Saturday, 4 June 2016

Legenda Orang Kayo Hitam

Pada masa kakandanya yaitu Orang Kayo Pingai memegang tampuk Kerajaan Jambi (1480-1490) Orang Kayo Hitam sebagai putra ketiga dari empat bersaudara putera dari pasangan Putri Selaro Pinang Masak dan anak Raja Turki Akhmad Baus II  atau Akhmad Salim bergelar  Datuk Padoko Berhalo, menentang abangnya untuk tidak mengirim upeti ke Mataram (Majapahit) berbentuk pekasam pacat dan pekasan kaluang. Sebagai vatsal (bawahan) Majapahit ada kewajiban Jambi mengirim  upeti setahun sekali. Kapal-kapal ,perahu atau gerobak pengangkut upeti dihadang dan di larangnya untuk mengirim upeti pekasam pacat dan pekasan keluang  adalah haram, selain itu “Jambi adalah kerajaan, Mataram juga karajaan. Keduanya sama, Jambi juga berdaulat, kenapa kita harus tunduk” sergah Orang Kayo Hitam di hadapan balairung sari dalam kerapatan Kerajaan di Ujung Jabung Negeri Lamo.
Argumen Orang Kayo Hitam dapat meyakinkan kerapatan dan terhentilah jambi menjalankan kewajiban mengirim upeti. Reaksi mataram “Tumpas Orang Kayo Hitam sebagai biang keladi pembangkangan!” perintah raja tak semudah itu, banyak orang mengetahui dari tiga orang anak laki-laki Putri Selaro Pinang Masak, seorang di antaranya terlalu gagah dan bahkan peramal kerajaan dari Pemalang mengabarkan Orang Kayo Hitam hanya bisa terbunuh oleh sebilah keris yang besinya berasal dari logam bernama awal “pa” atau “p”, di sepuh oleh air sungai yang “pa” atau “p” juga pangkal namanya. Penempahanya pun “setukulan setiap jumat dan selesai 40 jumat.
Berita pembuatan keris pembunuh sampai ke jambi. Tanpa gentar Orang Kayo Hitam berangkat seorang diri naik rakit kulim ke Mataram. Dengan berbagai penyamaran sebagai pedagang sayuran di setiap jumat berkeliling di tempat Empu pembuat keris  yang terkenal. Akhirnya Orang Kayo Hitam sampai ke tempat Empu pembuat keris  yang tak mengetahui bahwa seorang yang terlalu banyak tanya dan ingin melihat dan memegang keris yang sedang di sepuhnya itu adalah Orang Kayo Hitam, orang yang akan pralaya dengan keris sakti yang sedang di buatnya.
Hampir sama dengan Empu Gandring ,Empu pembuat keris terbunuh dalam perebutan dengan Orang Kayo Hitam yang berlangsung ke tengah gelanggang karena di kepung oleh tentara kerajaan penjaga kers yang belum sempurna di bawah pimpinan Temenggung Brajakarti. Tetapi, mereka tak mampu menangkap Orang Kayo Hitam apalagi untuk membunuhnya. Kemudian, Raja Mataram berdamai untuk tidak meneruskan niat membunuh Orang Kayo Hitam.
Perjamuan penyambutan dilakukan. Orang Kayo Hitam di dandani seperti layaknya pembesar Kerajaan Mataram. Pada pendandanan itulah di butuhkan tusuk sanggul rambut di kepalanya. Keris yang belum sempurnalah kemudin di-gonjai-kan ke sanggul Orang Kayo Hitam. Dari peng-gonjai-an itulah namakeris Siginjei yang kelak ketika penobatan Orang Kayo Hitam di sisipkan di pinggang sebagai penanda pucuk pemerintahan Jambi. Seterusnya oleh Orang Kayo Pingai sebagai pemegang adat kerajaan mentakbirkan bahwa siapa pemegang keris Siginjei maka dilah Raja Jambi sampai turun temurun ke anak cucu keturunan Orang Kayo Hitam.
Sebagai penjamuan Orang Kayo Hitam yang gagah perkasa dan sakti mandraguna itupun diminta untuk memadamkan pemberontakan di Brebes, Pemalang, Panggungan, Kedal, Jepara dan negeri Patah Demak. Rupanya kesaktian dan jiwa kependekaran ibunya Putri Selaro Pinang Masak semakin matang menyatu dengan jiwa petualangan ayahnya Datuk Paduko Berhalo Keturunan ke tujuh dari Raja Turki Sultan Saidina Zainal Abidin bin Saidina Husin binti Fatimah Azzahrah binti Saidina Rosul, membuat Orang Kayo Hitam tampil ke gelanggang memimpin penumpasan dengan gemilang.
Semula Orang Kayo Hitam aka didudukkan sebagai wakil kerajaan di Pemalang, tetapi di tolaknya karena ia lebih memilih di jambi, “Apalagi ayahanda sudah tua, entah kan hidup, entah kan mati, saya sudah lama meninggalkan negeri” kilah Orang Kayo Hitam. Atas jasa-jasa  Orang Kayo Hitam kelak di perkawinan Orang Kayo Hitam dengan Putri Mayang Mangurai  putri Temenggung Merah Mato penguasa Air Hitam Pauh Raja Tembesi yang meminta emas selesung besak, seruas buluh telang dan selengan baju dan kepala tungau tungau segantang ulang-aling dengan 40 orang  putri pengiring.
Ketika kembai ke Jambi, Orang  Kayo Hitam membawa istrinya Putri Ratu Mataram sedang anaknya Raden Jaya yang kemudian bergelar Temenggung Mangku Negoro dan Ratu Pengembanan tinggal dengan Sang Nenekda, penguasa Mataram yang juga membekali dengan enam kapal yang berisi para pekerja, hamba sahaya, barang pusaka dan perbekalan makanan serta harta benda lainnya. Kapal-kapal itu adalh Kapal Belah Semangka, Penyayap Panjang, Penangi, Lancang, Pinis, dan Kapal Tub. Dalam perjalanan itulah keris  Siginjei disempurnakan sebagai keris pusaka yang sudah bertahtakan mutu ratna manikam.
Keris Siginjei yan menjadi lambang keagungan dan pusaka kerajaan/kesultanan dan di badikan sebagai saalah satu unsur simbol pada lambang Provinsi Jambi (Perda Prov. Nomor 1 Tahun 1969). Sudah tentu memiliki keistimewaan tertentu yang tidak dimiliki keris lain. Keistimewaan Keris Siginjei dideskripsikan oleh Hamer sabagai berikut. Keris yang berbentuk sepertii ular pada lajur lingkar hulu bertatahkan batu mulia, dan sarung kayunya di lapis bungkus emas. Batu mulia yang ditatahkan pada hulu berjumlah enam belas butir diasah berselng-seling cara intan dan berlian, dan menurut susunan Martapura (Kalimantan Selatan). Di antara keemasan butir batu mulia, delapan di antaranya memiliki berat 2 karat dengan harga f. 125,- sebuah (1904). Sedangkan delapan lainnya lebih kecil dengan harga lebih kurang  f. 20.-. keenam belas batu tersebut di pasang emas batu asahan intan dalam bentuk persegi dan asahan berlian dalam bentuk oval. Bilah yang panjangnya lebih kurang 39 cm banyak di hiasi daun emas. Pada beberapa tempat hiasannya rusak dan tidak lengkap lagi. Pada bagian lebar bilah nampak sebuah rongga yang menggambarkan raksasa (buta). Di atas kepala buta di gambarkan awan-awan yang aneh. Di sisinya nampak seekor kalajengking dengan ujung-ujung tombak dihiasi emas. Kurang lebih 1 cm di atas buta terdapat dua singa bersayap. Singa tersebut di gambarkan dari samping, seakan-akan sedang berkelahi dengan mulut terbuka. Selajutnya, sisi depan dan belakang hingga 12 cm dari ujung bilah diberi hiasan yang di ambil dari motif tanaman. Ornamennya yang bentuknya mirip huruf S terbaring  dengan relung diatasnya berfungsi sebagai “batu besar” tumbuh tangkai-tangkai berdaun di sisi depan dan belakang berselang-seling, bunga-bungaan, dan susunan buah-buahan. Semua  dikerjakan dengan rapi dan indah. Kepala (endes) yang di sambung tempa dengan bilah  yang sedikit keluar dari sarungnya juga dihiasi dua singa bersayap. Seperti yang sudah di sebutkan di muka, sarung kayu Siginjei dilapis bungkus emas, harga material sarung emas nya f. 150,- (1940). Sarung tersebut diperkaya hiasan gambar-gambar Arab. Sisi depan dari atas sampai bawah terisi hiasan, sedangkan bagian belakang polos, namun bagian atas dan bawahnya diberi hiasan gaya Arab.
Kembali pada perjalanan hidup Orang Kayo Hitam. Setelah beberapa lama tiba kembali di Jambi tak lama berselang Orang Kayo Hitam bermaksud menimba ilmu dan tertarik pada helaian rambut terlilit puntung hanyut. Orang Kayo Hitam setelah menelisik berbagai sumber berita tokoh-tokoh ternama maka ia pergi ke Air Hitam Pauh menemui Temenggung Merah Mato. Di kediaman temenggung, ia di suguhi tapak sirih yang berisi sirih pinang dari besi. Ujian itu tidak menjadi masalah karena sajian sirih di kunyah seperti biasa. Selepas itu ujian ketangkasan dan kesaktian berlangsung seru di halaman. Hampir tiga hari ujian berlangsung dengan seimbang, tak ada yang kalah atau pun yang menang, sementara itu getaran hati getaran hati Orang Kayo Hitam kepada anak dara Sang Temenggung semakin menggelora untuk di sampaikan secara terbuka.
Tampaknya, tak bertepuk sebelah tangan gayung bersambut kato bejawab, semua warisnya suka maka atas kesepakatan keluarga Temenggung Merah Mato mengizinkan anaknya disunting Orang Kayo Hitam. Sebagai adat hendak diisi lembagonyo hendak di tuang, sudah buruk dimemakai, sudah habis dimakan, sudah besesap berjerami sudah bepadam bepekuburan, bertitian teras betanggo batu, jalan berambah yang di turut, baju bejahit yang di pakai, sudah gayur pinang sudah seko kelapo sederakah, maka sebagai adatnya Orang Kayo Hitam harus menyediakan emas selesung besak seruas buluh talang dan selengan baju serta kepala tungau segantang ulang aling dengan 40 orang dara putri untuk pengiring. Setelah meminta waktu untuk mempersiapkannya Orang Kayo Hitam kembli keUjung Jabung danterus ke Mataram menagih janji yang dulu terpatri.
Tak ada areal melintang tak ada janji yang tak di tepati, semua syarat hantaran di bawa ke Air Hitam. Selajutnya berlangsunglah acara perpautan dua insan nan antik rupawan dalam ikatan perkawinan. Selesai acara perkawinannya dengan Putri Mayang Mengurai di Air Hitam Pauh. Konon tak kurang 7 hari 7 malam keramaian berlangsung. Setelah itu rombongan Orang Kayo Hitam milir Batang Tembesi dan Batang Hari mengikuti pesan ayah mertua mengiringi sepasang itik besar (angso).
Kemudian, angso itu setelah beberapa kali milir turun ke darat di beberapa tempat, kemudian di dekat Pulau Pandan naik ke darat, muput (mandi tanah) di sana dan menghilang. Sesuai pesan Temenggung Merah Mato dan Nenek Indrijati di situlah engkau membangun negeri di tempat tanah terpilih. Ketika menebas semak belukar terkapak bedil besi, nebas ke dua terkapak gong besar. Kedua benda itu menjadi barang pusaka karena setelah  di beritahukan hal itu kepada adik Temenggung Mereh Mato yaitu Temenggung Temantan yang sibuk mencari kakandanya yang menghilang dan setelah menghitung-hitung  garis peruntungan, maka diyakini bedil besi (meriam) adalah jelmaan Temenggung Merah Mato yang di gelari “Sijimat” dab gong besar jelmaan isteri Temenggung dinamai “Gong Sitimang”.
Sekembalinya dari Air Hitam, mengabarkan soal bedil dan gong, Orang Kayo Hitam kembali ketempat bedil dan gong di temukan dan meneruskan pekerjaan membuka lahan di tempat yang dipilih itik angso yang kemidian di sebut “Tanah Pilih” yang kelak sebagai lokasi istana Raja Jambi. Setelah Istana Tanah Pilih diruntuhkan oleh kolonial Belanda di masa Kesultanan Sultan Thaha Saifuddin di jadikan tangsi militer Belanda dan kini menjadi kompleks Masjid Agung Al-Falah, masjid agung yang dikenal sebagai masjid seribu tiang.
Dari Air Hitam, ikut serta dalam rombongan adik Putri Mayang Mengurai  bernama Raden Kuning Megat Dialam dan bersama rombongan lain mereka menetap di Tanah Pilih yang kemudian semakin ramai. Tak lama kemudian, jiwa mudanya menggelora untuk pergi merantau ke daerah laut yang menurut cerita para pelaut, ada banyak pulau disana. Kehendak Raden Kuning Megat Dialam ini disetujui oleh Orang Kayo Pingai dan Orang Kayo Hitam.
Demi kemantapan keperginnya dilakukan sedekah doa selamat dan tolak balak sekaligus pemberian gelar Orang Kayo Singodirajo kepada Raden Kuning Megat Dialam. Orang Kayo Hitam menyerahkan Kapal Harimau Jantan miliknya untuk Orang Kayo Singodirajo berlayar memenuhi hasrat mencari peruntungan di pulau-pulau laut. Ketika melepas layar kapal, Orang Kayo Hitam berpesan “dimana juga tetapnya Adinda, maka segeralah Adinda datang kepada Kakanda di Tanah Pilih”.

Pulau pertama yang didarati Orang Kayo Singodirajo bertemu dengan orang yang mengaku berasal dari Kuala Reteh Indragiri, bahkan adayang dari Palembang dan daerah lain berkumpul mencari penghidupan sepanjang pesisir pulau. Mereka semua menyebutnya dirinya sendiri sebagi (kelompok) bangsa Mentang dan Baruq. Tak jauh dari sana tampak Pualu Singkep dan sebuah lagi pulau yang memiliki puncak gunung yang bercabang tiga disebut Pulau Daik, dan ada sebuah pulau lainnya bernama Pulau Pandan. Pulau-pulau itu tidak bertunggu orang (tidak berpenghuni). Setelah bertimbang-timbang maka Orang Kayo Singodirajo bersepakat dengan bangsa Mentang dan Baruq untuk membuat negeri di Pulau Daik dan berupaya untuk meramaikannya. Itulah tekad kebersamaan mereka. Orang-orang di gugusan Pulau Bangka di ajaknya bersama meramaikan Daik. Di Pualu Daik terdapat sungi yang ditelusuri dari muara kearah uluan. Setibanya di suatu anak sungai mereka berhanti dan di anggap cocok  llu di jadikan tempat pemukiman. Oleh Orang Kayo Singodirajo sungi itu dinamai Sungai Linggah, dan tempat perkampungannya disebut Kampung Linggah Daik. Dari hari kehari semakinramai dengan pendatang, mereka semuanya taat dan patuh sehingga atas kesepakatan seluruh penduduk  Orang Kayo Singodirajo di angkat sebagai Raja Penguasa Pulau Lingga dan Singkep.

No comments:

Post a Comment