Saturday 4 June 2016

Legenda Batu Nong

Alkisah, tersebutlah sebuah negeri makmur, aman, dan damai. Di negeri ini tidak pernah terdengar perselisihan di antara penduduknya. Mereka, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai hak yang sama, kecuali sebuah larangan bagi seorang laki-laki mencuci pantat anaknya yang baru selesai buang air besar. Larangan atau tabu mencuci pantat anak ini diyakini benar oleh warga masyarakat karena konon dapat mendatangkan malapetaka bagi yang melanggarnya.
Suatu hari, terdengarlah berita bahwa negeri tetangga akan mengadakan sebuah perhelatan besar. Sudah barang tentu berita ini disambut gembira oleh semua orang, tidak terkecuali sebuah keluarga di negeri yang mempunyai tabu “aneh” itu. Sang Isteri dalam keluarga itu merengek pada suaminya agar diizinkan menonton keramaian. Alasannya, sejak kawin hingga anaknya tidak menyusu lagi belum pernah mendapat kesempatan menonton keramaian.
“Bolehkah saya menonton keramaian di negeri tetangga?” tanya Sang Isteri.
“Kalau nanti anak kita buang air besar bagaimana?” tanya Sang Suami.
“Saya tidak akan menginap. Tunggu saya datang saja baru dibersihkan,” kata isterinya lagi.
“Baiklah kalau engkau tetap bersikeras hendak menonton,” kata suaminya mengalah.
Perkiraan Sang Isteri ternyata salah karena untuk dapat mencapai lokasi keramaian di negeri tetangga dibutuhkan lebih dari satu hari perjalanan. Dan, ketika sampai di sana dia pun lupa pada anak dan suaminya hingga tidak terasa telah tiga hari waktu berlalu.
Sementara di rumah, Sang suami sudah mulai tidak tahan mencium bau yang sangat busuk. Bau itu keluar pantat anaknya yang telah tiga kali buang kotoran. Oleh karena sudah tidak kuat lagi, dia lalu membawa anaknya ke kamar mandi untuk dibersihkan. Dia tidak menyadari kalau hal itu merupakan sebuah tabu yang dapat mendatangkan malapetaka berupa kutukan.
Malam harinya, kutukan itu pun datang. Sekujur tubuh Sang suami secara perlahan mulai bersisik, tangan dan kakinya mengerut dan akhirnya menjadi seekor naga yang berkepala manusia. Barulah dia sadar kalau telah melanggar tabu, tetapi apa hendak dikata, nasi pun telah menjadi bubur.
Beberapa hari setelahnya, Sang isteri pulang bersama teman-teman sekampungnya. Sesampainya di rumah, dia terkejut dan langsung menjerit melihat tubuh suaminya yang telah beralih wujud menjadi seekor naga.
Agar isterinya tidak sedih bercampur malu, Sang Suami berkata, “Wahau Isteriku, janganlah engkau bersedih. Ini semua akibat perbuatanku yang secara tidak sengaja membasuh pantat anak kita. Aku sudah tidak tahan mencium bau busuk dari kotoran yang dikeluarkan anak kita”.
“Lalu aku harus berbuat bagaimana,” tanya Sang isteri kebingungan.
“Sekarang belilah sebuah tempayan besar di pasar. Kemudian, masukkanlah aku dalam tempayan itu dan taruh di tepi sungai,” kata Sang suami.
Dengan perasaan sedih bercampur penyesalan, Sang isteri pun menuruti perintah suaminya. Dan, sejak saat itu setiap hari dia selalu pergi ke tepi sungai untuk mengantarkan makanan bagi suaminya. Hal itu dilakukannya selama bertahun-tahun hingga suatu hari terjadilah peperangan dengan negeri tetangga. Seluruh penjuru negeri menjadi porak-poranda hingga mengakibatkan banyak orang kehilangan nyawanya.
Sementara yang masih hidup berusaha mengungsi untuk menyelamatkan diri masing-masing. Ada yang bersembunyi di dalam hutan, ada yang bersembunyi di puncak gunung, dan ada pula yang memanfaatkan sungai untuk pindah ke tempat lain menggunakan perahu. Diantara para pengungsi yang menggunakan perahu tersebut adalah isteri Sang Naga.
Sang isteri bersama puluhan orang lainnya berlayar selama berhari-hari mencari daerah yang dianggap aman. Rombongan pengungsi itu tidak sadar kalau ada sebuah tempayan besar berisi seekor ular naga yang selalu mengikuti hingga mereka berhenti di suatu tempat dekat muara Sungai Lekong, Sumbawa bagian barat.
Malam harinya ketika sebagian pengungsi sudah terlelap dalam gubuk-gubuk sederhana yang masih bersifat sementara, tiba-tiba Sang pemilik perahu merasa perutnya mulas dan ingin buang air besar. Dengan tergopoh-gopoh, dia berjalan menuju perahunya untuk buang air di tepi muara sungai. Tetapi sebelum sempat melaksanakan hajatnya, dia terkejut karena melihat sebuah tempayan besar yang menghalangi aliran air sungai.
Sang pemilik perahu menjadi lebih terkejut lagi ketika mendengar sebuah suara dari dalam tempayan, “Aku harus pindah ke tebing di bukit itu. Tubuhku sudah tidak muat lagi dalam tempayan ini.”
Belum sempat hilang dari rasa keterkejutannya, tiba-tiba Sang pemilik perahu melihat tempayan itu terbang dan menempel pada tebing di dekat para pengungsi mendirikan gubuk. Ketika telah menempel di tebing, berangsur-angsur tempayan tersebut berubah menjadi sebuah batu besar.
Pagi harinya, ketika seluruh pengungsi sudah bangun dari tidurnya, Sang Juragan Perahu langsung menceritakan pengalamannya yang luar biasa itu. Penasaran akan cerita Sang Juragan Perahu, para pengungsi pun lantas beramai-ramai naik ke bukit. Setelah sampai di atas bukit, sebagian diantaranya berdiri di atas batu besar itu. Dari atas batu ternyata mereka dapat melihat alam semesta yang terbentang indah, terutama daratan yang berada di bawahnya. Oleh karena takjub, batu tersebut kemudian mereka beri nama Batu Nong yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai “batu tempat melihat ke bawah dari atas”.

Kaba Anggun Nan Tonga

Di Jorong Kampung Dalam, Pariaman, pernah hidup seorang pemuda bernama Anggun Nan Tongga, yang juga dipanggil Magek Jabang dan bergelar Magek Durahman. Ibunya, Ganto Sani, meninggal tidak lama setelah melahirkannya. Sementara, ayahnya pergi tak tentu rimbanya, pamitnya pergi ke Gunung Ledang. Maka, Suto Suri-lah yang mengasuh Nan Tongga sejak bayi. Nan Tongga memiliki kekasih bernama Gondan Gondoriah. Keduanya, seperti adat istiadat zaman dulu, telah dijodohkan sedari kecil. Sebagai seorang pemuda Anggun Nan Tongga tumbuh dengan banyak keahlian. Ia mahir berkuda, bisa pencak silat, pandai mengaji serta dalam ilmu agamanya. Untuk ukuran pada zamannya, Nan Tongga sungguhlah komplit sebagai seorang laki-laki.

Itulah mengapa, ketika Nangkodoh Baha yang berasal dari Sungai Garinggiang mengadakan sayembara untuk mencari suami adiknya, Intan Korong. Nan Tongga meminta izin sekaligus restu kepada Suto Suri untuk ikut sebagai peserta. Pada awalnya Suto Suri tidak setuju. Hal ini karena Nan Tongga sudah bertunangan dengan Gondan Gondoriah. Tapi, desakan dari pemuda itu membuat Suto Suri mengalah dan mengizinkannya.

Berbekal keahliannya, Nan Tongga mengalahkan Nangkodoh Baha dalam setiap permainan: catur, memanah, hingga menyabung ayam. Kekalahan tersebut tentu membuat Nangkodoh Baha malu. Lantaran itu, ia mengatakan kepada Nan Tongga, "Jika kamu memang hebat, mengapa kamu membiarkan tiga pamanmu ditawan bajak laut di Pulau Binuang Sati?"

Nan Tongga terkejut mendengar hal ini. Dulu sekali, ketiga pamannya, yaitu Mangkudun Sati, Nangkodoh Rajo, dan Katik Intan, itu pamit pergi merantau, ternyata alasan mereka tidak pulang-pulang adalah karena ditawan bajak laut. Perkataan Nangkodoh Baha seolah menantang nyali Nan Tongga. Ia pun berkata, "Tunggu saja, akan kuselamatkan tiga pamanku itu, Baha!"

Ia minta izin pada Suto Suri dan Gondan Gondoriah. Keduanya memberi restu kepada Nan Tongga. Tapi, Gondan Gondoriah meminta buah tangan kepada Nan Tongga. "Nan Tongga, bawakan aku benda-benda serta hewan-hewan langka nan ajaib sebanyak 120 ya." Beberapa di antara dari 120 permintaan Gondan Gondoriah adalah burung nuri yang bisa bicara, beruk yang pandai bermain kecapi, kain cindai yang tidak basah oleh air, berjambul suto kuning, dikembang selebar alam, dilipat sebesar kuku, disimpan dalam telur burung’.

Berangkatlah Nan Tongga ke Pulau Binuang Sati menumpang kapal Dandang Panjang milik Malin Cik Mas. Setelah berbagai pelabuhan dilabuhi, akhirnya Nan Tongga sampai ke Pulau Binuang Sati, di mana dihuni para perompak yang pimpinan Palimo Bajau. Sesampainya di sana, Nan Tongga dihadang utusan Palimo Bajau, yang kemudian berhasil dikalahkannya. Pecahlah sebuah perang antara Nan Tongga dengan para bajak laut. Dalam perang itu, Nan Tongga membunuh Palimo Bajau, dan para perompak kocar-kacir membubarkan diri.

Kemudian, Nan Tongga menemukan pamannya, Nangkodoh Rajo, yang dikurung di dalam kandang babi. Nangkodoh Rajo menceritakan bahwa kedua pamannya yang lain, yaitu Katik Intan dan Makhudum Sati berhasil melarikan diri saat pecah perang. Ia juga mengatakan bahwa apa yang diminta oleh Gondan Gondoriah ada di Kuala Koto Tanau.

Kemudian, Nan Tongga menyuruh Malin Cik Mas pulang ke Pariaman menggunakan kapal rampasan dari Binuang Sati. Karena kapal Dandang Panjang dipakai Nan Tongga. Nan Tongga berpesan kepada Malin Cik Mas bahwa Nangkodoh Rajo sudah dibebaskan dan dirinya selamat dan sedang berlayar bersama Dandang Panjang ke Kota Tanau. Sayangnya, Malin Cik Mas berkhianat. Ketika melihat kecantikan Gondan Gondoriah, ia mengatakan hal yang sebaliknya bahwa Nan Tongga sudah tewas dan supaya Malin Cik Mas dijadikan raja. Setelah menjadi raja, Malin Cik Mas mengutus seorang utusan untuk meminang Gondan Gondoriah. Tapi, perempuan itu menolaknya dengan alasan masih berduka atas tewasnya Nan Tongga.

***

Sementara itu, di Kota Tanau, Anggun Nan Tongga menemukan pamannya yang lain telah menjadi raja di sana. Putri pamannya, Puti Andami Sutan, memiliki seekor burung nuri nan pandai berbicara. Nan Tongga lalu meminta burung tersebut untuk bicara. Dengan halus Andami Sutan mengisyaratkan Nan Tongga bahwa hanya orang yang menikah dengannya yang dapat memerintahkan burung nuri itu untuk bicara. Karena, ia tidak menemukan cara lain, maka Nan Tongga menikah dengan Andami Sutan.

Setelah menikah dengan Andami Sutan, burung nuri yang bisa bicara itu lepas dari sangkarnya dan pergi ke Pariaman. Dan secara ajaib, menemui Gondan Gondoriah. Di jendela, burung nuri itu mengoceh-ngoceh tentang Nan Tongga yang sudah menikah Andami Sutan, anak pamannya. Hal itu tentu menimbulkan kesedihan tersendiri di hati Gondan Gondoriah. Ia pun pulang ke Gunung Ledang, tempatnya berasal.

Mengetahui burung nuri itu lepas, Nan Tongga bisa memahami bahwa burung nuri itu akan terbang ke Pariaman dan menemui Gondan Gondoriah. Dugaan ini menimbulkan memori tersendiri di benak Nan Tongga, yang menjadi rindu kampung halaman dan tunangannya. Ia pun meninggalkan istrinya, Andami Sutan, yang tengah hamil tua. Sesampainya di Pariaman, Nan Tongga diberitahu Suto Suri bahwa Gondan Gondoriah telah pulang ke Gunung Ledang. Nan Tongga kemudian mengejar dan membujuknya untuk kembali ke Pariaman. Karena cintanya, Gondan Gondoriah luluh hatinya, dan kembali bersama Nan Tongga.

Sewaktu hendak menikah, Nan Tongga dan Gondan Gondoriah, mencari Tuanku Haji Mudo meminta restu. Keduanya pergi bersama Bujang Selamat. Namun, Tuanku Haji Mudo berkata bahwa Nan Tongga dan Gondan Gondoriah adalah saudara sepersusuan. Karena Nan Tongga pernah menyusu pada ibu Gondan Gondoriah. Menurut hukum Islam, berarti Nan Tongga dan Gondan Gondoriah, tidak boleh menikah di dunia ini dan hanya dapat berjodoh di akhirat.

Karena belum juga pulang Suto Suri mengirim orang untuk mencari Nan Tongga dan Gondan Gondoriah. Mereka menemukan Bujang Selamat sendiri yang berkata bahwa Nan Tongga, Gondan Gondoriah, dan Tuanku Haji Mudo sudah naik ke langit.

Putri Reno Pinang Masak

Pada zaman dahulu, di belakang Dusun Pasir Mayang, ada sebuah kerajaan yang bernama Limbungan. Kerajaan itu diperintah oleh seorang ratu Putri Reno Pinang Masak. Putri ini terkenal dengan kecantikannya yang menawan hati. Tak mengherankan banyak raja dan putra raja yang menghendaki mempersuntingnya. Namun tak seorang pun raja atau putra raja yang meminang yang diterimanya. Semua pinangan ditolaknya.

Disamping cantik, putrid ini terkenal pula berbudi luhur, arif serta bijaksana. Kebijaksanaannya dipuji-puji oleh rakyatnya. Ia adil dan jujur, rakyatnya yang miskin mendapat jaminan hidup dalam hal makan dan minum. Yang kaya, diberi luang dan kesempatan untuk menambah dan mengendalikan kekayaannya. Golongan rakyatnya yang kaya ini kelak harus pula menjamin kelangsungan hidup bagi yang miskin. Dengan demikian terdapat suasana yang harmonis antara sesame anggota masyarakat negeri Limbungan.


Dalam menjalankan pemerintahannya, sang ratu dibantu oleh tiga orang huluibalang yang baginda percayai. Hulubalang yang pertama bernama Datuk Raja penghulu, terkenal sebagai orang arif dan bijaksana yang kedua bernama Datuk Dengar Kitab, seorang hulubalang yang mempunyai keistimewaan dapat mengetahui kejadian-kejadian yang akan dating melalui sebuah kitab yang dimilikinya. Hulubalang yang ketiga ialah datuk Mangun, bertugas sebagai panglima perang kerajaan.

Kecantikan Putri Reno Pinang terdengar pula sampai ke telinga raja Jawa. Lama-kelamaan raja negeri Jawa lalu mengirim utusan untuk melamar sang putri. Ternyata lamaran tersebut ditolak oleh Putri Reno Pinang Masak. Raja Jawa sangat tersinggung karena lamarannya ditolak dengan tegas. Timbuillah kemudian tekad raja Jawa untuk bersumpah bagaimanapun akan mengambil Putri Reno Pinang Masak dengan cara kekerasan.

Putri Retno Pinang Masak tidak takut sama sekali akan ancaman raja negeri Jawa yang telah mabuk kepayang itu. Bahkan baginda ratu sangat gemas dan geram. Baginda memandang gelagat raja Jawa tadi sebagai yang akan merusak kedaulatan negertinya. Oleh sebab itu baginda memanggil ketiga hulubalang serta mengumpulkan rakyat negerinya. Bersama-sama dicarilah bagaimana cara untuk raja jawa yang mengancam akan menyerang negeri Limbungan. Mencari jalan yang sebaik-baiknya melalui pemikiran, musyawarah dan mufakat. Akhirnya didapatkan suatu cara yang telah disepakati bersama dalam perundingan tersebut. Negeri diberi berparit. Di samping itu harus dipagar pula dengan bambu berduri. Bambu yang dahan dan rantingnya harus berduri. Maka dicarilah tumbuhan tersebut. Setelah dapat maka segera ditanam berlapis-lapis, sebagai pagar negeri untuk menghalangi supaya tentara Jawa jangan masuk. Pagar inilah nanti sebgagai benteng pertahanan. Negeri Limbungan sudah dilingkupi dengan pagar bamboo berduri. Untuk keluar masuk hanya ada sebuah gerbang. Di pintu masuk, ini telah menunggu Datuk. Mangun beserta anak buahnya.

Raja Jawa beserta tentaranya datang jalan satu-satunya untuk memasuki Limbungan adalah sebuah gerbang yang dijaga oleh hulubalang Datuk Mangun dan anak buahnya. Ke sanalah raja Jawa mengarahkan serangan. Terjadilah pertempuran yuang sengit. Ternyata tentara Jawa tak kuasa sedikit pun menembus pertahanan Datuk Mangun yang didapingi oleh prajurit-prajurit serta rakyat negeri Limbungan yang tangguh. Tentara Jawa perkasa mundur dengan menderita korban besar.

Melihat tentaranya gagal memasuki Limbungan dan menderita kekalahan besar, raja Jawa memanggil semua hulubalang dan mengumpulkan semua prajuritnya. Maka diadakan perundingan dicari akal melalui pikiran orang banyak. Maka dapatlah suatu akal tipu muslihat. Dikumpulkan semua uang ringgit logam. Uang logam ini dijadikan peluru yang akan ditembakkan ke setiap rumpun bambu yang berlapis-lapis tadi. Ditembakkan berulang-ulang, sepuas-puas hati tentara Jawa, sehingga uang ringgit logam itu beronggokan di celah pohon bamboo berduri tersebut. Kemudian raja Jawa beserta tentaranya pun pergilah kembali.

Dalam pada itu ada seorang penduduk negeri Limbungan tidak disengaja, bersua dengan onggok-onggokan uang ringgit logam itu sepanjang edaran pagar bamboo negeri. Melihat uang logam itu sangat banyak terniat di hatinya untuk memberitahukan hal tersebut kepada baginda ratu. Lalu diambilnya sebuah untuk diperlihatkan kepada sang ratu di istana.

Dimana engkau dapat ringgit logam itu, Datuk?” Tanya baginda ratu penuh keheranan.

“Di rumpun-rumpun bamboo benteng pertahanan kita. Tuanku!” jawab pembawa ringgit logam itu agak tergagap. “Bertimbun banyaknya.”

“Baiklah!” kata sang ratu pula. “Aku yakin Datuk tidak berbohong. Mari kita lihat!”

Benar saja! Ratu menemukan uang ringgit logam bertumpukan di sela-sela rumpun bamboo. Maka setelah dirundingkan dengan semua orang diputuskan untuk mengambil semua uang logam tersebut. Untuk memudahkan pengambilannya, pohon-pohon bamboo itu pun ditebangi. Uang logam tersebut diangkut ke istana. Pada saat itu pula ditebangi. Uang logam tersebut diangkut ke Istana. Pada saat itu pula raja Jawa bersama tentaranya datang menyerbu dengan tiba-tiba. Karena benteng pertahanan tak ada lagi pasukan negeri Jawa dengan mudah masuk negeri Limbungan. Tentara beserta rakyat Limbungan tidak dapat menahan serangan yang mendadak itu.

Putri Retno Pinang Masak sadar akan kesalahannya. Ia sangat menyesal akan kealpaannya. Dengan rasa masygul diam-diam pergilah baginda seorang diri meninggalkan negeri yang dicintainya.

Ternyata kemudian tahu jugalah rakyat bahwa ratunya sudah tidak ada lagi di istana. Negeri Limbungan menjadi gempar. Berusahalah rakyat mencari kemana mana. Ada yang mencari ke hulu, ada yang ke hilir, ada pula yang mencari ke darat dank e baruh (pinggir sungai). Bahkan ada yang mencari sampai ke tepi laut. Namun ratu mereka tak kunjung bersua.

Akan halnya ketiga hulubalangnya, Datuk Raja Penghulu, Datuk Dengar Kitab, serta Datuk Mangun bermufakat ketika itu untuk bersama-sama mencari ratu Putri Reno Pinang Masak. Mereka masuk hutan keluar hutan. Bila bertemu dengan seseorang mereka tak jemu bertanya. Namun yang dicari tak kunjung bertemu. Maka mereka lanjutkan pula perjalanan. Lurah diturun, bukit di daki. Semak-semak disinggahi kalau-kalau ada putrid Reno Pianang Masak, atau mayatnya. Ketiga hulubalang itu bertekad berpantang berbalik, pulang sebelum yang di cari bersua hidup atau mati. Kalau perlu nyawa mereka sebagai taruhannya.

Sementara itu seorang petani desa Tenaku sedang berada di rumahnya. Ia baru saja selesai bekerja menyiangi rumput hari baru tengah hari, petani itu akan beristirahat ke pondoknya. Menjelang ia sampai ke pondoknya ia sangat terkejut, di mukanya di udara yang cerah dilihatnya melayang-layang sepotong upih pinang. Kemudian upih tersebut jatuh tak berada jauh dari tempatnya berdiri. Ia sangat heran mengapa ada upih pinang di humanya. Kalau itu upih pinang yang ada di desanya, taklah mungkin sejauh itu, diterbangkan angina. Dalam keheranan, petani itu bergegas menuju ke tempat upih jatuh tadi. Sesampai di sana ia sangat terkejut. Dilihatnya sesosok tubuh wanita cantik tergeletak memucat yang dilihatnya itu tak dikenalnya. Ia cukup hapal semua penduduk desanya. Apalagi orang yang sudah dewasa seperti yang dilihatnya. Di baliknya sebentar. Memang wajah yang tak dikenalnya sama sekali. Maka diputuskannyalah untuk memberitahukan penduduk desanya.

Ternyata semua penduduk desa Tenaku sama dengan petani tersebut tak juga mengenal siapa gerangan orang yang meninggal secar aneh itu. Semua yang hadir menjadi gempar. Mereka saling berpandangan dan bertanya satu sama lain. Di saat demikian maka dipanggil seorang dukun.

Dukun telah datang. Ia segera membakart kemenyan. Setelah itu dibacanya jampi-jampi ramalan. Dalam waktu yang singkat dapatlah diketahuinya siapa gerangan mayat yang berbaring di huma itu.

“Jenazah yang kita temui ini “Katanya mengabarkan kepada orang banyak yang mengelilinginya. “Jenazah yang melayang jatuh dari udara bagaikan upih pinang ini adalah jenazah Tuan Putri Reno Pinang Masak raja negeri Limbungan!”

Mendengar ramalan dukun tersebut semua orang yang hadir sangat terkejut. Suara bergumam berdengung bagai suara lebah terbang. Wajah-wajah yang keheranan segera berubah menjadi suram dan sedih. Terbayang kepada orang banyak itu betapa sengsaranya tuan baginda ratu negeri pada saat-saat terakhir hidupnya.

Pada saat itu juga diambil keputusan untuk memakamkan sang putrid di huma di desa Tenaku itu. Sang ratu dimakamkan secara sederhana tanpa disaksikan rakyatnya. Rasa tanggung jawabnya yang besar terhadap rakyat dan negerinya sudah berakhir. Sampai sekarang makam di desa Tenaku tersebut dinamakan “Makam Upih Jatuh”.

Lama-kelamaan ketiga hulubalang yakni Datuk Raja Penghulu, Datuk Dengar Kitab, dan Datuk Mangun sampai pula ke tempat Putri Reno Pinang Masak dimakamkan. Setelah mereka ketahui bahwa itu adalah makam baginda ratu Puteri Reno Pinang Masak, tiba-tiba saja mereka jatuh pingsan dan terus meninggal. Ketiga hulubalang itu dimakamkan pula di sana di samping makam Puteri Reno Pinang Masak. Sampai sekarang makam keempat orang tersebut masiha dan dikeramatkan orang pula.

Si Rusa dan Si Kelomang

Di sebuah hutan di Kepulauan Aru, hiduplah sekelompok hewan. Mereka hidup berdampingan dengan rukun dan damai. Namun, akhir-akhir ini sesuatu mengusik mereka, yaitu kesombongan sekelompok rusa yang merasa diri sebagai hewan paling hebat hanya karena mereka mampu berlari cepat. Pada saat itu memang tidak ada hewan lain yang mampu menandingi kecepatan mereka.
Semakin hari, kesombongan mereka semakin menjadi-jadi. Mereka terus saja mengajak hewan lain berlomba lari dan mengejek mereka. Lama-kelamaan, mereka juga menjadi tamak. Rusa tak hanya menantang hewan lain untuk berlomba lari, mereka juga menyita tempat tinggal hewan yang kalah dalam perlombaan itu. Akhirnya, hewan-hewan lain tak memiliki tempat tinggal. Sebaliknya, rusa-rusa itu menjadi penguasa hutan tersebut.
Sementara itu, tak jauh dari hutan, yaitu di tepi Pulau Aru, hiduplah sekelompok siput laut. Tempat tinggal mereka indah dan udaranya masih segar. Meskipun siput laut yang tinggal di sana cukup banyak, mereka saling setia kawan. Kelompok rusa yang mengetahui wilayah itu, ingin menguasainya. Seperti biasa, pemimpin rusa berniat mengajak siput laut untuk berlomba lari melawannya.
Dalam hati ia tertawa, “Bukankah siput jalannya sangat lambat? Aku akan mengalahkan mereka dengan mudah,” pikirnya. Lalu ia menemui pemimpin siput Laut yang bernama Kulomang. Di luar dugaan, Kulomang menerima tantangannya. “Baiklah jika itu maumu. Jika kau menang, ambillah wilayah kami ini,” jawab Kulomang mantap.
Sebenarnya rusa terkejut mendengar jawaban Kulomang, tapi ia tertawa dalam hati.
“Hihihi… benar-benar tak tahu diri. Berani sekali ia mempertaruhkan wilayahnya. Kita lihat saja besok.” Rusa tak tahu, meskipun siput Laut berjalan sangat lambat, mereka memiliki akal yang cerdik.
Keesokan harinya, pemimpin rusa telah siap di tempat pertandingan. Rusa-rusa yang lain ikut untuk memberi semangat. Kulomang datang sendiri, tak ada teman yang menemaninya.
“Hei, mana teman-temanmu?” tanya rusa heran.
“Itu tak penting, yang penting adalah kalahkan aku dan wilayah ini akan jadi milikmu,” jawab Kulomang santai.
Diam-diam, Kulomang telah mengatur strategi bersama teman-temannya. Ia sebenarnya membawa sepuluh temannya, namun mereka bersembunyi untuk mendengarkan aturan pertandingan. Setelah mendengar semuanya, kesepuluh siput laut itu menempatkan diri masing-masing di tempat perhentian yang telah ditentukan.
“Siap? Satu dua tigaaaa. lari!” teriak salah satu rusa memberi aba-aba.
Rusa lari dengan santai. Ia pikir, untuk apa cepat-cepat? Toh siput laut berlari sangat lambat. Kulomang berlari dengan tenang. Rusa mengejeknya “Menyerah sajalah, daripada kau buang-buang tenaga. Kau tak mungkin menang.”
Kulomang hanya tersenyum. Kemudian rusa berlari kencang meninggalkannya. Tak terasa, rusa telah tiba di perhentian pertama. Ia menoleh ke belakang dan tersenyum, “Pasti siput itu masih jauh di belakang,”
“Siapa bilang aku masih di belakang?” tiba- tiba terdengar jawaban Kulomang. Sebenarnya itu bukan Kulomang, melainkan temannya yang menunggu di pemberhentian pertama. Rusa terkejut setengah mati, ia heran bagaimana Kulomang bisa mendahuluinya?
Tak mau kalah, ia berlari melesat menuju pemberhentian kedua. “Hehe… kali ini pasti ia kalah,” ejek rusa sambil menengok ke belakang lagi. Tapi apa yang terjadi? Tiba-tiba Kulomang sudah berjalan di depannya dan menuju ke pemberhentian ketiga.
“Aku ada di depanmu rusa,” teriak Kulomang. Rusa terkejut. Ia berlari lagi secepat mungkin, ia tak mau kalah dari Kulomang. Namun setiap kali ia tiba di perhentian, selalu saja Kulomang sudah ada di depannya.
Rusa kelelahan, namun ia terus berlari kencang. Akhirnya ia tiba di perhentian terakhir. Matanya terbelalak ketika ia melihat Kulomang telah menantinya si situ. Karena kelelahan, rusa pun jatuh tersungkur. Ia malu, apalagi ternyata hewan-hewan yang lain juga menyaksikan pertandingan itu.
Mereka tertawa mengejek rusa, “Hei rusa yang sombong, sekarang kau sadar kan, kau bukanlah hewan tercepat. Siput yang lambat ini justru lebih cepat darimu.” Rusa sangat malu, rupanya ia bukanlah hewan terhebat. Demikian juga dengan teman-temannya, mereka tak lagi sombong.
Mereka bahkan mengembalikan wilayah-wilayah yang direbut dari hewan-hewan yang lain. Sejak saat itu, keadaan di hutan kembali damai seperti dulu. Tentunya tak seekor hewan pun yang membocorkan rahasia Kulomang pada rusa-rusa itu.



Legenda Orang Kayo Hitam

Pada masa kakandanya yaitu Orang Kayo Pingai memegang tampuk Kerajaan Jambi (1480-1490) Orang Kayo Hitam sebagai putra ketiga dari empat bersaudara putera dari pasangan Putri Selaro Pinang Masak dan anak Raja Turki Akhmad Baus II  atau Akhmad Salim bergelar  Datuk Padoko Berhalo, menentang abangnya untuk tidak mengirim upeti ke Mataram (Majapahit) berbentuk pekasam pacat dan pekasan kaluang. Sebagai vatsal (bawahan) Majapahit ada kewajiban Jambi mengirim  upeti setahun sekali. Kapal-kapal ,perahu atau gerobak pengangkut upeti dihadang dan di larangnya untuk mengirim upeti pekasam pacat dan pekasan keluang  adalah haram, selain itu “Jambi adalah kerajaan, Mataram juga karajaan. Keduanya sama, Jambi juga berdaulat, kenapa kita harus tunduk” sergah Orang Kayo Hitam di hadapan balairung sari dalam kerapatan Kerajaan di Ujung Jabung Negeri Lamo.
Argumen Orang Kayo Hitam dapat meyakinkan kerapatan dan terhentilah jambi menjalankan kewajiban mengirim upeti. Reaksi mataram “Tumpas Orang Kayo Hitam sebagai biang keladi pembangkangan!” perintah raja tak semudah itu, banyak orang mengetahui dari tiga orang anak laki-laki Putri Selaro Pinang Masak, seorang di antaranya terlalu gagah dan bahkan peramal kerajaan dari Pemalang mengabarkan Orang Kayo Hitam hanya bisa terbunuh oleh sebilah keris yang besinya berasal dari logam bernama awal “pa” atau “p”, di sepuh oleh air sungai yang “pa” atau “p” juga pangkal namanya. Penempahanya pun “setukulan setiap jumat dan selesai 40 jumat.
Berita pembuatan keris pembunuh sampai ke jambi. Tanpa gentar Orang Kayo Hitam berangkat seorang diri naik rakit kulim ke Mataram. Dengan berbagai penyamaran sebagai pedagang sayuran di setiap jumat berkeliling di tempat Empu pembuat keris  yang terkenal. Akhirnya Orang Kayo Hitam sampai ke tempat Empu pembuat keris  yang tak mengetahui bahwa seorang yang terlalu banyak tanya dan ingin melihat dan memegang keris yang sedang di sepuhnya itu adalah Orang Kayo Hitam, orang yang akan pralaya dengan keris sakti yang sedang di buatnya.
Hampir sama dengan Empu Gandring ,Empu pembuat keris terbunuh dalam perebutan dengan Orang Kayo Hitam yang berlangsung ke tengah gelanggang karena di kepung oleh tentara kerajaan penjaga kers yang belum sempurna di bawah pimpinan Temenggung Brajakarti. Tetapi, mereka tak mampu menangkap Orang Kayo Hitam apalagi untuk membunuhnya. Kemudian, Raja Mataram berdamai untuk tidak meneruskan niat membunuh Orang Kayo Hitam.
Perjamuan penyambutan dilakukan. Orang Kayo Hitam di dandani seperti layaknya pembesar Kerajaan Mataram. Pada pendandanan itulah di butuhkan tusuk sanggul rambut di kepalanya. Keris yang belum sempurnalah kemudin di-gonjai-kan ke sanggul Orang Kayo Hitam. Dari peng-gonjai-an itulah namakeris Siginjei yang kelak ketika penobatan Orang Kayo Hitam di sisipkan di pinggang sebagai penanda pucuk pemerintahan Jambi. Seterusnya oleh Orang Kayo Pingai sebagai pemegang adat kerajaan mentakbirkan bahwa siapa pemegang keris Siginjei maka dilah Raja Jambi sampai turun temurun ke anak cucu keturunan Orang Kayo Hitam.
Sebagai penjamuan Orang Kayo Hitam yang gagah perkasa dan sakti mandraguna itupun diminta untuk memadamkan pemberontakan di Brebes, Pemalang, Panggungan, Kedal, Jepara dan negeri Patah Demak. Rupanya kesaktian dan jiwa kependekaran ibunya Putri Selaro Pinang Masak semakin matang menyatu dengan jiwa petualangan ayahnya Datuk Paduko Berhalo Keturunan ke tujuh dari Raja Turki Sultan Saidina Zainal Abidin bin Saidina Husin binti Fatimah Azzahrah binti Saidina Rosul, membuat Orang Kayo Hitam tampil ke gelanggang memimpin penumpasan dengan gemilang.
Semula Orang Kayo Hitam aka didudukkan sebagai wakil kerajaan di Pemalang, tetapi di tolaknya karena ia lebih memilih di jambi, “Apalagi ayahanda sudah tua, entah kan hidup, entah kan mati, saya sudah lama meninggalkan negeri” kilah Orang Kayo Hitam. Atas jasa-jasa  Orang Kayo Hitam kelak di perkawinan Orang Kayo Hitam dengan Putri Mayang Mangurai  putri Temenggung Merah Mato penguasa Air Hitam Pauh Raja Tembesi yang meminta emas selesung besak, seruas buluh telang dan selengan baju dan kepala tungau tungau segantang ulang-aling dengan 40 orang  putri pengiring.
Ketika kembai ke Jambi, Orang  Kayo Hitam membawa istrinya Putri Ratu Mataram sedang anaknya Raden Jaya yang kemudian bergelar Temenggung Mangku Negoro dan Ratu Pengembanan tinggal dengan Sang Nenekda, penguasa Mataram yang juga membekali dengan enam kapal yang berisi para pekerja, hamba sahaya, barang pusaka dan perbekalan makanan serta harta benda lainnya. Kapal-kapal itu adalh Kapal Belah Semangka, Penyayap Panjang, Penangi, Lancang, Pinis, dan Kapal Tub. Dalam perjalanan itulah keris  Siginjei disempurnakan sebagai keris pusaka yang sudah bertahtakan mutu ratna manikam.
Keris Siginjei yan menjadi lambang keagungan dan pusaka kerajaan/kesultanan dan di badikan sebagai saalah satu unsur simbol pada lambang Provinsi Jambi (Perda Prov. Nomor 1 Tahun 1969). Sudah tentu memiliki keistimewaan tertentu yang tidak dimiliki keris lain. Keistimewaan Keris Siginjei dideskripsikan oleh Hamer sabagai berikut. Keris yang berbentuk sepertii ular pada lajur lingkar hulu bertatahkan batu mulia, dan sarung kayunya di lapis bungkus emas. Batu mulia yang ditatahkan pada hulu berjumlah enam belas butir diasah berselng-seling cara intan dan berlian, dan menurut susunan Martapura (Kalimantan Selatan). Di antara keemasan butir batu mulia, delapan di antaranya memiliki berat 2 karat dengan harga f. 125,- sebuah (1904). Sedangkan delapan lainnya lebih kecil dengan harga lebih kurang  f. 20.-. keenam belas batu tersebut di pasang emas batu asahan intan dalam bentuk persegi dan asahan berlian dalam bentuk oval. Bilah yang panjangnya lebih kurang 39 cm banyak di hiasi daun emas. Pada beberapa tempat hiasannya rusak dan tidak lengkap lagi. Pada bagian lebar bilah nampak sebuah rongga yang menggambarkan raksasa (buta). Di atas kepala buta di gambarkan awan-awan yang aneh. Di sisinya nampak seekor kalajengking dengan ujung-ujung tombak dihiasi emas. Kurang lebih 1 cm di atas buta terdapat dua singa bersayap. Singa tersebut di gambarkan dari samping, seakan-akan sedang berkelahi dengan mulut terbuka. Selajutnya, sisi depan dan belakang hingga 12 cm dari ujung bilah diberi hiasan yang di ambil dari motif tanaman. Ornamennya yang bentuknya mirip huruf S terbaring  dengan relung diatasnya berfungsi sebagai “batu besar” tumbuh tangkai-tangkai berdaun di sisi depan dan belakang berselang-seling, bunga-bungaan, dan susunan buah-buahan. Semua  dikerjakan dengan rapi dan indah. Kepala (endes) yang di sambung tempa dengan bilah  yang sedikit keluar dari sarungnya juga dihiasi dua singa bersayap. Seperti yang sudah di sebutkan di muka, sarung kayu Siginjei dilapis bungkus emas, harga material sarung emas nya f. 150,- (1940). Sarung tersebut diperkaya hiasan gambar-gambar Arab. Sisi depan dari atas sampai bawah terisi hiasan, sedangkan bagian belakang polos, namun bagian atas dan bawahnya diberi hiasan gaya Arab.
Kembali pada perjalanan hidup Orang Kayo Hitam. Setelah beberapa lama tiba kembali di Jambi tak lama berselang Orang Kayo Hitam bermaksud menimba ilmu dan tertarik pada helaian rambut terlilit puntung hanyut. Orang Kayo Hitam setelah menelisik berbagai sumber berita tokoh-tokoh ternama maka ia pergi ke Air Hitam Pauh menemui Temenggung Merah Mato. Di kediaman temenggung, ia di suguhi tapak sirih yang berisi sirih pinang dari besi. Ujian itu tidak menjadi masalah karena sajian sirih di kunyah seperti biasa. Selepas itu ujian ketangkasan dan kesaktian berlangsung seru di halaman. Hampir tiga hari ujian berlangsung dengan seimbang, tak ada yang kalah atau pun yang menang, sementara itu getaran hati getaran hati Orang Kayo Hitam kepada anak dara Sang Temenggung semakin menggelora untuk di sampaikan secara terbuka.
Tampaknya, tak bertepuk sebelah tangan gayung bersambut kato bejawab, semua warisnya suka maka atas kesepakatan keluarga Temenggung Merah Mato mengizinkan anaknya disunting Orang Kayo Hitam. Sebagai adat hendak diisi lembagonyo hendak di tuang, sudah buruk dimemakai, sudah habis dimakan, sudah besesap berjerami sudah bepadam bepekuburan, bertitian teras betanggo batu, jalan berambah yang di turut, baju bejahit yang di pakai, sudah gayur pinang sudah seko kelapo sederakah, maka sebagai adatnya Orang Kayo Hitam harus menyediakan emas selesung besak seruas buluh talang dan selengan baju serta kepala tungau segantang ulang aling dengan 40 orang dara putri untuk pengiring. Setelah meminta waktu untuk mempersiapkannya Orang Kayo Hitam kembli keUjung Jabung danterus ke Mataram menagih janji yang dulu terpatri.
Tak ada areal melintang tak ada janji yang tak di tepati, semua syarat hantaran di bawa ke Air Hitam. Selajutnya berlangsunglah acara perpautan dua insan nan antik rupawan dalam ikatan perkawinan. Selesai acara perkawinannya dengan Putri Mayang Mengurai di Air Hitam Pauh. Konon tak kurang 7 hari 7 malam keramaian berlangsung. Setelah itu rombongan Orang Kayo Hitam milir Batang Tembesi dan Batang Hari mengikuti pesan ayah mertua mengiringi sepasang itik besar (angso).
Kemudian, angso itu setelah beberapa kali milir turun ke darat di beberapa tempat, kemudian di dekat Pulau Pandan naik ke darat, muput (mandi tanah) di sana dan menghilang. Sesuai pesan Temenggung Merah Mato dan Nenek Indrijati di situlah engkau membangun negeri di tempat tanah terpilih. Ketika menebas semak belukar terkapak bedil besi, nebas ke dua terkapak gong besar. Kedua benda itu menjadi barang pusaka karena setelah  di beritahukan hal itu kepada adik Temenggung Mereh Mato yaitu Temenggung Temantan yang sibuk mencari kakandanya yang menghilang dan setelah menghitung-hitung  garis peruntungan, maka diyakini bedil besi (meriam) adalah jelmaan Temenggung Merah Mato yang di gelari “Sijimat” dab gong besar jelmaan isteri Temenggung dinamai “Gong Sitimang”.
Sekembalinya dari Air Hitam, mengabarkan soal bedil dan gong, Orang Kayo Hitam kembali ketempat bedil dan gong di temukan dan meneruskan pekerjaan membuka lahan di tempat yang dipilih itik angso yang kemidian di sebut “Tanah Pilih” yang kelak sebagai lokasi istana Raja Jambi. Setelah Istana Tanah Pilih diruntuhkan oleh kolonial Belanda di masa Kesultanan Sultan Thaha Saifuddin di jadikan tangsi militer Belanda dan kini menjadi kompleks Masjid Agung Al-Falah, masjid agung yang dikenal sebagai masjid seribu tiang.
Dari Air Hitam, ikut serta dalam rombongan adik Putri Mayang Mengurai  bernama Raden Kuning Megat Dialam dan bersama rombongan lain mereka menetap di Tanah Pilih yang kemudian semakin ramai. Tak lama kemudian, jiwa mudanya menggelora untuk pergi merantau ke daerah laut yang menurut cerita para pelaut, ada banyak pulau disana. Kehendak Raden Kuning Megat Dialam ini disetujui oleh Orang Kayo Pingai dan Orang Kayo Hitam.
Demi kemantapan keperginnya dilakukan sedekah doa selamat dan tolak balak sekaligus pemberian gelar Orang Kayo Singodirajo kepada Raden Kuning Megat Dialam. Orang Kayo Hitam menyerahkan Kapal Harimau Jantan miliknya untuk Orang Kayo Singodirajo berlayar memenuhi hasrat mencari peruntungan di pulau-pulau laut. Ketika melepas layar kapal, Orang Kayo Hitam berpesan “dimana juga tetapnya Adinda, maka segeralah Adinda datang kepada Kakanda di Tanah Pilih”.

Pulau pertama yang didarati Orang Kayo Singodirajo bertemu dengan orang yang mengaku berasal dari Kuala Reteh Indragiri, bahkan adayang dari Palembang dan daerah lain berkumpul mencari penghidupan sepanjang pesisir pulau. Mereka semua menyebutnya dirinya sendiri sebagi (kelompok) bangsa Mentang dan Baruq. Tak jauh dari sana tampak Pualu Singkep dan sebuah lagi pulau yang memiliki puncak gunung yang bercabang tiga disebut Pulau Daik, dan ada sebuah pulau lainnya bernama Pulau Pandan. Pulau-pulau itu tidak bertunggu orang (tidak berpenghuni). Setelah bertimbang-timbang maka Orang Kayo Singodirajo bersepakat dengan bangsa Mentang dan Baruq untuk membuat negeri di Pulau Daik dan berupaya untuk meramaikannya. Itulah tekad kebersamaan mereka. Orang-orang di gugusan Pulau Bangka di ajaknya bersama meramaikan Daik. Di Pualu Daik terdapat sungi yang ditelusuri dari muara kearah uluan. Setibanya di suatu anak sungai mereka berhanti dan di anggap cocok  llu di jadikan tempat pemukiman. Oleh Orang Kayo Singodirajo sungi itu dinamai Sungai Linggah, dan tempat perkampungannya disebut Kampung Linggah Daik. Dari hari kehari semakinramai dengan pendatang, mereka semuanya taat dan patuh sehingga atas kesepakatan seluruh penduduk  Orang Kayo Singodirajo di angkat sebagai Raja Penguasa Pulau Lingga dan Singkep.

Legenda Gunung Batu Bangkai

Dahulu, di Loksado ada seorang anak bernama Andung yang tinggal berdua saja dengan ibunya yang ia panggil dengan Uma. Ibunya adalah seorang janda yang miskin. Andung mempunyai keahlian mengobati berbagai macam penyakit. Bakat ini ia peroleh dari almarhum ayahnya.
Meskipun hidup mereka sangat sederhana, Andung dan ibunya saling menyayangi. Setiap hari, Andung pergi ke hutan untuk mencari kayu dan menjualnya ke pasar, sedangkan ibunya mencari buah-buahan.
Pada suatu hari ketika baru menyelesaikan pekerjaannya di hutan, tiba-tiba Andung mendengar suara orang menjerit. Andung segera mendatangi arah suara itu. Ternyata, ia menemukan seorang kakek yang terluka, karena kakinya terjepit batang pohon yang tumbang. Andung segera menolong kakek itu dan mengobati lukanya.
Sang kakek merasa sangat berterima kasih kepada Andung. Lalu, ia mengambil sesuatu dari dalam kantong kulit yang dibawanya. Ia mengeluarkan seutas kalung.
“Nak, aku tidak punya apa-apa untuk membalas budi kepadamu. Namun, ambillah kalung ini untukmu. Mudah-mudahan, suatu saat akan membawa keberuntungan bagimu,” ujar sang kakek.
Andung pulang ke rumah dan menceritakan kepada ibunya.
“Kakek itu memberiku kalung ini, Uma. Biarlah Ibu yang menyimpannya,” kata Andung.
Ibunya memerhatikan kalung tersebut dengan saksama, “Ibu yakin ini bukan kalung biasa. Kalung ini terlihat sangat indah.”
Suatu saat, Andung berniat merantau mencari kehidupan yang lebih baik.
Namun, ia bingung karena jika ia pergi, ibunya tak ada yang menemani. Itulah hal yang selalu menghantui pikiran Andung. Seiring dengan berjalannya waktu, keinginan untuk pergi merantau lebih besar daripada kekhawatirannya tentang hidup ibunya. Karena itu, ia pun mengutarakan niatnya itu.
Semula ibunya sangat keberatan. Namun, melihat keinginan keras anaknya, ia merasa tak mungkin dapat menolak selain merestuinya.
“Berjanjilah kepada Ibu. Jika kau sudah berhasil, kau harus pulang. Jangan tinggalkan Ibu terlalu lama” kata lbu Andung sambil berlinang air mata.
“Andung berjanji, Ibu. Andung akan cepat kambali,” ucap Andung
“Berangkatlah sebelum gelap sampai di hutan. Bawalah kalung yang diberikan kakek yang kau tolong waktu itu. Mungkin ini akan membawa keberuntungan juga untukmu,” Ibu Andung memberikan kalung itu kepada anaknya.
Andung berangkat merantau. Ia berjalan sangat jauh, keluar masuk hutan dan lembah, melewati perkampungan-perkampungan. Di tengah perjalanan, ia menyempatkan diri mengobati orang-orang yang membutuhkan pertolongan.
Setelah beberapa bulan berlalu, sampailah pemuda itu di Kerajaan Basiang. Kerajaan itu terasa sepi, tidak banyak orang berlalu-lalang di luar rumah. Andung bertemu dengan seorang petani yang sedang sakit. Tubuhnya dipenuhi kudis. Andung mengobati petani itu hingga sembuh.
Ia baru mengetahui bahwa tengah terjadi wabah penyakit kulit di kerajaan itu.
Petani tersebut berhasil disembuhkan oleh Andung. Ia meminta Andung untuk tinggal bersamanya sebagai ungkapan rasa terima kasih. Akhirnya, kesembuhan petani tersebut membawa penduduk lain datang dan meminta pertolongan Andung. Semakin hari, semakin banyak yang berhasil disembuhkan oleh Andung.
Keberhasilan Andung menyembuhkan banyak orang terdengar ke telinga Raja Basiang. Lalu, Sang Raja meminta Andung untuk datang ke istana untuk mengobati putrinya yang sudah beberapa minggu terbaring sakit.
“Ampun, Paduka. Hamba bukanlah seorang tabib. Hamba mohon ampun jika ternyata hamba tidak berhasil.”
Andung memerhatikan Sang Putri yang sedang terbaring lemah. Wajahnya cantik sekali. Diam-diam ia mengagumi wajah Sang Putri yang cantik jelita. Ia mulai mempersiapkan bahan-bahan ramuan untuk mengobati Sang Putri. Namun, kali ini ia tidak berhasil. Putri Raja tidak bergeming sedikit pun dan tidak menunjukkan tanda-tanda kesembuhan.
Andung kemudian teringat kalung pemberian kakek tua yang pernah ditolongnya. Kalung tersebut direndam di dalam sebuah wadah yang sudah disediakan. Kemudian, Andung berdoa pada Yang Maha Kuasa di depan air hasil rendaman kalung itu. Setelah berdoa, air tersebut diminumkan kepada putri.
Keajaiban terjadi, Sang Putri perlahan-lahan menggerakkan tubuhnya. Lalu, ia duduk dengan wajah berseri. Andung berhasil menyembuhkan putri kerajaan.
Raja Basiang sangat bersuka cita. Sebagai imbalan, ia menikahkan Andung dengan putrinya. Pesta pernikahan dilangsungkan dengan sangat meriah.
Kini Andung menjadi menantu Raja Basiang. Tidak lama setelah menikah, istri Andung pun hamil. Sifatnya menjadi lebih manja. Ia mengidam buah kasturi. Buah itu hanya ada di Pulau Kalimantan. Andung tahu di mana bisa mendapatkan buah kasturi. Ia mengerahkan para pengawalnya untuk berangkat ke Loksado. Sesampainya di Loksado Andung menyadari bahwa pohon kasturi itu tertanam persis di depan rumah ibunya.
Andung enggan bertemu dengan ibunya. Lalu, ia mengajak semua pasukannya untuk meninggalkan tempat itu dan mencari buah kasturi di tempat lain.
Namun, kedatangan mereka terdengar oleh ibu yang sedang berada di dalam rumah.
“Andung! Andung! Anakku!”” panggil sang ibu sambil berlinang air mata. Ia sangat bahagia telah menemukan putranya kembali.
Andung merasa malu kepada para pengawalnya.
“Hai, nenek miskin. Kau bukan ibuku. Aku adalah keturunan bangsawan, pergi kau dari sini!”
Ibunya terkejut bukan main. Ia tidak menyangka, Andung bisa sekasar itu. Sementara itu, Andung masih saja berteriak mengusirnya.
Dengan perasaan hancur, Ibu Andung pergi meninggalkan putranya. Hatinya benar-benar kecewa.
“Ya, Tuhan, anakku telah menjadi anak yang durhaka. Tunjukkanlah kekuasaan-Mu!” ujar Ibu Andung.
Tidak lama kemudian, cuaca menjadi mendung dan hujan turun disertai badai yang dahsyat. Petir menyambar tubuh Andung. Dalam sekejap, tubuhnya berubah menjadi batu. Bentuk batu tersebut seperti bangkai manusia. Akhirnya, penduduk menamakan wilayah itu sebagai Gunung Batu Bangkai.


Friday 3 June 2016

Towjatuwa dan Buaya Sakti

Pada jaman dahulu, hiduplah seorang lelaki bernama Towjatuwa di tepian sungai Tami daerah Irian Jaya.

Lelaki itu sedang gundah, oleh karena isterinya yang hamil tua mengalami kesulitan dalam melahirkan bayinya. Untuk membantu kelahiran anaknya itu, ia membutuhkan operasi yang menggunakan batu tajam dari sungai Tami.

Ketika sedang sibuk mencari batu tajam tersebut, ia mendengar suara-suara aneh di belakangnya. Alangkah terkejutnya Towjatuwa ketika ia melihat seekor buaya besar di depannya. Ia sangat ketakutan dan hampir pingsan. Buaya besar itu pelan-pelan bergerak ke arah Towjatuwa. Tidak seperti buaya lainnya, binatang ini memiliki bulu-bulu dari burung Kaswari di punggungnya. Sehingga ketika buaya itu bergerak, binatang itu tampak sangat menakutkan.

Namun saat Towjatuwa hendak melarikan diri, buaya itu menyapanya dengan ramah dan bertanya apa yang sedang ia lakukan. Towjatuwapun menceritakan keadaan isterinya. Buaya ajaib inipun berkata: “Tidak usah khawatir, saya akan datang ke rumahmu nanti malam. Saya akan menolong isterimu melahirkan.”

Towjatuwa pulang menemui isterinya. Dengan sangat berbahagia, iapun menceritakan perihal pertemuannya dengan seekor buaya sakti.

Malam itu, seperti yang dijanjikan, buaya sakti itupun memasuki rumah Towjatuwa. Dengan kesaktiannya, buaya yang bernama Watuwe itu menolong proses kelahiran seorang bayi laki-laki dengan selamat. Ia diberi nama Narrowra. Watuwe meramalkan bahwa kelak bayi tersebut akan tumbuh menjadi pemburu yang handal.

Watuwe lalu mengingatkan agar Towjatuwa dan keturunannya tidak membunuh dan memakan daging buaya. Apabila larangan itu dilanggar maka Towjatuwa dan keturunannya akan mati. Sejak saat itu, Towjatuwa dan anak keturunannya berjanji untuk melindungi binatang yang berada disekitar sungai Tami dari para pemburu.

Legenda Gunung Raung

Gunung Raung adalah sebuah gunung yang besar dan unik, yang berbeda dari ciri gunung pada umumnva di pulau Jawa ini. Keunikan dari Puncak Gunung Raung adalah kalderanya yang berbentuk elips dengan kedalaman sekitar 500 meter dalamnya, yang selalu berasap dan sering menyemburkan api dan terdapat kerucut setinggi kurang lebih 100m. Gn.Raung termasuk gunung tua dengan kaldera di puncaknya dan dikitari oleh banyak puncak kecil, menjadikan pemandangannya benar-benar menakjubkan.

Untuk mendaki G. Raung, paling mudah adalah dari arah Bondowoso. Dari Bondowoso terus menuju desa Sumber Wringin dengan menggunakan Colt melalui Sukosani. Perjalanan diawali dari desa Sumber Wringin melalui kebun pinus dan perkebunan kopi menuju Pondok Motor. Di Pondok Motor kita dapat menginap dan beristirahat, kemudian kita dapat melanjutkan perjalanan ke puncak yang membutuhkan waktu sekitar 9 jam. Dari Pondok Motor ke G. Raung, dimulai dengan melalui kebun selama 1 jam lalu pendakian memasuki hutan dengan sudut pendakian yang tidak terlalu besar yaitu sekitar 20 derajat.

Hutan gunung ini terdiri dari pohon glentongan, arcisak, takir dan lain-lain. Setelah pendakian selama 2 jam atau sekitar 1300 – 1400 m pendaki akan menemukan jalan berkelok dan naik turun sampai ketinggian sekitar 1500 – 1600 m. Di daerah ini mulai terlihat pohon cemara lalu pendakian diteruskan menuju pondok sumur (1750 M). setelah itu pendakain akan mulai sulit dan sudut pendakian mulai membesar dan jalur pendakian kurang jelas karena hanya semak-semak dan kemudian terus mendaki selama 3 jam hingga dicapai Pondok Demit.

Kemudian pendaki harus mendaki lagi selama sekitar 8 jam hingga dicapai batas hutan, yang dikenal dengan nama Pondok Mantri atau Parasan pada ketinggian sekitar 2900 – 3000 m. di tempat inilah pendakian beristirahat untuk berkemah. Perjalanan dilanjutkan melalui padang alang-alang (sekitar 1 jam perjalanan), selanjutnya menuju puncak Gunung Raung yang sedikit berpasir dan berbatu-batu. Dari tempat berkemah menuju puncak G. Raung, hanya diperlukan waktu sekitar 2 (dua) jam saja. Puncak G. Raung ini berada pada ketinggian 3.332 m dari permukaan laut dan sering bertiup angin kencang. Dari pinggir kawah tidak terdapat jalur yang jelas untuk menuju dasar kawah sehingga pendaki yang bermaksud menuruni kawah agar mempersiapkan tali temali ataupun peralatan lainnya untuk sebagai langkah pengamanan.

Dalam perjalanan ke Puncak G. Raung, tidak ada mata air. Sebaiknya untuk air dipersiapkan di Sumber Wringin atau di Sumber Lekan. Untuk mendaki G. Raung tidak diperlukan ijin khusus, hanya saja kita perlu melaporkan diri ke aparat desa di Sumber Wringin. Keangkeran Gunung Raung sudah terlihat dari nama-nama pos pendakian yang ada, mulai dari Pondok Sumur, Pondok Demit, Pondok Mayit dan Pondok Angin. Semua itu mempunyai sejarah tersendiri hingga dinamakan demikian. Pondok Sumur misalnya, katanya terdapat sebuah sumur yang biasa digunakan seorang pertapa sakti asal Gresik.

Sumur dan pertapa itu dipercaya masih ada, hanya saja tak kasat mata. Di Pondok Sumur ini, saat berkemah,juga terdengar suara derap kaki kuda yang seakan melintas di belakang tenda. Selanjutnya Pondok Demit, disinilah tempat aktivitas jual-beli para lelembut atau dikenal dengan Parset (Pasar Setan). Sehingga, pada hari-hari tertentu akan terdengar keramaian pasar yang sering diiringi dengan alunan musik. Lokasi pasar setan terletak disebelah timur jalur, sebuah lembah dangkal yang hanya dipenuhi ilalang setinggi perut dan pohon perdu. Pondok Mayit adalah pos yang sejarahnya paling menyeramkan, karena dulu pernah ditemukan sesosok mayat yang menggantung di sebuah pohon. Mayat itu adalah seorang bangsawan Belanda yang dibunuh oleh para pejuang saat itu.

Tak jauh dari Pondok Mayit, adalah Pondok Angin yang juga merupakan pondok terakhir atau base camp pendaki. Tempat ini menyajikan pemandangan yang memukau karena letaknya yang berada di puncak bukit, sehingga kita dapat menyaksikan pemandangan alam pegunungan yang ada disekitarnya. Gemerlapnya kota Bondowoso dan Situbondo serta sambaran kilat jika kota itu mendung, menjadi fenomena alam yang sangat luar biasa. Namun, angin bertiup sangat kencang dan seperti maraung-raung di pendengaran. Karenanya gunung ini dinamakan Raung, suara anginnya yang meraung di telinga terkadang dapat menghempaskan kita didasar jurang yang terjal.

Asal Mula Telaga Warna

Zaman dahulu, ada sebuah kerajaan di Jawa Barat bernama Kutatanggeuhan. Kutatanggeuhan merupakan kerajaan yang makmur dan damai. Rakyatnya hidup tenang dan sejahtera karena dipimpin oleh raja yang bijaksana. Raja Kutatanggeuhan bernama Prabu Suwartalaya dan permaisurinya bernama Ratu Purbamanah. Raja dan ratu sangant bijaksana sehingga kerjaan yang dipimpin makmur dan tenteram.
Semua sangat menyenangkan. Sayangnya, Prabu dan istrinya belum memiliki anak. Itu membuat pasangan kerajaan itu sangat sedih. Penasehat Prabu menyarankan, agar mereka mengangkat anak. Namun Prabu dan Ratu tidak setuju. “Buat kami, anak kandung adalah lebih baik dari pada anak angkat,” sahut mereka.
Ratu sering murung dan menangis. Prabu pun ikut sedih melihat istrinya. Lalu Prabu pergi ke hutan untuk bertapa. Di sana sang Prabu terus berdoa, agar dikaruniai anak. Beberapa bulan kemudian, keinginan mereka terkabul. Ratu pun mulai hamil. Seluruh rakyat di kerajaan itu senang sekali. Mereka membanjiri istana dengan hadiah.
Sembilan bulan kemudian, Ratu melahirkan seorang putri yang diberinama Gilang Rukmini . Penduduk negeri pun kembali mengirimi putri kecil itu aneka hadiah. Bayi itu tumbuh menjadi anak yang lucu. Belasan tahun kemudian, ia sudah menjadi remaja yang cantik.
Prabu dan Ratu sangat menyayangi putrinya. Mereka memberi putrinya apa pun yang dia inginkan. Namun itu membuatnya menjadi gadis yang manja. Kalau keinginannya tidak terpenuhi, gadis itu akan marah. Ia bahkan sering berkata kasar. Walaupun begitu, orangtua dan rakyat di kerajaan itu mencintainya.
Hari berlalu, Putri pun tumbuh menjadi gadis tercantik di seluruh negeri. Dalam beberapa hari, Putri akan berusia 17 tahun. Maka para penduduk di negeri itu pergi ke istana. Mereka membawa aneka hadiah yang sangat indah. Prabu mengumpulkan hadiah-hadiah yang sangat banyak itu, lalu menyimpannya dalam ruangan istana. Sewaktu-waktu, ia bisa menggunakannya untuk kepentingan rakyat.
Prabu hanya mengambil sedikit emas dan permata. Ia membawanya ke ahli perhiasan. “Tolong, buatkan kalung yang sangat indah untuk putriku,” kata Prabu. “Dengan senang hati, Yang Mulia,” sahut ahli perhiasan. Ia lalu bekerja d sebaik mungkin, dengan sepenuh hati. Ia ingin menciptakan kalung yang paling indah di dunia, karena ia sangat menyayangi Putri.
Hari ulang tahun pun tiba. Penduduk negeri berkumpul di alun-alun istana. Ketika Prabu dan Ratu datang, orang menyambutnya dengan gembira. Sambutan hangat makin terdengar, ketika Putri yang cantik jelita muncul di hadapan semua orang. Semua orang mengagumi kecantikannya.
Prabu lalu bangkit dari kursinya. Kalung yang indah sudah dipegangnya. “Putriku tercinta, hari ini aku berikan kalung ini untukmu. Kalung ini pemberian orang-orang dari penjuru negeri. Mereka sangat mencintaimu. Mereka mempersembahkan hadiah ini, karena mereka gembira melihatmu tumbuh jadi dewasa. Pakailah kalung ini, Nak,” kata Prabu.
Putri menerima kalung itu. Lalu ia melihat kalung itu sekilas. “Aku tak mau memakainya. Kalung ini jelek!” seru Putri. Kemudian ia melempar kalung itu. Kalung yang indah pun rusak. Emas dan permatanya tersebar di lantai.
Itu sungguh mengejutkan. Tak seorang pun menyangka, Putri akan berbuat seperti itu. Tak seorang pun bicara. Suasana hening. Tiba-tiba meledaklah tangis Ratu Purbamanah. Dia sangat sedih melihat kelakuan putrinya.Akhirnya semua pun meneteskan air mata, hingga istana pun basah oleh air mata mereka. Mereka terus menangis hingga air mata mereka membanjiri istana, dan tiba-tiba saja dari dalam tanah pun keluar air yang deras, makin lama makin banyak. Hingga akhirnya kerajaan Kutatanggeuhan tenggelam dan terciptalah sebuah danau yang sangat indah.


Asal Mula Telaga Pasir

Pada zaman dahulu, hiduplah pasangan Suami Istri yang bernama Kyai Pasir dan Nyai Pasir. Mereka hidup di dalam hutan gunung Lawu. Mereka tinggal disebuh gubuk di hutan lereng gunung Lawu. Gubuk tersebut terbuat dari kayu dan beratapkan dedaunan. Gubuk tersebut sangat sederhana. Namun, gubuk terebut sangat aman, dari gangguan binatang liar dan panasnya terik matahari, dinding gubuk itu terbuat dari kulit kayu yang di ikatkan pada sebuah tiang kayu dengan menggunakan rotan. diantara dinding-dinding kayu itu diberi sedikit celah sebagai ventilasi sehingga udara segar dapat keluar masuk kedalam gubuk yg mereka tempati itu.
Kyai Pasir adalah seorang petani ladang. Dari hasil ladang itulah ia dan istrinya dapat bertahan hidup, walaupun hanya pas-pasan. Ladang milik Kyai Pasir terletak di tepi hutan, tidak jauh dari tempat tinggalnya.
Suatu hari, Kyai Pasir pergi ke ke ladang seperti biasa. Namun, ia sangat terkejut ketika akan menebang pohon. Karena melihat Telur yang besar tergeletak di bawah pohon. Ia pun mendekati telur tersebut. Ia bingung, telur apa yang ia temukan. Karena ia melihat di sekitar hutan tidak terdapat hewan unggas. Kyai Pasir tidak mau pusing memikirkan itu telur binatang apa. Baginya, telur itu adalah lauk yang enak jika dimasak. Oleh karena itu, ia hendak membawa pulang telur itu untuk lauk makan siang bersama istrinya di rumah. Ketika hari menjelang siang, ia pun mengambil telur tersebut dan di bawa pulang untuk diberikan kepada istrinya.
Setelah sampai di rumah ia pun segera menyuruh istrinya untuk di rebus. Sebelum telur itu di masak, Kyai Pasir pun menceritakan bagaimana ia menemukan telur itu. Setelah itu, ia kembali meminta istrinya agar segera memasak telur karena sudah kelaparan. Ia juga sudah tidak sabar ingin segera menyantap telur tersebut.
Nyai Pasir pun cepat-cepat membawa telur itu ke dapur untuk dimasak. Sambil menunggu telur matang, Kyai Pasir merebahkan tubuh sejenak karena kecapaian. Tak berapa lama kemudian, istrinya pun selesai memasak.
Setelah selesai memasak. Telur tersebut di bagi menjadi dua. Setengah dari telur itu di makan oleh Kyai Pasir. Ia pun memakan telur tersebut dengan sangat lahap. Setelah selesai makan, Kyai Pasir segera kembali ke hutan untuk meneruskan pekerjaannya.
Di tengah perjalanan kembali ke ladang. Kyai Pasir masih merasakan lezatnya telur yang ia makan bersama istrinya. Namun, ketika ia tiba di ladangnya. Tubuhya terasa sangat aneh. Tiba-tiba, seluruh tubuhnya menjadi panas, kaku dan terasa sangat sakit. Matanya pun berkunang-kunang serta keringat dingin di seluruh tubuhnya.
Karena sangat sakit, Kyai Pasir terjatuh ke tanah dan berguling-guling ke sana ke mari. Tiba-tiba, dari tubuh Kyai Pasir mulai tumbuh sisik, sementara mulutnnya mulai maju moncong ke depan. Kyai Pasir menjelma menjadi seekor naga jantan itu terus berguling-guling tanpa henti.
Sementara, Nyai Pasir yang berada di dalam rumah juga mengalami hal yang sama seperti suaminya. Ternyata, telur yang mereka makan adalah telur Naga. Nyai Pasir pun mulai merasakan sakit seluruh tubuhnya. Ia pun segera berlari ke ladang untuk meminta pertolongan kepada suaminya. Namun, setelah sampai di ladang ia sangat terkejut melihat suaminya sudah berubah menjadi Naga yang sangat menakutkan.
Karena ketakutan melihat suaminya yang sudah berubah, ia berniat untuk melarikan diri. Namun, karena tidak sanggup untuk menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya. Nyai Pasir pun terjatuh ke tanah dan berguling-guling. Dengan sekejap, seluruh tubuhnya mulai di umbuhi sisik yang sangat kasar dan berubah menjadi Naga.
Kedua Naga tersebut terus berguling-guling. Tanpa mereka sadari, mereka membentuk sebuah cekungan. Namun, lama-kelamaan cekungan tersebut semakin luas dan dalam. Tiba-tiba, muncullah semburan air yang amat deras keluar dari cekungan tanah itu. Dalam waktu sekejap saja, cekungan itu sudah penuh dengan air dan ladang Kyai Pasir berubah wujud mejadi kolam besar.
Cekungan yang berii air itu akhirnya berubah menjadi sebuah telaga yang oleh masyarakat sekitar disebut sebagai Telaga Pasir. karena Kyai Pasir dan Nyai Pasir lah yang membuat danau ini.

Si Lancang Kuning

Lancang kuning berasal dari sebuah kerajaan yang terdapat di bukit batu. Wilayah kabupatin bengkalis. Kerajaan ini di perintah oleh raja yang bernama datuk laksmana perkasa alim serta dibantu dua orang panglima yaitu panglima umar dan panglima hasan. Panglima umar adalah seorang panglima yang dipercayai datuk laksmana perkasa untuk menyelesaikan sesuatu jika terjadi persoalaan dalam kerajaan. Umpamanya jika terjadi perampokan di perairan, setiap tugas dapat diselesaikan dengan baik.

Pada suatu hari panglima umar menghadap datuk laksmana perkasa untuk menyampaikan hasrat hati yaitu untuk mempersunting zubaidah, seorang gadis negeri itu. Permohonan umar disambu dengan baik oleh datuk laksmana, dengan persetujuan datuk laksmana dilangsungkan pernikahan dan tanda kegembiraan diadakan pesta dan keramaian besar-besaran.
Rupanya keparcayaan yang diberikan dan perkawinan panglima umar dengan zubaidah menimbulkan rasa tidak senang bagi panglima hasan, timbul dendam. Hal ini timbul dikarenakan rupanya panglima hasan juga simpati dan mencintai zubaidah itu. Rupanya apa yang diinginkan itu telah di dahului panglima umar.

Untuk melepaskan rasa sakit hati panglima hasan mencari akal bagaimana agar zubaidah dapat dimilikinya, maka dengan akal busuknya panglima hasan menyuruh bomo menyampaikan kepada datuk laksmana bahwa dia bermimpi agar datuk laksmana membuat lancang kuning untuk mengamankan semua perairan dari lanun. Apa yang disampaikan pawang bomo diterima oleh datuk laksmana, sehingga lancang kuning dikerjakan siang malam setelah lancang kuning hampir selesai tersebar berita bahwa bathin sanggoro telah melarang para nelayan bukit batu untuk mencari ikan di tanjung jati.

Dengan adanya berita ini datuk laksmana memerintahkan agar panglima umar berangkat dan menemui bathin sanggoro, sungguh berat hati panglima umar untuk berangkat karena istrinya sedang hamil tua dan tak lama lagi ia akan melahirkan, tapi karena tugas yang sangat penting, semua perasaan itu ditahan, demi kerajaan yang tercinta.

Setelah berlayar beberapa hari sampailah panglima umar kepada bathin sanggoro dan di ceritakan semua berita yang tersebar di bukit batu. Mendengar cerita itu bathin sangoro terkejut, karena selama ini dia tidak pernah melarang nelayan bukit batu menangkap ikan di tanjung jati. Mendengar cerita bathin sanggoro panglima umar termenung dan berfikir, apakah karangan yang terjadi di balik peristiwa ini? Melihat keadaan ini lalu bathin sanggoro menganjurkan agar berita ini diselidiki dari mana asal muasalnya, dan di selidiki sewaktu perjalanan pulang.

Rupanya apa yang disampaikan bathin sanggoro dituruti panglima umar, sewaktu perjalanan pulang panglima berkeliling, guna mencari siapa yang membuat berita ini, sehingga tidak dirasakannya bahwa perjalanannya sudah satu bulan.

Malam ini tepat lima belas hari bulan purnama. Malam itu lancang kuning akan diluncurkan ke laut. Dibalai-balai telah banyak pemuka kerajaan dan penduduk negeri untuk menyaksikan peluncuran lancang kuning tersebut. Bermacam-macam hiburan rakyat dipertunjukkan. Semua penduduk negeri bergembira terkecualai zubaidah, karena suaminya panglima umar sudah satu bulan pergi dan sampai saat ini belum juga kembali dan karena itu ia tidak pergi menghadari acara peluncuran lancang kuning kelautan pada malam itu.

Setelah semua keparluan peluncuran lancang kuning di siapkan pawang domo memberikan petunjuk kepada datuk laksmana.acara peluncuran di mulai dengan tepung tawar pada dinding lancang kuning, kemudian di lanjutkan panglima hasan dan pemuka masyarakat lainnya. Selesai tepung tawar di lanjutkan dengan pengasapan dan baru lah semua yang hadir diperintahkan supaya berdiri disamping lancang kuning dan semua bunyi-bunyian di bunyikan dan semua yang telah memegang lancang kuning mendorong, tetapi alangkah anehnya, lancang kuning tersebut tidak bergerak sedikit pun hal ini dikerjakan berulang-ulang bahkan tenaga sudah di tambah, namun lancang kuning tidak juga bergerak. Hadirin yang hadir merasa heran dan bertanya-tanya, muka pawang domo merah padam.
Pawang domo segera bersembah kepada datuk laksmana dan berkata: ampunkan tuan ku yang mulia! Rupanya lancang kuning tidak bisa di luncurkan jika. . . . jika apa wak domo ? kata datuk laksmana, katakan lah! Jika lancang kunning ingin juga di luncurkan harus ada korban. Korban berapa ekor kerbau yang di perlukan wak domo? Tuan ku yang mulia, bukan kerbau. Wak domo menghampiri datuk laksmana dan membisikkan bahwa kurban yang di perlukan adalah perempuan hamil sulung datuk laksmana tertunduk dan termenung serta berkata kepada pawang domo bahwa agar perluncuran lancang kuning di undurkan saja.

Setelah sebagian orang pulang, panglima hasan pergi kerumah zubaidah dan di dapatinya zubaidah sedang duduk termenung. Zubaidah terkejutdengan kedatangan panglima hasan sambil berkata: mengapa lagi kau kesini panglima hasan? Berkata panglima hasan: zubaidah apa lagi yang kau tunggu zubaidah? Suami mu tidak akan kembali lagi, kerena itu biar akau yang menjadi ayah anak mu itu! Apa kata mu panglima pengkhianat ? biar saya mati dari pada saya bersuamikan kamu! Apa ? jawab panglima hasan. Jika kamu masih menolak permintaan ku, kamu akan saya jadikan gilingan lancang kuning yang akan di luncuran kelaut.

Karena zubaidah tetp menolak permintaan pangliama hasan, maka zubaidah di tarik dan matanya di tutup dengan di bantu oleh pengawalnya, setelah sampai di lancang kuning yang akan di luncurkan, panglima hasan mendorong tubuh zubaidah kebawah lancang kunung dan ketika itu juga panglima hasan memerintahkan supaya lancang kuning di dorong kelaut. Hanya di dorong oleh beberapa orang saja lancang kuning itu meluncur dengan mulus.
Setelah lancang kuning sampai di laut tampaklah darah dan daging zubaidah berserakan di tanah dan dan ketika itu turun lah hujan lebat petir dan angin kencang serta bertepatan waktu itu panglima umar merapat ke pelabuhan bukit batu.

Setelah perahu di tambatkan di pelabuhan panglima umar langsung kerumah untuk melihat istri dan anaknya yang telah di tinggalkan selama sebulan, tapi setelah sampai di rumah, rumahnya kosong, dipanggilnya zubaidah tetapi tidak ada jawaban. Hati panglima sudah mulai gelisah, maka dia berangkat kepelabuhan, di tengah jalan berpapasan dengan panglima hasan, langsung panglima umar bertanya kepadanya, dimana gerangan istri ku, panglima hasan menceritakan, istrinya zubaidah telah di jadikan gilingan lancang kuning oleh datuk laksmana.

Mendengar cerita panglima hasan tersebut panglima umar langsung pergi ketempat peluncuran lancang kuning, di dapatinya darah berserakan alangkah sedih hati panglima umar melihat tubuh istrinya itu, di sapunya darah yang ada yang di tanah itu serta di usapkan ke muka serta berkata bahwa dia akan membalas atas kematian istrinya itu kepada datuk laksmana, tetapi baru saja ia berjalan di lihatnya datuk laksmana berjalan kearahnya.

Setelah mereka bertemu pangliama umar langsung menyerang datuk laksmana dengan pedang yang panjang keperut datuk laksmana, tanpa ada pembicaraan sedikit pun, akhirnya datuk laksmana mati ditangan panglima umar, ketika itu juga datanglah pawang domo serta menceritakan segala kejadian yang sebenarnya, bahwa yang menjadikan zubaidah untuk gilingan lancang kuning adalah panglima hasan, tanpa mengulur waktu panglima umar pergi mencari panglima hasan.
Dari kejauhan panglima umar melihat panglima hasan sudah bersiap-siap untuk melarikan diri menuju lancang kuning tapi belum sempat melepaskan talinya panglima umar telah sampai, dengan pedang terhunus sambil berkata: nah. . . malam ini. . . engkau atau aku akan mati. Dengan di saksikan penduduk mereka berkelahi di atas lancang kuning. Dan akhirnya panglima hasan dapat di tikam panglima umar dan matinya jatuh kelaut.

Waktu itu lah panglima umar melihat ke pantai dan berkata kepada orang yang ada di pantai bahwa ia telah membunuh datuk laksmana karena perbuatan panglima hasan dan panglima hasan pun sudah mati di tangannya, kerna itu ia akan pergi dengan lancang kuning untuk selama-lamanya, dan ketika sampai di tanjung jati datanglah ombak besar dan angin topan sehingga lancang kuning tersebut karam dan ia bersama lancang kuning terkubur dalam laut tanjung jati serta kejayaan kerajaan negeri bukit batu berangsur-angsur mundur dan akhirnya tinggal setumpuk rumah saja lagi.

SiGale Gale

Dahulu kala ada seorang Raja yang sangat bijaksana yang tinggal di wilayah Toba. Raja ini hanya memiliki seorang anak, namanya Manggale. Pada zaman tersebut masih sering terjadi peperangan antar satu kerajaan ke kerajaan lain.
Raja ini menyuruh anaknya untuk ikut berperang melawan musuh yang datang menyerang wilayah mereka. Pada saat peperangan tersebut anak Raja yang semata wayang tewas pada saat pertempuran tersebut.
Sang Raja sangat terpukul hatinya mengingat anak satu-satunya sudah tiada, lalu Raja jatuh sakit. Melihat situasi sang Raja yang semakin hari semakin kritis , penasehat kerajaan memanggil orang pintar untuk mengobati penyakit sang Raja, dari beberapa orang pintar (tabib) yang dipanggil mengatakan bahwa sang Raja sakit oleh karena kerinduannya kepada anaknya yang sudah meninggal. Sang tabib mengusulkan kepada penasehat kerajaan agar dipahat sebuah kayu menjadi sebuah patung yang menyerupai wajah Manggale, dan saran dari tabib inipun dilaksanakan di sebuah hutan.
Ketika Patung ini telah selesai, Penasehat kerajaan mengadakan satu upacara untuk pengangkatan Patung Manggale ke istana kerajaan. Sang tabib mengadakan upacara ritual, meniup Sordam dan memanggil roh anak sang Raja untuk dimasukkan ke patung tersebut. Patung ini diangkut dari sebuah pondok di hutan dan diiringi dengan suara Sordam dan Gondang Sabangunan.
Setelah rombongan ini tiba di istana kerajaan , Sang Raja tiba-tiba pulih dari penyakit karena sang Raja melihat bahwa patung tersebut persis seperti wajah anaknya.

Thursday 2 June 2016

Putri Runduk

Pada sekitar abad ke-7 Kerajaan Barus Raya memerintahlah seorang raja yang cukup ternama, Raja Jayadana. Kerajaan yang dibawahinya memasuki era Islam berpusat di Kota Guguk dan Kota Beriang dekat Kadai Gadang sekarang. Pada saat itu ada tiga kota besar di sana termasuk kota. Kerajaan Barus tengah berada di puncak kejayaannya., berkat hasil bumi yang melimpah ruahd an penghasil komoditi langka yang sangat dibutuhkan pada zamannya. Sebutlah itu kapur Barus Raya terdapat pelabuhan tertua di dunia yang menjadi salah satu pusat niaga internasional.
Terpenting dari segala kelebihan”ter” itu, raja Jayadana memiliki seorang permaisuri (Ratu) Puteri Runduk yang cantik jelita. Bersamaan dengan datangnya para saudagar dan pemerintahan negeri asing ke Barus semakin santerlah berita mengenai kecantikan sang Permaisuri. Beberapa raja yang terkesima mendengar beritanya kemudian hari berspekulasihendakmerebut Putei Runduk. Dan sudah tentu, untuk dapat memilikinya bukanlah hal mudah. Raja-raja yang kesemsem asmara antara lain, Raja Janggi dari Sudan, Afrika dan Raja Sanjaya dari kerajaan Mataram. Tentu belum terhitung para saudagar dan pelaut yang isi kantongnya hanya udang dan kepiting. Dua kerajaan besar di atas sampai menggelar kekuatan perang untuk mendapatkan dua kemungkinan : jatuhnya Kerajana Barus yang makmur berikut ratu nan cantk jelita. Tetapi satu orang dari antara mereka, Raja Cina datang memingan baik-baik.
Dalam gelar parade kekuatan ini, Raja Sanjaya dari Jawa berhasil memenangkan pertarungan. Raja Jayadana tewas dan istrinya Puteri Runduk berhasil ditawan. Dia terpaksa ditawan oleh karena tidak mau dipersunting secara baik-baik. Soalnya raja Sanjaya beragama Hindu sedangkan kerajaan Jayadan dikenal sebagai kerajaan Islam dan ini menjadi sesuatu yang prinsip. Maka lahirlah pantun :
Kota Guguk Kota Bariang
Ketiga kota di Muara
Ayam berkokok hari siang
Puteri Runduk ditawan Jawa
Tetapi rupanya diam-diam Raja Janggi menghimpun kekuatan dan menyerang pasukan Sanjaya secara membabi buta. Panik oleh karena pertempuran baru terjadi di wilayah Barus membuat kota Guguk dan pusat istana kerajaan porakporanda. Sementara Raja Janggi berhasil mempecundangi Raja Sanjaya, sekelompok pengawal setia yang tersisa dari istana kerajaan Jayadana bersama para dayang-dayang menyingkirkan Ratu Puteri Runduk dari kerajaan para diktator ke pulau Morsala. Dalam pelarian inilah peralatan yang dibawa rombongan Puteri Runduk berceberan sepanjang pulau-pulau, maka dinamailah pulau-pulau tersebut sesuai nama barang yang tercecer, antara lain : Pulau Situngkus, Pulau Lipat Kain, Pulau Terika, Pualu Puteri dan lain-lain.
Raja Janggi mengejar sampai ke Pulau Morsala dan ketika hendak mendekap ratu yang sudah di muka hiudng,Puteri Runduk memukulkan tongkat bertuah akar bahar (tongkat warisan RajaBarus) ke kepala Raja Janggi. Berikut pantunnya :
Pulau Puteri Pulau Penginang
Ketiga Pulau anak Janggi
Lapik putih bantal bermiang
Racun bermain dalam hati
Servisnya baik karena lapik putih, tapi sayang bantalnya bermiang, orang yang tidur jadi gatalan. Pantun lain pendukung menyebut, lebatlah hujan di Morsala/Kembanglah bunga para utan/bintang di langit punya salah/ombak di laut menanggungkan; pulau Talam Pulau tarika/ketiga pulau lipat kain/sauh putus pendarat patah/haluan berkesar ke jalan lain.
Dalam pengejaran yang tak putus-putus, si wanita lemah nan rupawan Puteri Runduk putus asa dan melompat ke laut…hilang tanpa bekas.
Salah satu pembantunya yang setia bernama Sikambang Bandahari seorang pemuda yang sehari-harinya dalam urusan rumah tangga kerajaan, anak nelayan miskin. Maka, merataplah Sikambang dengan sedihnya, meratap kehilangan majikan, menyesali tindakan bunuh diri sang permaisuri, menyesalsikap brutal raja-raja lalim, menyesali dirinya yang tak kuasa mempertahankan keselamatan Puteri Runduk. Ratapan Sikambang memanjang tak putus-putus, dari hari ke hari, ratapan legendaris yang menyinggung segala aspek, kemashuran, kejayaan, kedamaian sampai gambaran kecantikan puteri-puteri Barus dan sebagainya.
Kerajaan Islam Puteri Runduk pada jayanya kaya dengan seni dan budaya. Abad ke-7 M, masyarakat pesisir sudah memiliki kebudayaan sendiri, berikut keseniannya seperti serampang 12, bersanggu gadang, bakonde, berinai, mengasah gigi, turun air, berkambabodi, berkelambu kain kuning, berpayung kuning, bertabir langit-langit dan sebagainya.

Legenda Mas Merah


Mas merah adalah nama seorang gadis yang terkenal dengan kecantikannya.kulitnya putih bersih,sehingga bila berjalan seakan darah  keluar memercik keluar  dari kakinya,,ayah ibunya orang terhitung orang kaya,anak tunggal yang tidak punya saudara namun ia gadis kampung yang suka menolong,ramah dan santun pada pada semua orang…setiap orang memuji kecantikannya,ia menjadi “bunga”kebanggaan warga desa,..
Karena kebaikan budinya,warga desa tuana tuha sangat sayang padanya,,tak terkecuali kedua orang tuanya,,..kecantikan mas merah pun menjadi buah bibir setiap orang,hingga berita tersebut menyebar ke seganap penjuru daerah,,sampailah berita itu kepada raja kutai yang bergelar aji,.  Aji adalah raja kerajaan kutai yang bertahta di kutai lama tenggarong, wilayah kekuasaannya cukup luas,meliputi seluruh kabupaten kutai saat ini..ia memiliki sifat suka mengambil gadis gadis cantik untuk di jadikan selir,,tak perduli gadis itu sudah bersuami atau belum.
Karena penasaran,aji beserta rombongan kerajaan menuju desa tuana tuha untuk memastikan kebenarannya,dan jika berita itu benar ia berencana menjadikan mas merah sebagai selir.,.karena jarak yang jauh,,untuk sampai ke desa tuana tuha butuh berhari-hari perjalanan,.apalagi rombangan itu menaiki kapal kerajaan melewati sungai belayan yang terhitung panjang dan lebar,dan kapal di gerakkan dengan tenaga manusia..banyak kampung-kampung yang di lewati,dan setiap melewati kampung-kampung itu kapal kerajaan belabuh,sekedar bertanya tentang mas merah,,.warga dari setiap kampung yang di lewati itu membenarkan keterangan bahwa gadis cantik bernama mas merah memang benar-benar ada di desa tuana.
Sebelum rombangan kerajaan sampai di desa tuana tuha,berita itu telah lebih dulu sampai pada warga desa,,kedua orang tua mas merah khawatir akan nasib anaknya..mereka tidak ingin berpisah karena menurut mereka  aji bukan raja yang baik,..dengan selir yang banyak,,mas merah  bakal tidak akan bahagia dan nantinya akan dijadikan musuh oleh selir-selir yang lain…mas merah sendiri tampaknya tidak mau di jadikan selir,..padahal keinginan seorang raja tak mungkin bisa di tolak….
Orang-orang desa dan orang tua yang sayang pada mas merah segera bermusyarah,.mereka sama menolak jika mas merah di jadikan istri bagi raja hilang sudah sesuatu yang selama ini menjadi kebanggaan warga desa..akhirnya di sepakati mereka akan menyembunyikan mas merah di suatu tempat yang tidak bisa di temukan orang,..yaitu di kubur  dengan di buatkan semacam “rumah di dalam tanah”..yang letaknya di dalam hutan cukup jauh di sebelah hulu kampung.warga tuana tuha menyebut tempat itu “hutan lirung kayu”.jika nantinya aji bertanya tentang mas merah,mereka sepakat berbohong bahwa cerita tentang gadis yang bernama mas merah di tuana tuha itu tidak pernah ada,,hanya omongan orang-orang saja.
Dengan bantuan dari seluruh warga,pembuatan rumah dalam tanah itu pun dapat selesai sebelum aji sampai di tempat itu,.mas merah pun masuk disana dengan perbekalan dan perlengkapan yang cukup untuk tinggal lama..
Beberapa hari kemudian rombongan aji sampai juga di desa tuana tuha,,warga  desa menyambut dengan suka cita dan meriah..setelah turun dari kapal aji langsung bertanya kepada warga tentang mas merah,,namun tidak ada yang tau,,semua menggelengkan kepala..aji yang tidak percaya menjadi kecewa dan marah lalu memerintahkan prajurit mencari di seluruh penjuru desa dengan menggeledah semua rumah penduduk.memanggil tokoh adat desa untuk di tanya,namun jawabannya juga sama,..karena masih ragu dengan keterangan warga,kapal aji pun berlabuh beberapa hari di tempat itu.
Selama beberapa hari di tempat itu,aji dan prajuritnya mencoba membujuk beberapa warga dengan memberikan hadiah besar jika ada yang mau memberitahu di mana keberadaan mas merah,,namun hasilnya tetap nihil.
Karena curiga dengan kebohongan warga tuana tuha,sebelum kembali ke kerajaannya,aji memempatkan beberapa prajuritnya untuk mengawasi gerak-gerik warga dan kalau-kalau mas merah muncul.walau pun demikian orang tua mas merah dan seluruh warga benar-benar pandai menyimpan rahasia,,diam-diam mereka memberikan makanan dan keperluan lain buat mas merah yang tinggal di dalam rumah tanah.
Hingga bertahun-tahun kejadian itu berlangsung,mas merah tidak pernah keluar dari persembunyiannya,walau pun prajurit kerajaan sudah tidak ada lagi.mungkin karena terlanjur takut..
Bahkan ketika ayah ibunya meninggal di usia tuanya,,walau pun bersedih,mas merah tidak juga keluar dari persembunyiannya.
Setelah kedua orang tuanya meninggal,semua harta benda milik keluarganya di pindahkan warga ke rumah tanah tempat tinggal mas merah.
Warga kampunglah yang kini menjaga mas merah,pada saat-saat tertentu mereka mendatangi  rumah tanah mas merah sekedar memberikan makanan.
Menurut kesaksian warga yang pernah mengantarkan makanan,bertemu langsung dengan mas merah,mereka heran karena mas merah sama sekali tidak berubah atau kelihatan tua,masih cantik sama seperti dulu.
Tahun pun berganti,tersiar kabar bahwa raja aji yang dulu pernah mencari mas merah untuk di jadikan selir kini sudah mangkat,.warga pun mengajak mas merah untuk keluar dari rumah tanah,,dan tinggal bersama warga di perkampungan,. Warga berusaha membujuk mas merah,namun tidak membuahkan hasil.mas merah menolak,dengan alasan bahwa ayah ibunya sudah tidak ada dan ia sudah tidak ingin lagi jadi perhatian orang..
Warga desa pun hanya bisa menyetujui keinginan mas merah itu,namun mereka berjanji akan tetap mengantarkan keperluan-keperluan hidup untuk mas merah..
Dari hari ke hari hidup mas merah di tanggung oleh warga,mereka bergantian mengantarkan makan  dan keperluan hidup mas merah,..
Tahun demi tahun hal itu berlangsung,menurut warga yang pernah mengantarkan makanan,bertemu langsung dengan mas merah ,melihat mas merah tidak mengalami perubahan sama sekali,ia tidak tua di makan usia,di gambarkan sebagai gadis muda yang cantik tak ada tandingannya,dengan rambut panjang semata kaki,berkulit putih ,senyumnya yang manis membuat orang seakan tak ingin pulang kalau sudah berada di tempat itu..
Akhirnya lama kelamaan,,seiring waktu,,dari generasi kegenerasi,,..karena orang yang menjaga dan memberi makan mas merah satu persatu tak ada lagi,,mas merah benar-benar terlupakan,,tak ada lagi yang  tahu tentang keadaannya,,bahkan keberadaan rumah tanahnya pun menghilang,hingga kini tak ada yang tahu,..
Ada yang bilang mas merah meninggal dan terkubur bersama rumahnya di dalam tanah,,ada juga yang bilang mas merah masih hidup dan tetap tinggal di dalam rumah tanahnya,namun ia berpindah kealam gaib yang tentunya tak bisa dilihat oleh manusia biasa…