Pada
masa kakandanya yaitu Orang Kayo Pingai memegang tampuk Kerajaan Jambi
(1480-1490) Orang Kayo Hitam sebagai putra ketiga dari empat bersaudara
putera
dari pasangan Putri Selaro Pinang Masak dan anak Raja Turki Akhmad Baus
II atau Akhmad Salim bergelar Datuk Padoko Berhalo, menentang abangnya
untuk
tidak mengirim upeti ke Mataram (Majapahit) berbentuk pekasam pacat dan
pekasan
kaluang. Sebagai vatsal (bawahan) Majapahit ada kewajiban Jambi
mengirim upeti setahun sekali. Kapal-kapal ,perahu
atau gerobak pengangkut upeti dihadang dan di larangnya untuk mengirim
upeti
pekasam pacat dan pekasan keluang adalah
haram, selain itu “Jambi adalah kerajaan, Mataram juga karajaan.
Keduanya sama,
Jambi juga berdaulat, kenapa kita harus tunduk” sergah Orang Kayo Hitam
di
hadapan balairung sari dalam kerapatan Kerajaan di Ujung Jabung Negeri
Lamo.
Argumen Orang Kayo Hitam dapat meyakinkan kerapatan dan terhentilah jambi
menjalankan kewajiban mengirim upeti. Reaksi mataram “Tumpas Orang Kayo Hitam
sebagai biang keladi pembangkangan!” perintah raja tak semudah itu, banyak
orang mengetahui dari tiga orang anak laki-laki Putri Selaro Pinang Masak,
seorang di antaranya terlalu gagah dan bahkan peramal kerajaan dari Pemalang
mengabarkan Orang Kayo Hitam hanya bisa terbunuh oleh sebilah keris yang
besinya berasal dari logam bernama awal “pa”
atau “p”, di sepuh oleh air sungai
yang “pa” atau “p” juga pangkal namanya. Penempahanya pun “setukulan setiap jumat
dan selesai 40 jumat.
Berita pembuatan keris pembunuh sampai ke jambi. Tanpa gentar Orang Kayo
Hitam berangkat seorang diri naik rakit kulim ke Mataram. Dengan berbagai
penyamaran sebagai pedagang sayuran di setiap jumat berkeliling di tempat Empu
pembuat keris yang terkenal. Akhirnya
Orang Kayo Hitam sampai ke tempat Empu pembuat keris yang tak mengetahui bahwa seorang yang
terlalu banyak tanya dan ingin melihat dan memegang keris yang sedang di
sepuhnya itu adalah Orang Kayo Hitam, orang yang akan pralaya dengan keris
sakti yang sedang di buatnya.
Hampir sama dengan Empu Gandring ,Empu pembuat keris terbunuh dalam
perebutan dengan Orang Kayo Hitam yang berlangsung ke tengah gelanggang karena
di kepung oleh tentara kerajaan penjaga kers yang belum sempurna di bawah
pimpinan Temenggung Brajakarti. Tetapi, mereka tak mampu menangkap Orang Kayo
Hitam apalagi untuk membunuhnya. Kemudian, Raja Mataram berdamai untuk tidak
meneruskan niat membunuh Orang Kayo Hitam.
Perjamuan penyambutan dilakukan. Orang Kayo Hitam di dandani seperti
layaknya pembesar Kerajaan Mataram. Pada pendandanan itulah di butuhkan tusuk
sanggul rambut di kepalanya. Keris yang belum sempurnalah kemudin di-gonjai-kan
ke sanggul Orang Kayo Hitam. Dari peng-gonjai-an itulah namakeris Siginjei
yang kelak ketika penobatan Orang Kayo Hitam di sisipkan di pinggang sebagai
penanda pucuk pemerintahan Jambi. Seterusnya oleh Orang Kayo Pingai sebagai
pemegang adat kerajaan mentakbirkan bahwa siapa pemegang keris Siginjei maka
dilah Raja Jambi sampai turun temurun ke anak cucu keturunan Orang Kayo Hitam.
Sebagai penjamuan Orang Kayo Hitam yang gagah perkasa dan sakti mandraguna
itupun diminta untuk memadamkan pemberontakan di Brebes, Pemalang, Panggungan,
Kedal, Jepara dan negeri Patah Demak. Rupanya kesaktian dan jiwa kependekaran
ibunya Putri Selaro Pinang Masak semakin matang menyatu dengan jiwa petualangan
ayahnya Datuk Paduko Berhalo Keturunan ke tujuh dari Raja Turki Sultan Saidina
Zainal Abidin bin Saidina Husin binti Fatimah Azzahrah binti Saidina Rosul,
membuat Orang Kayo Hitam tampil ke gelanggang memimpin penumpasan dengan
gemilang.
Semula Orang Kayo Hitam aka didudukkan sebagai wakil kerajaan di Pemalang,
tetapi di tolaknya karena ia lebih memilih di jambi, “Apalagi ayahanda sudah tua, entah kan hidup, entah kan mati, saya
sudah lama meninggalkan negeri” kilah Orang Kayo Hitam. Atas jasa-jasa Orang Kayo Hitam kelak di perkawinan Orang
Kayo Hitam dengan Putri Mayang Mangurai
putri Temenggung Merah Mato penguasa Air Hitam Pauh Raja Tembesi yang
meminta emas selesung besak, seruas buluh telang dan selengan baju
dan kepala tungau tungau segantang ulang-aling dengan 40 orang putri pengiring.
Ketika kembai ke Jambi, Orang Kayo
Hitam membawa istrinya Putri Ratu Mataram sedang anaknya Raden Jaya yang
kemudian bergelar Temenggung Mangku Negoro dan Ratu Pengembanan tinggal dengan
Sang Nenekda, penguasa Mataram yang juga membekali dengan enam kapal yang
berisi para pekerja, hamba sahaya, barang pusaka dan perbekalan makanan serta
harta benda lainnya. Kapal-kapal itu adalh Kapal Belah Semangka, Penyayap
Panjang, Penangi, Lancang, Pinis, dan Kapal Tub. Dalam perjalanan itulah
keris Siginjei disempurnakan sebagai
keris pusaka yang sudah bertahtakan mutu ratna manikam.
Keris Siginjei yan menjadi lambang keagungan dan pusaka kerajaan/kesultanan
dan di badikan sebagai saalah satu unsur simbol pada lambang Provinsi Jambi
(Perda Prov. Nomor 1 Tahun 1969). Sudah tentu memiliki keistimewaan tertentu
yang tidak dimiliki keris lain. Keistimewaan Keris Siginjei dideskripsikan oleh
Hamer sabagai berikut. Keris yang berbentuk sepertii ular pada lajur lingkar
hulu bertatahkan batu mulia, dan sarung kayunya di lapis bungkus emas. Batu
mulia yang ditatahkan pada hulu berjumlah enam belas butir diasah berselng-seling
cara intan dan berlian, dan menurut susunan Martapura (Kalimantan Selatan). Di
antara keemasan butir batu mulia, delapan di antaranya memiliki berat 2 karat
dengan harga f. 125,- sebuah (1904). Sedangkan delapan lainnya lebih kecil
dengan harga lebih kurang f. 20.-.
keenam belas batu tersebut di pasang emas batu asahan intan dalam bentuk
persegi dan asahan berlian dalam bentuk oval. Bilah yang panjangnya lebih
kurang 39 cm banyak di hiasi daun emas. Pada beberapa tempat hiasannya rusak dan
tidak lengkap lagi. Pada bagian lebar bilah nampak sebuah rongga yang
menggambarkan raksasa (buta). Di atas kepala buta di gambarkan awan-awan yang
aneh. Di sisinya nampak seekor kalajengking dengan ujung-ujung tombak dihiasi
emas. Kurang lebih 1 cm di atas buta terdapat dua singa bersayap. Singa
tersebut di gambarkan dari samping, seakan-akan sedang berkelahi dengan mulut
terbuka. Selajutnya, sisi depan dan belakang hingga 12 cm dari ujung bilah
diberi hiasan yang di ambil dari motif tanaman. Ornamennya yang bentuknya mirip
huruf S terbaring dengan relung
diatasnya berfungsi sebagai “batu besar” tumbuh tangkai-tangkai berdaun di sisi
depan dan belakang berselang-seling, bunga-bungaan, dan susunan buah-buahan.
Semua dikerjakan dengan rapi dan indah.
Kepala (endes) yang di sambung tempa dengan bilah yang sedikit keluar dari sarungnya juga
dihiasi dua singa bersayap. Seperti yang sudah di sebutkan di muka, sarung kayu
Siginjei dilapis bungkus emas, harga material sarung emas nya f. 150,- (1940).
Sarung tersebut diperkaya hiasan gambar-gambar Arab. Sisi depan dari atas sampai
bawah terisi hiasan, sedangkan bagian belakang polos, namun bagian atas dan
bawahnya diberi hiasan gaya Arab.
Kembali pada perjalanan hidup Orang Kayo Hitam. Setelah beberapa lama tiba
kembali di Jambi tak lama berselang Orang Kayo Hitam bermaksud menimba ilmu dan
tertarik pada helaian rambut terlilit puntung hanyut. Orang Kayo Hitam setelah
menelisik berbagai sumber berita tokoh-tokoh ternama maka ia pergi ke Air Hitam
Pauh menemui Temenggung Merah Mato. Di kediaman temenggung, ia di suguhi tapak
sirih yang berisi sirih pinang dari besi. Ujian itu tidak menjadi masalah
karena sajian sirih di kunyah seperti biasa. Selepas itu ujian ketangkasan dan
kesaktian berlangsung seru di halaman. Hampir tiga hari ujian berlangsung
dengan seimbang, tak ada yang kalah atau pun yang menang, sementara itu getaran
hati getaran hati Orang Kayo Hitam kepada anak dara Sang Temenggung semakin
menggelora untuk di sampaikan secara terbuka.
Tampaknya, tak bertepuk sebelah tangan gayung bersambut kato bejawab, semua
warisnya suka maka atas kesepakatan keluarga Temenggung Merah Mato mengizinkan
anaknya disunting Orang Kayo Hitam. Sebagai adat hendak diisi lembagonyo hendak
di tuang, sudah buruk dimemakai, sudah habis dimakan, sudah besesap berjerami
sudah bepadam bepekuburan, bertitian teras betanggo batu, jalan berambah yang
di turut, baju bejahit yang di pakai, sudah gayur pinang sudah seko kelapo
sederakah, maka sebagai adatnya Orang Kayo Hitam harus menyediakan emas selesung besak seruas buluh talang dan
selengan baju serta kepala tungau segantang ulang aling dengan 40 orang dara
putri untuk pengiring. Setelah meminta waktu untuk mempersiapkannya Orang
Kayo Hitam kembli keUjung Jabung danterus ke Mataram menagih janji yang dulu
terpatri.
Tak ada areal melintang tak ada janji yang tak di tepati, semua syarat
hantaran di bawa ke Air Hitam. Selajutnya berlangsunglah acara perpautan dua
insan nan antik rupawan dalam ikatan perkawinan. Selesai acara perkawinannya dengan
Putri Mayang Mengurai di Air Hitam Pauh. Konon tak kurang 7 hari 7 malam
keramaian berlangsung. Setelah itu rombongan Orang Kayo Hitam milir Batang
Tembesi dan Batang Hari mengikuti pesan ayah mertua mengiringi sepasang itik
besar (angso).
Kemudian, angso itu setelah beberapa kali milir turun ke darat di beberapa
tempat, kemudian di dekat Pulau Pandan naik ke darat, muput (mandi tanah) di
sana dan menghilang. Sesuai pesan Temenggung Merah Mato dan Nenek Indrijati di
situlah engkau membangun negeri di tempat tanah terpilih. Ketika menebas semak
belukar terkapak bedil besi, nebas ke dua terkapak gong besar. Kedua benda itu
menjadi barang pusaka karena setelah di
beritahukan hal itu kepada adik Temenggung Mereh Mato yaitu Temenggung Temantan
yang sibuk mencari kakandanya yang menghilang dan setelah
menghitung-hitung garis peruntungan,
maka diyakini bedil besi (meriam) adalah jelmaan Temenggung Merah Mato yang di
gelari “Sijimat” dab gong besar jelmaan isteri Temenggung dinamai “Gong
Sitimang”.
Sekembalinya dari Air Hitam, mengabarkan soal bedil dan gong, Orang Kayo
Hitam kembali ketempat bedil dan gong di temukan dan meneruskan pekerjaan
membuka lahan di tempat yang dipilih itik angso yang kemidian di sebut “Tanah
Pilih” yang kelak sebagai lokasi istana Raja Jambi. Setelah Istana Tanah Pilih
diruntuhkan oleh kolonial Belanda di masa Kesultanan Sultan Thaha Saifuddin di
jadikan tangsi militer Belanda dan kini menjadi kompleks Masjid Agung Al-Falah,
masjid agung yang dikenal sebagai masjid seribu tiang.
Dari Air Hitam, ikut serta dalam rombongan adik Putri Mayang Mengurai bernama Raden Kuning Megat Dialam dan bersama
rombongan lain mereka menetap di Tanah Pilih yang kemudian semakin ramai. Tak
lama kemudian, jiwa mudanya menggelora untuk pergi merantau ke daerah laut yang
menurut cerita para pelaut, ada banyak pulau disana. Kehendak Raden Kuning
Megat Dialam ini disetujui oleh Orang Kayo Pingai dan Orang Kayo Hitam.
Demi kemantapan keperginnya dilakukan sedekah doa selamat dan tolak balak
sekaligus pemberian gelar Orang Kayo Singodirajo kepada Raden Kuning Megat
Dialam. Orang Kayo Hitam menyerahkan Kapal Harimau Jantan miliknya untuk Orang
Kayo Singodirajo berlayar memenuhi hasrat mencari peruntungan di pulau-pulau
laut. Ketika melepas layar kapal, Orang Kayo Hitam berpesan “dimana juga tetapnya Adinda, maka segeralah
Adinda datang kepada Kakanda di Tanah Pilih”.
Pulau pertama yang didarati Orang Kayo Singodirajo bertemu dengan orang yang mengaku berasal dari Kuala Reteh Indragiri, bahkan adayang dari Palembang dan daerah lain berkumpul mencari penghidupan sepanjang pesisir pulau. Mereka semua menyebutnya dirinya sendiri sebagi (kelompok) bangsa Mentang dan Baruq. Tak jauh dari sana tampak Pualu Singkep dan sebuah lagi pulau yang memiliki puncak gunung yang bercabang tiga disebut Pulau Daik, dan ada sebuah pulau lainnya bernama Pulau Pandan. Pulau-pulau itu tidak bertunggu orang (tidak berpenghuni). Setelah bertimbang-timbang maka Orang Kayo Singodirajo bersepakat dengan bangsa Mentang dan Baruq untuk membuat negeri di Pulau Daik dan berupaya untuk meramaikannya. Itulah tekad kebersamaan mereka. Orang-orang di gugusan Pulau Bangka di ajaknya bersama meramaikan Daik. Di Pualu Daik terdapat sungi yang ditelusuri dari muara kearah uluan. Setibanya di suatu anak sungai mereka berhanti dan di anggap cocok llu di jadikan tempat pemukiman. Oleh Orang Kayo Singodirajo sungi itu dinamai Sungai Linggah, dan tempat perkampungannya disebut Kampung Linggah Daik. Dari hari kehari semakinramai dengan pendatang, mereka semuanya taat dan patuh sehingga atas kesepakatan seluruh penduduk Orang Kayo Singodirajo di angkat sebagai Raja Penguasa Pulau Lingga dan Singkep.
No comments:
Post a Comment