Alkisah, tersebutlah sebuah negeri makmur, aman, dan damai. Di negeri
ini tidak pernah terdengar perselisihan di antara penduduknya. Mereka,
baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai hak yang sama, kecuali sebuah
larangan bagi seorang laki-laki mencuci pantat anaknya yang baru
selesai buang air besar. Larangan atau tabu mencuci pantat anak ini
diyakini benar oleh warga masyarakat karena konon dapat mendatangkan
malapetaka bagi yang melanggarnya.
Suatu hari, terdengarlah berita bahwa negeri tetangga akan mengadakan
sebuah perhelatan besar. Sudah barang tentu berita ini disambut gembira
oleh semua orang, tidak terkecuali sebuah keluarga di negeri yang
mempunyai tabu “aneh” itu. Sang Isteri dalam keluarga itu merengek pada
suaminya agar diizinkan menonton keramaian. Alasannya, sejak kawin
hingga anaknya tidak menyusu lagi belum pernah mendapat kesempatan
menonton keramaian.
“Bolehkah saya menonton keramaian di negeri tetangga?” tanya Sang Isteri.
“Kalau nanti anak kita buang air besar bagaimana?” tanya Sang Suami.
“Saya tidak akan menginap. Tunggu saya datang saja baru dibersihkan,” kata isterinya lagi.
“Baiklah kalau engkau tetap bersikeras hendak menonton,” kata suaminya mengalah.
Perkiraan Sang Isteri ternyata salah karena untuk dapat mencapai lokasi
keramaian di negeri tetangga dibutuhkan lebih dari satu hari perjalanan.
Dan, ketika sampai di sana dia pun lupa pada anak dan suaminya hingga
tidak terasa telah tiga hari waktu berlalu.
Sementara di rumah, Sang suami sudah mulai tidak tahan mencium bau yang
sangat busuk. Bau itu keluar pantat anaknya yang telah tiga kali buang
kotoran. Oleh karena sudah tidak kuat lagi, dia lalu membawa anaknya ke
kamar mandi untuk dibersihkan. Dia tidak menyadari kalau hal itu
merupakan sebuah tabu yang dapat mendatangkan malapetaka berupa kutukan.
Malam harinya, kutukan itu pun datang. Sekujur tubuh Sang suami secara
perlahan mulai bersisik, tangan dan kakinya mengerut dan akhirnya
menjadi seekor naga yang berkepala manusia. Barulah dia sadar kalau
telah melanggar tabu, tetapi apa hendak dikata, nasi pun telah menjadi
bubur.
Beberapa hari setelahnya, Sang isteri pulang bersama teman-teman
sekampungnya. Sesampainya di rumah, dia terkejut dan langsung menjerit
melihat tubuh suaminya yang telah beralih wujud menjadi seekor naga.
Agar isterinya tidak sedih bercampur malu, Sang Suami berkata, “Wahau
Isteriku, janganlah engkau bersedih. Ini semua akibat perbuatanku yang
secara tidak sengaja membasuh pantat anak kita. Aku sudah tidak tahan
mencium bau busuk dari kotoran yang dikeluarkan anak kita”.
“Lalu aku harus berbuat bagaimana,” tanya Sang isteri kebingungan.
“Sekarang belilah sebuah tempayan besar di pasar. Kemudian, masukkanlah
aku dalam tempayan itu dan taruh di tepi sungai,” kata Sang suami.
Dengan perasaan sedih bercampur penyesalan, Sang isteri pun menuruti
perintah suaminya. Dan, sejak saat itu setiap hari dia selalu pergi ke
tepi sungai untuk mengantarkan makanan bagi suaminya. Hal itu
dilakukannya selama bertahun-tahun hingga suatu hari terjadilah
peperangan dengan negeri tetangga. Seluruh penjuru negeri menjadi
porak-poranda hingga mengakibatkan banyak orang kehilangan nyawanya.
Sementara yang masih hidup berusaha mengungsi untuk menyelamatkan diri
masing-masing. Ada yang bersembunyi di dalam hutan, ada yang bersembunyi
di puncak gunung, dan ada pula yang memanfaatkan sungai untuk pindah ke
tempat lain menggunakan perahu. Diantara para pengungsi yang
menggunakan perahu tersebut adalah isteri Sang Naga.
Sang isteri bersama puluhan orang lainnya berlayar selama berhari-hari
mencari daerah yang dianggap aman. Rombongan pengungsi itu tidak sadar
kalau ada sebuah tempayan besar berisi seekor ular naga yang selalu
mengikuti hingga mereka berhenti di suatu tempat dekat muara Sungai
Lekong, Sumbawa bagian barat.
Malam harinya ketika sebagian pengungsi sudah terlelap dalam gubuk-gubuk
sederhana yang masih bersifat sementara, tiba-tiba Sang pemilik perahu
merasa perutnya mulas dan ingin buang air besar. Dengan tergopoh-gopoh,
dia berjalan menuju perahunya untuk buang air di tepi muara sungai.
Tetapi sebelum sempat melaksanakan hajatnya, dia terkejut karena melihat
sebuah tempayan besar yang menghalangi aliran air sungai.
Sang pemilik perahu menjadi lebih terkejut lagi ketika mendengar sebuah
suara dari dalam tempayan, “Aku harus pindah ke tebing di bukit itu.
Tubuhku sudah tidak muat lagi dalam tempayan ini.”
Belum sempat hilang dari rasa keterkejutannya, tiba-tiba Sang pemilik
perahu melihat tempayan itu terbang dan menempel pada tebing di dekat
para pengungsi mendirikan gubuk. Ketika telah menempel di tebing,
berangsur-angsur tempayan tersebut berubah menjadi sebuah batu besar.
Pagi harinya, ketika seluruh pengungsi sudah bangun dari tidurnya, Sang
Juragan Perahu langsung menceritakan pengalamannya yang luar biasa itu.
Penasaran akan cerita Sang Juragan Perahu, para pengungsi pun lantas
beramai-ramai naik ke bukit. Setelah sampai di atas bukit, sebagian
diantaranya berdiri di atas batu besar itu. Dari atas batu ternyata
mereka dapat melihat alam semesta yang terbentang indah, terutama
daratan yang berada di bawahnya. Oleh karena takjub, batu tersebut
kemudian mereka beri nama Batu Nong yang dalam bahasa Indonesia dapat
diartikan sebagai “batu tempat melihat ke bawah dari atas”.