Walaupun masih ada keraguan dalam hatinya, ibu tua itu ingin memastikan berita yang telah diterimanya. Setelah mempersiapkan bekal secukupnya, berangkatlah ia ke negeri Mandailing dengan berjalan kaki untuk menyaksikan pernikahan anak satu-satunya itu. Setibanya di wilayah kerajaan Pidoli, tampaklah sebuah keramaian dan terdengar pula suara Gordang Sambilan bertalu-talu. Dengan langkah terseok-seok, nenek tua itu mendekati keramaian. Alangkah terkejutnya, ketika ia melihat seorang pemuda yang sangat dikenalnya sedang duduk bersanding dengan seorang putri yang cantik jelita. Pemuda itu adalah Sampuraga, anak kandungnya sendiri.
Oleh karena rindu yang sangat mendalam, ia tidak bisa menahan diri. Tiba-tiba ia berteriak memanggil nama anaknya.
Sampuraga sangat terkejut mendengar suara yang sudah tidak asing di telinganya. “Ah, tidak mungkin itu suara ibu,” pikir Sampuraga sambil mencari-cari sumber suara itu di tengah-tengah keramaian. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba seorang nenek tua berlari mendekatinya.
“Sampuraga…Anakku! Ini aku ibumu, Nak!” seru nenek tua itu sambil mengulurkan kedua tangannya hendak memeluk Sampuraga.
Sampuraga yang sedang duduk bersanding dengan istrinya, bagai disambar petir. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi merah membara, seakan terbakar api. Ia sangat malu kepada para undangan yang hadir, karena nenek tua itu tiba-tiba mengakuinya sebagai anak.
“Hei, perempuan jelek! Enak saja kamu mengaku-ngaku sebagai ibuku. Aku tidak punya ibu jelek seperti kamu! Pergi dari sini! Jangan mengacaukan acaraku!”, hardik Sampuraga.
“Sampuragaaa…, Anakku! Aku ini ibumu yang telah melahirkan dan membesarkanmu. Kenapa kamu melupakan ibu? Ibu sudah lama sekali merindukanmu. Rangkullah Ibu, Nak!” Iba perempuan tua itu.
“Tidak! Kau bukan ibuku! Ibuku sudah lama meninggal dunia. Algojo! Usir nenek tua ini!” Perintah Sampuraga.
Hati Sampuraga benar-benar sudah tertutup. Ia tega sekali mengingkari dan mengusir ibu kandungnya sendiri. Semua undangan yang menyaksikan kejadian itu menjadi terharu. Namun, tak seorang pun yang berani menengahinya.
Perempuan tua yang malang itu kemudian diseret oleh dua orang sewaan Sampuraga untuk meninggalkan pesta itu. Dengan derai air mata, perempuan tua itu berdoa: “Ya, Tuhan! Jika benar pemuda itu adalah Sampuraga, berilah ia pelajaran! Ia telah mengingkari ibu kandungnya sendiri
Seketika itu juga, tiba-tiba langit diselimuti awan tebal dan hitam. Petir menyambar bersahut-sahutan. Tak lama kemudian, hujan deras pun turun diikuti suara guntur yang menggelegar seakan memecah gendang telinga. Seluruh penduduk yang hadir dalam pesta berlarian menyelamatkan diri, sementara ibu Sampuraga menghilang entah ke mana. Dalam waktu singkat, tempat penyelenggaraan pesta itu tenggelam seketika. Tak seorang pun penduduk yang selamat, termasuk Sampuraga dan istrinya.
Beberapa hari kemudian, tempat itu telah berubah menjadi kolam air yang sangat panas. Di sekitarnya terdapat beberapa batu kapur berukuran besar yang bentuknya menyerupai kerbau. Selain itu, juga terdapat dua unggukan tanah berpasir dan lumpur warna yang bentuknya menyerupai bahan makanan. Penduduk setempat menganggap bahwa semua itu adalah penjelmaan dari upacara pernikahan Sampuraga yang terkena kutukan. Oleh masyarakat setempat, tempat itu kemudian diberi nama “Kolam Sampuraga”. Hingga kini, tempat ini telah menjadi salah satu daerah pariwisata di daerah Mandailing yang ramai dikunjungi orang.

Sarip Tambak Oso

Legenda Sarip Tambak Oso terjadi ketika Belanda dengan kompeninya masih menjajah ibu pertiwi..tidak ada catatan tahun sejarah peristiwa perlawanan Sarip Tambak Oso terhadap kompeni Belanda karena mungkin tokoh Sarip hanyalah “kerikil-kerikil kecil” sejarah bangsa Indonesia dalam melawan Belanda. 

Dulu cerita ini sering dimainkan dalam kesenian LUDRUK JAWA TIMURAN, dan setiap orang Sidoarjo pasti tau dan kenal siapa SARIP TAMBAK OSO!!
SARIP TAMBAK OSO adalah nama pemuda 

kampung yang tinggal di wetan (timur) sungai Sedati Sidoarjo. Dia dikenal sebagai seorang pendekar yang bertemperamen kasar tetapi sangat perhatian pada penderitaan orang-orang miskin yang menjadi korban pemungutan pajak oleh Belanda. 

Sarip Tambak Oso memiliki ikatan batin dengan ibunya, seorang janda tua yang miskin. Ketika masih kecil Sarip Tambak Oso memakan “lemah abang” (Tanah Merah) bersama ibunya. Lemah Abang tersebut adalah pemberian ayahnya, ” selama ibunya masih hidup, Sarip tidak akan pernah bisa mati meski dia terbunuh 1000x dalam sehari “. 

Sarip  memiliki paman dari jalur ayahnya, dimana dia telah mengambil harta warisan berupa tambak peninggalan ayah Sarip untuk dimanfaatkan sendiri. 

Suatu hari datang lurah Gedangan dan kompeni Belanda kerumah Sarip dengan maksud ingin menarik pajak tambak pada ibunya Sarip. Karena tambak yang dikelolah paman Sarip adalah atas nama Ayahnya Sarip. 

Sarip ketika itu tidak ada dirumah sehingga tidak mengetahui peristiwa tersebut. Lurah Gedangan dibantu kompeni Belanda meminta paksa pajak tanah pada ibunya Sarip yang tidak mampu membayarnya. Ibunya Sarip dihajar, dipukul dan ditendang oleh lurah Gedangan dibantu oleh kompeni Belanda.

 Ibunya Sarip yang sudah tua rentah menangis dan merintih memanggil-manggil Sarip yang tidak ada di rumah waktu itu ” Sariip reneoh leh..mbokmu dihajar londo le..Sarriiipp “  (terjm. ” Sariip…kesinilah nak..ibumu sedang dipukuli Belanda”). Sarip yang ketika itu tidak berada dirumah seolah mendengar rintihan ibunya dan dengan ilmu kesaktiannya segera kembali kerumahnya dan menemukan Ibunya sedang dianiaya oleh lurah Gedangan dan kompeni Belanda. Segera dicabutnya pisau yang selalu terselip dipinggang dan dibunuhnya lurah Gedangan dan sebagian kompeni Belanda,sisanya melarikan diri. Sejak saat itu Sarip Tambak Oso menjadi buronan kompeni Belanda.

Suatu hari Sarip mendatangi pamannya yang telah mengambil tanah tambak peninggalan orang tuanya, tetapi tidak diberikan oleh pamannya sehingga terjadi perkelahian antara Sarip dengan Pamannya. Karena merasa terdesak dan kalah, pamannya melarikan diri menuju kulon kali Sedati menemui salah satu pendekar yang bernama Paidi.

Paidi adalah pendekar kulon (Barat) kali Sedati yang mempunyai senjata andalan berupa Jagang karena ia berprofesi sebagai kusir delman. Paidi senang pada putri pamannya Sarip yang bernama Saropah sehingga ia mau membantu pamannya Sarip.

 Paidi akhirnya pergi mendatangi Sarip dengan maksud untuk menuntut balas perlakuan Sarip pada pamannnya. Sarip dan Paidi akhirnya bertemu ditepi sungai Sedati, mereka akhirnya berkelahi dengan ilmu kesaktiannya. Sarip kalah dan terbunuh, jasadnya dibuang oleh Paidi ke sungai Sedati. Ketika itu ibunya Sarip sedang mencuci pakaian di sungai Sedati, melihat air sungai berwarna merah darah maka ibunya Sarip mencari sumbernya dan betapa terkejutnya karena ternyata sumber warna merah sungai Sedati adalah warna darah dari darah anaknya dan seketika itu juga ibunya menjerit ” Sariiip..tangio 

leh..durung wayahe awakmu mati..” (Sariip bangun nak! belum waktunya kamu meninggal) dan seketika itu juga Sarip bangkit dari kematiannya seperti orang bangun dari tidur. Oleh ibunya, Sarip diperintahkan untuk sementara waktu menyingkir dari kampungnya dan tinggal diujung kampung. Sarip pun mencari Paidi kembali dan bertarung dimana kali ini Paidi kalah dan terbunuh oleh Sarip. 

Sebagai buronan Belanda, Sarip sering merampok rumah-rumah tuan tanah Belanda dan orang kaya yang menjadi antek-antek Belanda, dimana hasil rampokannya ia bagikan pada rakyat miskin yang ada didaerahnya. Belanda merasa kewalahan dengan sepak terjang Sarip yang semakin berani melawan Belanda. 

Belanda pun menyewa pendekar-pendekar untuk melawan Sarip, tapi tidak ada yang bisa mengalahkannya karena setiap Sarip mati pasti dia akan hidup kembali dan berulang-ulang terjadi. Belanda pun mencar tahu apa gerangan yang menjadi rahasia kehebatan Sarip sehingga bisa hidup berulang-ulang setiap dia mati. 

Akhirnya Belanda dapat mengetahui rahasia kelemahan Sarip dari pamannya yang merupakan saudara seperguruan ayahnya Sarip bahwa letak kesaktiannya Sarip ada di ibunya. Belanda akhirnya menangkap ibunya Sarip dan menembaknya. Sarip pun terdesak dan akhirnya tertangkap oleh Belanda. 

Oleh Belanda Sarip dijatuhi hukuman mati dengan dikubur hidup-hidup dalam sumur dan ditutupi batu dan tanah oleh Belanda. Begitulah kisah Sarip Tambak Oso seorang pemuda pendekar Sidoarjo yang gugur melawan Belanda.

damarwulan

Damar Wulan lahir berdarah pangeran, keponakan dari perdana menteri, Patih Logender, tetapi dibesarkan di pertapaan kakeknya. Menuruti nasihat kakeknya, ia pergi ke istana Majapahit mencari pekerjaan. Sepupu-sepupunya, Layang Seta dan Layang Kumitir, menganiayanya sesampainya Damar Wulan di sana.

Patih Logender, yang tidak menginginkan Damar Wulan bersaing dengan anak-anaknya sendiri, menetapkan dia sebagai pemotong rumput dan penjaga kuda istana. Meskipun tidak mengenakan pakaian indah, wajahnya masih terlihat sangat tampan. Desas-desus tentang ketampanannya ini akhirnya sampai pada pendengaran Putri Anjasmara, anak Patih Logender. Putri Anjasmara menemui Damar Wulan dengan diam-diam dan mereka jatuh cinta dan mereka berhubungan secara sembunyi-sembunyi. Suatu malam, Layang Seta dan Layang Kumitir mendengar suara dari dalam kamar saudarinya. Mereka mendobrak masuk dan mencoba untuk membunuh Damar Wulan, tapi Damar Wulan mampu mengalahkan mereka. Layang Seta dan Layang Kumitir melarikan diri dan mengadu pada ayah mereka, yang kemudian memerintahkan Damar Wulan untuk dihukum mati. Puteri Anjasmara memohon belas kasihan untuk kekasihnya. Akhirnya Patih Logender memutuskan tidak jadi menghukum mati Damar Wulan, melainkan dia memenjarakan pasangan itu.

Sementara itu, Menak Jingga telah menulis surat kepada Ratu Kencana Wungu untuk meminangnya. Ketika Ratu Kencana Wungu menolak pinangannya, Menak Jingga marah dan menyatakan perang terhadap kerajaan Majapahit. Dia berhasil dalam menyerang daerah sekeliling kerajaan Majapahit, dan akhirnya kerajaan Majapahit merasa terancam oleh pasukan Menak Jingga secara langsung.

Dalam keadaan tertekan, Ratu Kencana Wungu mengumumkan bahwa siapa pun yang membunuh Menak Jingga dan berhasil memenggal kepalanya akan menjadi suaminya. Khawatir bahwa tidak ada penyelamat yang muncul, ia menerima wahyu bahwa seorang ksatria muda bernama Damar Wulan dapat mengalahkan Menak Jingga. Dia memerintahkan Patih Logender membebaskan Damar Wulan dari penjara dan mengirimnya untuk melawan Menak Jingga. 
Damar Wulan, disertai oleh para pengikutnya Sabdapalon dan Nayagenggong, berangkat menuju ke Blambangan. Hari sudah malam saat mereka tiba di sana, Damar Wulan menyelinap masuk ke dalam taman dan berhasil menguping percakapan di paviliun antara dua selir Menak Jingga yang bernama Dewi Wahita dan Dewi Puyengan. Setelah cukup menguping, Damar Wulan masuk ke paviliun dan memperkenalkan dirinya. Dewi Wahita dan Dewi Puyengan terpesona melihat ketampanannya dan mereka memutuskan untuk mengabdi kepadanya. Pada saat yang sama, Menak Jingga memutuskan untuk mengunjungi selir-selir tersebut, dan menemukan Damar Wulan sedang ada di sana dengan mereka. Tanpa dapat dihindari lagi Menak Jingga dan Damar Wulan berkelahi, tapi Damar Wulan tidak mampu mengalahkan Menak Jingga. Damar Wulan terluka parah dan pingsan seakan sudah mati.

Menak Jingga meninggalkannya dan memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk menjaga tubuh Damar Wulan. Namun, prajurit-prajurit jatuh tertidur, dan kedua selir menyeret tubuh Damar Wulan ke tempat tersembunyi, dan berhasil menyadarkannya dari pingsan. Lalu mereka mengungkapkan rahasia kekebalan Menak Jingga kepada Damar Wulan, yaitu senjata sakti gada Wesi Kuning milik Menak Jinggo yang disembunyikan di balik bantalnya. Jika Menak Jingga dipukul di sebelah kiri dahinya dengan gada ini, ia akan mati. Mempertaruhkan hidup mereka demi kekasih mereka, para selir ini berhasil mencuri gada Wesi Kuning saat Menak Jingga sedang tidur.

Keesokan harinya pertempuran kedua antara Menak Jingga dan Damar Wulan terjadi, di mana Damar Wulan berhasil memenggal kepala raja. Berhasil membawa kemenangan, ia kembali ke Majapahit, tapi Layang Seta dan Layang Kumitir menyergapnya di luar istana, membunuhnya dan membawa kepala Menak Jingga ke hadapan Ratu Kencana Wungu.

Namun, seorang pertapa menghidupkan kembali Damar Wulan, dan sang ratu mendengar cerita sesungguhnya. Dalam pertempuran terakhir, Damar Wulan mengalahkan Layang Seta dan Layang Kumitir , lalu dinobatkan menjadi Raja Majapahit. Ratu Kencana Wungu mengijinkannya untuk tetap memiliki Puteri Anjasmara, Dewi Wahita dan Dewi Puyengan sebagai istri-istrinya.
 

Monday, 18 July 2016

roro mendut

Alkisah di pantai utara kadipaten Pati, hiduplah seorang gadis yang sangat cantik jelita. Ia bernama Roro Mendut. Ia adalah putri seorang nelayan. Kecantikan Roro Mendut sangat tersohor, hingga beritanya sampai kepada Adipati Pragolo II, penguasa Kadipaten Pati. Adipati Pragolo penasaran dan ingin melihat Roro Mendut. Ternyata benar. Roro Mendut luar biasa cantiknya. Adipati Pragolo pun langsung terpesona.
Adipati Pragolo melamar Roro Mendut untuk di jadikan selir. Namun Roro Mendut menolak. Adipati Pragolo tidak menyerah. Berulang kali ia melamar Roro Mendut. Roro Mendut tetap menolak dan mengatakan bahwa ia sudah punya kekasih, yaitu Pranacitra, pemuda desa yang tampan, anak seorang saudagar kaya raya. Adipati Pragolo marah. Maka ia pun menyuruh pengawalnya untuk menculik Roro Mendut.
Suatu siang, saat Roro Mendut sedang menjemur ikan, tiba-tiba ia diseret paksa oleh dua orang pengawal kadipaten. Ia dinaikkan ke kuda dan di bawa ke kadipaten. Karena tetap tidak mau di jadikan selir, maka ia pun di pingit di dalam kadipaten.
Saat itu Kadipaten Pati berada di bawah kekuasaan kerajaan Mataram yang dipimpin oleh Sultan Agung. Karena Kadipaten Pati tidak membayar upeti, maka Sultan Agung memerintah panglima perangnya, yaitu  Tumenggung Wiraguna, untuk menyerang kadipaten Pati. Kadipaten Pati yang tidak siap siaga menjadi kalang kabut dan akhirnya kalah. Tumenggung Wiraguna pun dibunuh oleh Adipati Pragolo dengan menggunakan senjata Baru Klinthing. Maka seluruh kekayaan beserta orang-orang di Kadipaten pati diboyong ke Mataram.
Saat itulah Tumenggung Wiraguna melihat Roro Mendut. Ia terpesona dan langsung melamarnya untuk di jadikan selir. Roro Mendut menolak dan mengatakan bahwa ia sudah punya kekasih. Tumenggung Wiraguna marah. Sebagai hukuman, ia mengharuskan Roro Mendut untuk membayar upeti. Roro Mendut mencari cara untuk memperoleh uang, guna membayar upeti. Maka iapun meminta ijin untuk berjualan rokok di pasar. Karena kecantikannya yang luar biasa, maka dagangannya pun laris manis. Bahkan putung hasil isapannya pun laris terjual dengan harga mahal.
Suatu hari Roro Mendut bertemu Pranacitra yang selalu mencarinya. Mereka pun berencana untuk melarikan diri. Sesampainya di kerajaan, Roro mendut pun menceritakan ihwal pertemuannya dengan Pranacitra dan rencana mereka untuk melarikan diri dari kerajaan Mataram, kepada dua orang selir Tumenggung Wiraguna yang tidak setuju Tumenggung menambah selir lagi.
Dibantu oleh dua orang selir tersebut, Roro Mendut berhasil melarikan diri bersama Pranacitra. Namun sayang, usaha mereka diketahui oleh pengawal kerajaan. Maka Roro Mendutpun dibawa pulang ke kerajaan. Sementara itu, tanpa sepengetahuan Roro Mendut, Pranacitra dibunuh, dengan harapan Roro Mendut mau menikah dengan Tumenggung Wiraguna.
Tumenggung Wiraguna kembali mendesak Roro Mendut agar mau jadi selirnya.
“Tidak. Saya sudah punya calon suami” Kata Roro Mendut.
“Percuma kamu mengharapkan laki-laki itu. Dia sudah mati.” Kata Tumenggung Wiraguna.
“Tidak mungkin. Saya baru saja bertemu dia.” Timpal Roro Mendut.
“Kalau tidak percaya, ayo, kuantar ke makamnya.” Kata Tumenggung Wiraguna.
Melihat makam itu, Roro Mendut menjerit histeris.
“Sudahlah, tidak ada gunanya meratapi orang yang sudah mati.” Kata Tumenggung Wiraguna.
Maka Roro Mendut ditarik paksa agar kembali ke kerajaan. Roro Mendut meronta-ronta. Dan saat tangannya terlepas dari genggaman Tumenggung Wiraguna, secepat kilat ia menyambar keris milik Tumenggung Wiraguna dan segera berlari ke makam Pranacitra.
“Jangan Roro Mendut!” Tumenggung Wiraguna berusaha menyusul untuk menghentikan Roro Mendut.
Tetapi terlambat. Roro Mendut telah menancapkan keris itu ke tubuhnya, dan ia pun roboh di atas makam Pranacitra.
Tumenggung Wiraguna sangat menyesal. Seandainya ia tidak memaksa Roro Mendut menjadi selirnya, tentu ia tak akan bunuh diri. Sebagai ungkapan penyesalannya, maka ia pun memakamkan Roro Mendut satu liang dengan Pranacitra.

leungli

Pada suatu masa, hiduplah tiga orang kakak beradik yatim piatu. Mereka adalah gadis-gadis yang menjadi kembang desa yang dikenal karena kecantikannya. Ketiga kakak beradik itu tinggal di sebuah gubuk sederhana dan bekerja sebagai penumbuk padi. Mereka mendapatkan upah beras segelas jika berhasil menumbuk padi seikat. Sejak ditinggal oleh kedua orangtuanya, mereka selalu berusaha hidup sederhana.
Dari ketiga gadis itu, Si Bungsu Rarang-lah yang mempunyai perangai paling rajin dan baik hati. Hal ini membuat orang-orang di desanya lebih menyukai Si Bungsu. Sayangnya, kedua kakaknya selalu memanfaatkan kebaikannya itu. Terkadang, Si Bungsulah yang harus menyelesaikan pekerjaan kakak-kakaknya menumbuk padi agar pemilik padi tidak marah. Jangankan imbalan yang di dapat Si Bungsu, ucapan terima kasih atas pekerjaannya pun tidak ia dapat.
  Suatu hari, tiga gadis itu hendak mencuci pakaian di sungai. Sesampainya di tepi sungai, Si Sulung menyerahkan bakul cuciannya ke tangan Si Bungsu Rarang.
“Aku, kan, kakak sulungmu. Sudah sepantasnya kau membantuku mancucikan semua bajuku,” tegur Si Sulung garang.
“Baik, Kakak. Letakkan saja bakul cucianmu di sini,” jawab Si Bungsu dengan ramah.
Kemudian datang lagi kakak kedua, “ Hei, Bungsu. Kulihat cucianmu tidak banyak. Hari ini aku sibuk sekali. Tolong cucikan pakaianku, ya! Cuci yang bersih” ujar kakak kedua.
Si Bungsu mengangguk dan berkata, “Akan segera kucuci semua bajumu, Kak.”
“Yuk, kita pulang dik, biarkan si bungsu yang mencuci baju kita.” Ujar si sulung.
“Iya kak, lagipula aku ingin bersantai di rumah.” Ujar kakak kedua.
“Jangan lupa cuci yang bersih”. Ujar kakak kedua.
“Baik kak.” Ujar si bungsu.
Semua kakak Rarang menggunakan berbagai alasan untuk memperdaya adik bungsunya itu. Senja hampir tiba, namun Si Bungsu belum lagi menyelesaikan seluruh cuciannya. Tubuhnya keletihan. Tenaganya terkuras. Tapi dia harus menyelesaikan semua cucian kakaknya. Saat malam mulai pekat, Si Bungsu baru bisa selesai mencuci.
“Alhamdulillah, cucian sudah selesai. Aku sangat letih dan lapar.” Ujar si bungsu.
Sesampainya di rumah, jangankan disuguhi makan malam yang nikmat, segelas air putih penghilang dahaga pun tidak ia peroleh.
“Assalamu’alaikum,” ujar si bungsu
Wa’alaikumsalam.” Ujar kedua kakaknya(dengan nada jutek)
“Mana cucianku? Kok lama sekali? Dasar Lamban! Bagaimana kau bisa kaya jika kerjamu lamban begini,” umpat kakak sulung semena-mena. Si Bungsu hanya dapat tertunduk.
“Hei, Bungsu. Mengapa cucianku masih berpasir seperti ini! Dasar kau tak becus bekerja!” tambah kakak kedua.
“Maafkan aku kak,” ujar si bungsu.
“Jangan-jangan Kau sengaja kan membuat pakaian kami jadi seperti ini?” ujar kakak kedua.
“Apakah itu benar bungsu?”ujar si sulung.
“Ituuuu tidak benar kak.” Ujar si bungsu.
“Alahh bilang saja kau sengaja, dasar lemot” ujar kakak kedua.
Si Bungsu sangat sedih. Tubuh letihnya terasa mau ambruk. Ia tak lagi punya kekuatan untuk menangis. Ia jatuh tertidur tanpa sempat melaukan pekerjaannya menumbuk padi. Jadialah ia tidak mendapatkan beras hari ini. Keesokan harinya, ia terbangun dengan perut lapar.
“Aduh, perutku lapar sekali.” Ujar si bungsu.
Ia melihat kakaknya dengan lahap sarapan pagi.
“Heh, bungsu cepat kau timba air di sumur untuk mandi kita.” Ujar kakak sulung
“Kakak aku sangat letih dan lapar,” ujar si bungsu
“Emang kita pikirin?cepatlah” ujar kakak kedua
“Baiklah.” Ujar si bungsu
Dengan segenap tenaga yang tersisa, ia menimba air, setelah itu ia berlari ke dalam hutan. Ia sampai  di tepi sebuah danau. Ia bersimpuh di atas sebuah batu di tepi danau. Airmatanya mengalir dan ia tersedu sampai ia kelelaha. Di sana, seolah Si Bungsu ingin menumpahkan semua perasaannya pada danau dan batu yang bisu.
“Kenapa kakak-kakakku memperlakukanku seperti ini?kenapa?” ujar si bungsu
Tiba-tiba, di permukaan danau muncullah seekor ikan mas yang warnanya sangat berkilauan. Ia memanggil Si Bungsu Rarang
“Apakah yang membuat gadis cantik dan baik sepertimu sampai berurai air mata begini?” kata ikan mas.
Si Bungsu sangat terkejut melihat seekor ikan dapat berbicara. Ia menjawab ikan itu dengan terbata-bata.
“A..a...ku...Aku sedih karena kakak-kakakku tidak menyayangiku. Mereka memperlalukan aku dengan buruk. Aku senang bisa membantu mereka, tapi aku tak sanggup jika terus diperlakukan bagai pesuruh,” isak Si Bungsu.
“Jangan menangis gadis cantik, usap air matamu, aku akan menjadi temanmu.” Ujar ikan mas.
“Terimakasih ikan mas, aku akan memberimu nama leungli, bagaimana?” Ujar si bungsu.
“Nama yang bagus.” Ujar ikan mas.
“Kau bias dating kesini kapanpun kau mau, jika kau ingin bertemu denganku sebut namaku tiga kali dan memercikkan air, maka aku akan dating.” Ujar ikan mas
“Baiklah ikan mas, ahh, hari sudah sore, aku harus pulang, jika aku terlambat maka aku akan dimarahi kakak-kakakku, sampai jumpa ikan mas.” Ujar si bungsu
Dengan lari terburu-buru si bungsu mendengar teriakan minta tolong, kemudian si bungsu menghampiri suara itu. Ia melihat seorang pemuda yang terluka, lalu ia menghampirinya
“Tolong aku, aku terkena batang pohon.” Ujar pemuda itu.
“ Baiklah, tunggu sebentar aku carikan tumbuhan obat untuk meringankan rasa sakitmu.” Ujar si bungsu.
Lalu si bungsu membalurkan tanaman obat ke kaki si pemuda itu.
“Akhh…sakit.” Ujar pemuda itu
“Nah, berarti obatnya bereaksi, tidak apa-apa ini tidak akan lama.” Ujar si bungsu
“Terimakasih, siapa namamu?” ujar pemuda itu.
“Namaku Rarang.” Ujar si bungsu
“Namaku Raden, terimakasih atas bantuanmu, aku tidak tahu jika tidak ada kamu.” Ujar raden.
“Raden, kau tidak apa-apa?.” Ujar teman raden
“Lama sekali kau, untung saja ada rarang yang menolongku.” Ujar Raden
“Maafkan aku, ayo kita pulang, kita obati di rumah saja.” Ujar teman raden
“Terimakasih rarang, kami pulag dulu.” Ujar teman raden
“Iya sama-sama.” Ujar si bungsu.
“Sial, hari sudah sore, aku harus buru-buru pulang, jika tidak kakak-kakakku akan memarahiku.” Ujar si bungsu
Setelah tiba di rumah.
“Assalamu’alaikum.” Ujar si bungsu
“Dari mana saja kau, jam segini baru pulang, kita kelaparan di rumah tidak ada makanan.” Ujar kakak sulung
“Iya, cepat buatkan kami makanan, kami lapar.” Ujar kakak kedua.
“Baik kak.” Ujar si bungsu
Si bungsu bergegas ke dapur untuk mempersiapkan makanan untuk kakak-kakaknya. Si bungs uterus memikirkan pemuda itu, sampai-sampai dia salah memasukkan gula ke dalam masakannya itu.
“Bungsu, mana makananku.” Ujar kakak sulung
“Cepatlah bungsu.” Ujar kakak kedua
“Iya kakak, ini.” Ujar si bungsu
“Mblehhhhh…apaan nih masa teur ceplok manis banget, kau sengaja kan ingin menjailiku.” Ujar kakak kedua
“Iyah nih, manis banget, kamu bias masak tidak?” ujar si sulung
“Maafkan aku kak, aku tidak sengaja memasukkan gula ke dalam telur ceplok.” Ujar si bungsu.
“Alah alasan saja.” Ujar si sulung
Si bungsu pergi ke kamar, dan menangis sambil melihat foto kedua orangtuanya.
“Bapak ibu, bungsu kesepian, bungsu kesal kepada kakak-kakak bungsu, mengapa mereka seperti itu kepada bungsu, padahal bungsu selalu mau membantu mereka, bungsu rindu bapak dan ibu.” Ujar si bungsu.
Keesokan harinya dengan gembira si bungsu seperti biasa mencuci pakaian di sungai. Ikan ma situ selalu membantu mencuci pakaian si bungsu. Dengan di bantu oleh ikan ma situ, waktu mencuci baju sangat singkat. Setiap si bungsu datang si leungli selalu memberinya sebungkus nasi. Karena Si leungli tahu jika si bungsu jarang makan.
Kakak-kakaknya kaget melihat si bungsu pulang lebih awal.
“Heh bungsu cucian kami sudah kau cuci bersih semua?” ujar kakak sulung
“Sudah saya cucikan semua, saya ingin istirahat kak.”ujar si bungsu
“Kakak curiga tidak kepada si bungsu? Belakangan ini dia jarang menangis dan pulang lebih awal.” Ujar kakak kedua
“Iya dik, kakak curiga sama dia, besok kita ikuti dia.” Ujar s sulung.
“Oke sip.” Ujar kakak kedua
Keesokan harinya mereka mengikuti si bungsu mencuci di sungai. Ternyata dia di bantu oleh ikan mas yang berwarna keemasan. Mereka kaget dan merencanakan sesuatu. Setelah si bungsu pulang ke rumah, kakak-kakaknya pergi ke sungai untuk menangkap ikan ma situ untuk di jadikan makan malam mereka.
Sore harinya, sepulangnya Rarang dari menumbuk pasi, ia terkejut melihat kakak-kakaknya menyiapkan makan malam.
“Wah, ada acara apa ini , Kak? Mengapa Kakak memasak segini banyak?” tanya Rarang.
“Sudahlah, tidak usah banyak tanya. Cepat kita makan pepes ikan ini. Mumpung masih hangat. Perutku lapar sekali,” ujar kakak sulung.
Rarang merasa senang karena kakak-kakaknya mulai memperhatikan dirinya. Ia pun makan dengan lahap.
Kedua kakak Rarang saling lirik penuh kemenangan.
“Ikan mas ini kuambil dari danau di dalam hutan sana, Dik Rarang. Masih segar, jadi rasanya lezat,” ujar kakak kedua.
Rarang terkejut bukan kepalang. Ia sampai tersedak. Ia langsung beranjak dan lari ke dalam hutan. Di tepi danau, Rarang menangis tersedu.
“Lengli... Leungli... Maafkan sahabatmu yang tak berguna ini. Maafkan aku,” isak Rarang. Akan tetapi, tak ada lagi keajaiban yang muncul dari dalam danau. Rarang pun pulang dengan langkah gontai.
Sesampainya di rumah, Ia mengambil sisa tulang-belulang Si Leungli yang telah dibuang di bak sampah. Dengan berurai air mata, Ia pun mengubur Leungli di halaman rumahnya.
Tak disangka, keesokan harinya, di tempat Rarang mengubur Leungli, tumbuhlah sebatang pohon yang daunnya berkilau karena mengandung emas. Ternyata Leungli tidak sepenuhnya meninggalkan Rarang. Ia tetap ada untuk rarang. Karena pohon itu, rumah Rarang menjadi sering dikunjungi orang dari berbagai penjuru karena menganggap pohon itu sakti. Anehnya, tak ada satu pun orang yang dapat memetik daun atau buah dari pohon emas itu, melainkan Rarang. Kabar mengenai pohon emas ajaib itu sampai ke keraton.
“Pangeran di desa dadapan ada pohon, yang jika di petik daunnya atau buahnya akan menjadi emas.” Ujar pengawal
“Benarkah itu?” ujar pangeran
“Benar pangeran, saya mendapatkan informas itu dari sumber yang terpercaya, konon tak ada satu pun orang yang dapat memetik daun atau buah dari pohon emas itu, yang berubah menjadi emas melainkan pemiliknya, pangeran.” Ujar pengawal
Setelah mendengar kisah Leungli sesungguhnya dan terkagum-kagum akan keluhuran budi, kebaikan, dan kecantikan pemilik pohon ajaib itu.
“Ajaib sekali pohon itu.” Ujar pangeran
“Apakah pangeran ingin melihatnya secara langsung?” ujar pengawal
“Iya, besok kau persiapkan, aku akan ke sana.” Ujar pangeran
“Baiklah pangeran, saya permisi keluar.” Ujar pengawal
“Ya.” Ujar pangeran
Setelah mendengar kisah Leungli sesungguhnya dan terkagum-kagum akan keluhuran budi, kebaikan, dan kecantikan pemilik pohon ajaib itu.
Keesokan harinya pangeran pun bergegas pergi ke rumah pemilik pohon ajaib itu. Ia terkejut melihat Rarang.
 “Kau,…” ujar raden
“Ha? Kau itu raden kan?orang yang pernah kutolong di hutan itu?” ujar si bungsu
“Iya, waahhh kebetulan sekali kita bertemu di sini.”
“Kau, pangeran?” ujar si bungsu
“Iya.” Ujar pangeran
“Maafkan aku pangeran, saya tidak tahu kalau anda adalah pangeran.” Ujar si bungsu
Mereka pun bertemu dan saling jatuh cinta. Akhirnya si putri bungsu diboyong ke keraton, dinikahi oleh pangeran, dan mereka pun hidup bahagia bersama selamanya.